Mengembalikan "Kithah" Wakil Rakyat
Meski masih menunggu proses sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi, setidaknya kita bisa menyicil bernafas lega. Sebab untuk pemilu legislatif 2014, telah memasuki tahapan akhir, yakni pelantikan anggota dewan ( terutama di daerah ) sudah dimulai.
Tak hanya anggota dewan yang bahagia. Semua komponen bangsa sudah selayaknya bersyukur dan menyambut gembira atas momentum ini. Meski proses penyelenggaraan pemilu legislatif 2014 disertai sejumlah catatan, secara umum kita masih bisa mengabarkan pada dunia internasional bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut faham demokrasi.
Namun, tak seharusnya kegembiraan itu berlarut-larut. Tak semestinya keberhasilan menyelenggarakan pemilu menjadikan kita pongah. Sebab, bagi penyelenggara, ada catatan yang harus diperbaiki untuk pelaksanaan pemilu lima tahun ke depan. Sementara untuk anggota dewan yang baru, sejumlah tugas sudah menunggu. Segudang amanat rakyat menumpuk untuk diperjuangkan. Juga, yang tak kalah penting, “PR” dari periode dewan yang lalu, yang harus segera diselesaikan.
Dan jauh di atas segalanya, makna dari frase “wakil rakyat” itu sendiri. Pernahkan di saat rehat dari kesibukan yang amat padat para anggota dewan yang terhormat itu mencoba memahami dalam-dalam makna substantif dari kata “wakil rakayt”? Baiklah, awam pun tahu ada tiga fungsi anggota dewan: legislasi, pengawasan, dan anggaran. Ketiga fungsi itupun, sejujurnya, belum optimal dilakukan. Apalagi sampai mendedah soal makna subtantif wakil rakyat.
Cobalah bertanya yang lebih konkret dan sederhana saja: apa yang terbayang di benak mereka beberapa saat setelah dilantik? Apakah ….?
Pertama, membayangkan gaji dan fasilitas yang hanya bisa dinikmati oleh segelinitr orang di negeri ini. Kedua, membayangkan konstelasi politik demi mengamankan posisinya dan memperbesar kekuasaan kroni-nya lima tahun mendatang. Ketiga, membayangkan jutaan rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, penegakan hukum yang masih sempoyongan, korupsi yang kian menggurita, aspirasi rakyat yang belum sepenuhnya tertampung di gedung parlemen, dan hal lain sejenisnya?
Semoga ihwal ketiga yang terbayang di benak anggota dewan yang terhormat kita, begitu mereka selesai dilantik. Namun, jika nomor satu dan dua melintas di benak mereka, itupun sesuatu yang manusiawi. Sebagai wakil rakyat, sudah sewajarnya mereka digaji dan diberi fasilitas yang memadai. Pun sebagai politikus, sah-sah saja bagi mereka untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya. Tapi jika tidak hati-hati, fungsi sebagai “politikus” ini bisa mereduksi makna “wakil rakyat”.
Betapa tidak? Sering kita dengar secara santer kritikan yang menyebutkan anggota dewan lebih berposisi sebagai “wakil partai” daripada “wakil rakyat”. Ini karena katika mereka duduk di dewan lebih terbebani misi partai, bukannya menyalurkan aspirasi rakyat secara umum. Memang realitas di parlemen, bahwa dewan terdiri dari berbagai partai yang suaranya tercermin (dan disalurkan) melalui fraksi. Namun sebagai institusi, (anggota) dewan adalah wakil dari seluruh rakyat Indonesia tanpa tersekat-sekat dalam kelompok tertentu.
Semangat anggota dewan untuk lebih berposisi sebagai wakil rakyat Indoneisa secara keseluruhan inilah yang dari waktu ke waktu dirasa mulai luntur. Salah satu bukti yang sangat telanjang, di tahun 2006, ketika dibentuk hak angket tentang impor beras. Pada awalanya mayoritas fraksi di DPR menyetujui hak angket tersebut. Namun, ketika pemerintah (baca: presiden) memanggil pimpinan partai politik di DPR untuk “konsultasi” tentang masalah tersebut, mendadak usulan angket impor beras menjadi nggembos.
Harus diakui, semangat anggota dewan untuk berposisi sebagai wakil rakyat inilah yang menjadi awal sekaligus kunci kesuksesan dewan mengemban aspirasi dan mandat rakyat. Ketika anggota dewan berposisi sebagai wakil rakyat, ia tak akan tergoda untuk memperjuangkan kepentingan (sempit) kelompoknya saja. Ia juga tidak mudah diintervensi dan ditekan pemerintah, terkait kebijakan pemerintah (kekuasaan) yang tidak memihak kepentingan rakyat banyak.
Alhasil, hemat saya, semangat untuk mengembalikan “kithah” anggota dewan sebagai wakil rakyat akan menjadi titik awal dalam rangka memulihkan kewibawaan institusi dewan, yang akan berdampak pada perbaikan kinerja dan karakter anggota dewan. Institusi dewan itu satu, tapi mengemban manfaat untuk semua (seluruh) rakyat negeri ini. Semoga anggota dewan, baik DPR DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten / Kota yang telah dan akan dilantik juga berpikiran demikian. Sehingga institusi parlemen periode 2014-2019 akan lebih “bergigi”!***
( Dimuat harian KEDAULATAN RAKYAT, 13 Agustus 2014 )
Sumber : http://ift.tt/YfCXVh
Tak hanya anggota dewan yang bahagia. Semua komponen bangsa sudah selayaknya bersyukur dan menyambut gembira atas momentum ini. Meski proses penyelenggaraan pemilu legislatif 2014 disertai sejumlah catatan, secara umum kita masih bisa mengabarkan pada dunia internasional bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut faham demokrasi.
