Suara Warga

Mengenang UUPA

Artikel terkait : Mengenang UUPA

`

MENGENANG UUPA

Bedasarkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang disebut (UUPA), pada 1 Agustus 2014 lalu genap berusia 8 tahun. Namun, UU yang disahkan pada 1 Agustus 2006 oleh Presiden Republik Indonesia itu, sejauh ini masih belum sepenuhnya tuntas, terutama terkait aturan-aturan pelaksanaan atau turunannya. Ada tiga turunan UUPA yang masih perlu diselesaikan, yakni Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kewenangan Pemerintah yang bersifat Nasional di Aceh. Di samping itu, RPP tentang Pengelolaan Bersama Bagi Hasil Minyak dan Gas di Wilayah Kewenangan Aceh. Satu lagi, Peraturan Presiden tentang Pelimpahan Kewenangan bidang Pertanahan dari Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota.

Gugatan atas belum tuntasnya turunan UUPA, berulang kali diberitakan oleh media. Secara khusus, Media menurunkan Liputan Eksklusif tentang itu, yakni 30 Juni, 1-3 Juli. Tidak kurang, dua kali editorial menurunkan hal tersebut dalam dua minggu terakhir. Hal ini menandakan hal tersebut sangat penting bagi Aceh. Isi berbagai berita tersebut ada yang menggugat Jakarta, ada juga yang mengungkapkan adanya kelemahan dari pihak Pemerintah Aceh sendiri. Terlepas apapun kondisinya, seyogianya momentum lahirnya UUPA ini, menjadi ruang bagi kita untuk berintropeksi. Tidak hanya untuk saling menyalahkan mengenai turunan UUPA yang belum tuntas saat ini. Juga seyogianya menjadi momentum untuk mengukur optimalisasi pelaksanaan kewenangan yang telah diberikan dengan UU tersebut. Dengan demikian, momentum ini seyogianya tidak hanya melihat bagaimana Pemerintah belum menuntaskan kewajibannya terkait turunan UUPA. Akan tetapi juga sebagai ruang untuk memperkuat tekad dalam mengoptimalkan pelaksanaan kewenangan yang sudah ada. Melihat dua arah tersebut sangat penting artinya, agar hakikat dari keberadaan UUPA tercapai sebagaimana harapan rakyat.

Kita sangat sadar bahwa UUPA itu bukanlah UU biasa. Sebagai satu produk hukum yang lahir dari proses politik, hakikatnya memang sama dengan UU lainnya. UUPA melewati berbagai proses dan tahapan yang juga dilalui oleh UU lain. Namun yang menjadi catatan, maksud lahirnya UUPA sama sekali berbeda dengan banyak UU yang lain. Karena UU ini memiliki jalinan kaitan dengan berbagai konflik politik dan keinginan menghentikan berbagai jalan panjang kekerasan yang ada di Aceh. Dengan logika, dapat dikatakan bahwa UUPA sebagai bentuk kompensasi, dengan bentuk kewenangan yang lebih besar dibandingkan daerah lain pada umumnya. Hal ini terkait amanah langsung dari perjanjian damai antara Pemerintah Pusat dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Publik tidak boleh lupa bahwa perjanjian damai sangat penting karena ia merupakan sebuah titik temu untuk mengakhiri konflik bangsa yang berdarah. Ia menjadi titik tekad dimana penghinaan terhadap manusia dan peradabannya dihentikan.

Sudah cukup lama orang Aceh merasakan derita. Titik temu tersebut dapat dilihat dalam wujud kemauan masing-masing pihak untuk mundur selangkah. Di satu pihak, keinginan memisahkan diri Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dikuburkan. Di pihak lain, Pemerintah Pusat memberikan kewenangan yang besar bagi Pemerintah Aceh untuk mengurus dirinya. Kewenangan besar tersebut, dapat ditemukan dalam Pasal 7 UUPA, bahwa Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, meliputi urusan pemerintahan yang bersifat Nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal Nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Namun demikian, kewenangan besar tersebut ternyata harus diperjuangkan. Ketiga turunan UUPA sebagaimana disebut di atas, seyogianya berada pada posisi yang harus dilaksanakan. Ia harus didudukkan sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan, karena ia merupakan perintah dari UU.

Namun pada kenyataannya, UU yang dipandang sebagai hukum, ternyata tunduk pada kekuasaan. Apa yang menjadi amanah dari hukum itu, tidak serta merta langsung dilaksanakan oleh pelaksana kekuasaan. Kondisi ini semacam kewenangan bahwa hukum yang sesungguhnya perintah UU saja tidak dilaksanakan, lantas bagaimana dengan berbagai kebutuhan hukum yang bukan merupakan perintah langsung dari sebuah UU. Kondisi demikian menarik. Paling tidak menjadi penting dalam optik relasi antara hukum dan politik dalam melihat keberdayaan hukum di mata kekuasaan. Tampaknya di depan kekuasaan, hukum itu tidak ada apa-apanya. Sebuah perintah UU, langsung terhambar ketika ada sebuah surat menteri yang menegaskan bahwa perintah UU itu bertentangan dengan UU lainnya. Seperti tiada upaya untuk menuntaskannya. Di pihak lain, menyelesaikan turunan UU juga membutuhkan tim lobi yang lihai dan kuat. Tanpa tim lobi yang demikian, maka amanah UU, bisa saja diabai. Hal demikian juga menandakan bahwa dalam melaksanakan turunan UU saja, tidak bisa berlangsung secara normal. Ia harus dituntaskan dengan penuh jalan berliku. Padahal sekali lagi itu merupakan amanah langsung UU.

Sektor pihak lain, pihak Pemerintah Aceh juga harus melakukan intropeksi mengenai perkembangan kewenangan yang sudah diberikan. Dengan apa yang sudah mempunyai saat ini, harus diukur optimalisasi pencapaiannya bagi kesejahteraan rakyat. Apapun yang menjadi sebab, seyogianya ada upaya untuk mendalami apa yang menjadi sebab UUPA yang masih tersendat. Upaya membutuhkan perenungan semua pihak, dalam hal ini harus ada keterbukaan semua pihak, agar menjadi pelajaran bagi langkah-langkah penyelesaian selanjutnya. Pelaku, seogianya merenung sejenak untuk menemukan kelemahan selama ini. Begitu juga dengan yang lain, termasuk Pemerintah, mengapa melakukan tarik-ulur. Terlepas banyaknya masalah, kita tetap harus melihat dalam dua sisi. Secara internal, kita mungkin masih belum optimal berjuang, belum maksimal melakukan lobi yang terukur, dan sebagainya. Termasuk untuk membenahi kewenangan yang sudah didapatkan. Sementara secara eksternal, niat baik Pemerintah masih tersendat, sehingga belum melaksanakan apa yang diperintahkan UU. Dengan demikian, apa yang disebut dengan tidak melaksanakan UU, nyata dilakukan oleh Pemerintah.





Banda Aceh, 18 Agustus 2014

RAHMATSYAH




Sumber : http://ift.tt/1v8VP35

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz