Kalau Saya Bupati Sidoarjo (1)
Hampir 10 tahun, saya tinggal di Sidoarjo. Daerah yang dulu dikenal dengan udang dan bandeng. Lantas ada yang memelesetkan akhir-akhir ini. Apalagi, kalau bukan Kota Lumpur, akibat pengeboran Lapindo Brantas, yang menghasilkan mata lumpur, sehingga menggenangi ribuan hektare perkampungan di sekitarnya.
Banyak yang berubah dari kota ini selama saya tinggal. Kalau dulu, tiap kali hujan, jalan utama (Jl Pahlawan) banjir, kini hanya tergenang sebentar meski hujan deras, lantas menyusut dengan cepat. Ada perbaikan signifikan terhadap gorong-gorong. Saya juga sering melihat, petugas membersihkan, mengeruk selokan, bahkan sungai yang mengalir di dekat perumahan saya.
Perbaikan taman di sepanjang jalan antara Sidoarjo ke arah Surabaya mendapat perhatian. Jalan semakin lebar, dan terutama ada jalan bagi pejalan kaki. Ya, meski akhirnya, di beberapa titik, akhirnya menjadi ‘milik’ pedagang kaki lima. Salah tapi masih dibiarkan.
Tapi dari sekian banyak perubahan positif itu, ada yang tidak berubah sama sekali. Kecil tapi sudah ganti bupati dua kali, lha kok tetap (pancet) ae. Lha, pada ke mana ini, para penjabat Sidoarjo? Salah satunya, lampu traffic light, yang di dekat alun-alun, bahkan di samping kantor dinas bupati, masak lampu hijau antara barat dan timur bersamaan.
Setiap pagi, selama hampir enam tahun, saya selalu mengantar anak sekolah melewati perempatan ini. Tiap pagi, kadang ada polisi kadang tidak, selalu nyaris ada tabrakan motor atau mobil, dari arah timur yang mau ke barat atau belok kanan, dengan kendaraan yang hendak ke timur. Bikin macet, padahal waktu jalan di arah ini hanya beberapa detik.
Di dekat lampu, ada nomor telepon dinas perhubungan. Bagi saya aneh. Untuk apa dipasang, wong tahu di situ, pengelolaan lampu salah. Kenapa tidak diperbaiki, kenapa harus warga yang melapor.
Trafik satu lagi yang padat adalah di perempatan Sedati. Lagi-lagi soal pengaturan lampu lalu lintas. Masak ya, gak bisa diatur ya, bagi kendaraan dari arah utara yang hendak belok ke kanan, atau dari selatan yang hendak belok kanan. Padahal, banyak kendaraan besar, tronton yang biasanya melakukan itu. Ayo, pak bupati benahi dong. Masak, harus dibikin jalan layang di Sedati ini. Optimalkan lampu lalu lintasnya dong.
Oh, tentang tronton-tronton, kalau saya jadi bupati, saya tidak akan pernah mengizinkan mereka beroperasi atau jalan pagi atau siang hari. Sudah saatnya, Sidoarjo, punya pangkalan buat truk-truk besar. Tronton tidak boleh masuk kota. Seringkali, jam 7 pagi, saat antar anak sekolah, jalan macet gara-gara tronton nyelonong di antara kendaraan.
Saatnya, jika siapapun yang jadi bupati Sidoarjo, membuat aturan tentang kendaraan besar yang masuk kota, apalagi jalanan tidak bertambah lebar, motor makin banyak, mobil makin banyak. Kalau saya bupatinya, pemerintah memfasilitasi pembuatan pangkalan tronton, sehingga ada feeder, berupa kendaraan truk kecil yang mengangkut barang ke pabrik atau perusahaan. (*)
Sumber : http://ift.tt/1njjgAT