Namun, tak seharusnya kegembiraan itu berlarut-larut. Tak semestinya keberhasilan menyelenggarakan pemilu menjadikan kita pongah. Sebab, bagi penyelenggara, ada catatan yang harus diperbaiki untuk pelaksanaan pemilu lima tahun ke depan. Sementara untuk anggota dewan yang baru, sejumlah tugas sudah menunggu. Segudang amanat rakyat menumpuk untuk diperjuangkan. Juga, yang tak kalah penting, “PR” dari periode dewan yang lalu, yang harus segera diselesaikan.
Dan jauh di atas segalanya, makna dari frase “wakil rakyat” itu sendiri. Pernahkan di saat rehat dari kesibukan yang amat padat para anggota dewan yang terhormat itu mencoba memahami dalam-dalam makna substantif dari kata “wakil rakayt”? Baiklah, awam pun tahu ada tiga fungsi anggota dewan: legislasi, pengawasan, dan anggaran. Ketiga fungsi itupun, sejujurnya, belum optimal dilakukan. Apalagi sampai mendedah soal makna subtantif wakil rakyat.
Cobalah bertanya yang lebih konkret dan sederhana saja: apa yang terbayang di benak mereka beberapa saat setelah dilantik? Apakah ….?
Pertama, membayangkan gaji dan fasilitas yang hanya bisa dinikmati oleh segelinitr orang di negeri ini. Kedua, membayangkan konstelasi politik demi mengamankan posisinya dan memperbesar kekuasaan kroni-nya lima tahun mendatang. Ketiga, membayangkan jutaan rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, penegakan hukum yang masih sempoyongan, korupsi yang kian menggurita, aspirasi rakyat yang belum sepenuhnya tertampung di gedung parlemen, dan hal lain sejenisnya?
Semoga ihwal ketiga yang terbayang di benak anggota dewan yang terhormat kita, begitu mereka selesai dilantik. Namun, jika nomor satu dan dua melintas di benak mereka, itupun sesuatu yang manusiawi. Sebagai wakil rakyat, sudah sewajarnya mereka digaji dan diberi fasilitas yang memadai. Pun sebagai politikus, sah-sah saja bagi mereka untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya. Tapi jika tidak hati-hati, fungsi sebagai “politikus” ini bisa mereduksi makna “wakil rakyat”.
Betapa tidak? Sering kita dengar secara santer kritikan yang menyebutkan anggota dewan lebih berposisi sebagai “wakil partai” daripada “wakil rakyat”. Ini karena katika mereka duduk di dewan lebih terbebani misi partai, bukannya menyalurkan aspirasi rakyat secara umum. Memang realitas di parlemen, bahwa dewan terdiri dari berbagai partai yang suaranya tercermin (dan disalurkan) melalui fraksi. Namun sebagai institusi, (anggota) dewan adalah wakil dari seluruh rakyat Indonesia tanpa tersekat-sekat dalam kelompok tertentu.
Semangat anggota dewan untuk lebih berposisi sebagai wakil rakyat Indoneisa secara keseluruhan inilah yang dari waktu ke waktu dirasa mulai luntur. Salah satu bukti yang sangat telanjang, di tahun 2006, ketika dibentuk hak angket tentang impor beras. Pada awalanya mayoritas fraksi di DPR menyetujui hak angket tersebut. Namun, ketika pemerintah (baca: presiden) memanggil pimpinan partai politik di DPR untuk “konsultasi” tentang masalah tersebut, mendadak usulan angket impor beras menjadi nggembos.
Harus diakui, semangat anggota dewan untuk berposisi sebagai wakil rakyat inilah yang menjadi awal sekaligus kunci kesuksesan dewan mengemban aspirasi dan mandat rakyat. Ketika anggota dewan berposisi sebagai wakil rakyat, ia tak akan tergoda untuk memperjuangkan kepentingan (sempit) kelompoknya saja. Ia juga tidak mudah diintervensi dan ditekan pemerintah, terkait kebijakan pemerintah (kekuasaan) yang tidak memihak kepentingan rakyat banyak.
Alhasil, hemat saya, semangat untuk mengembalikan “kithah” anggota dewan sebagai wakil rakyat akan menjadi titik awal dalam rangka memulihkan kewibawaan institusi dewan, yang akan berdampak pada perbaikan kinerja dan karakter anggota dewan. Institusi dewan itu satu, tapi mengemban manfaat untuk semua (seluruh) rakyat negeri ini. Semoga anggota dewan, baik DPR DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten / Kota yang telah dan akan dilantik juga berpikiran demikian. Sehingga institusi parlemen periode 2014-2019 akan lebih “bergigi”!***
( Dimuat harian KEDAULATAN RAKYAT, 13 Agustus 2014 )
Sumber : http://ift.tt/YfCXVh