Suara Warga

ISIS, Radikalisme dan Islam Jawa

Artikel terkait : ISIS, Radikalisme dan Islam Jawa

Munculnya gerakan ISIS (atau anonim lainnya ISIL, Livan) berawal dari gerakan perlawanan kelompok radikal dalam menyikapi perubahan geopolitik di negara-negara Timur Tengah. Gejolak demokrasi di negara Islam, secara tidak langsung menyeret gerakan anti tesa yang mengusung semangat Islam sebagai dasar negara, karena demokrasi dianggap merupakan produk dan intervensi politik Barat. Itulah bukti dari terori sosio-politik; “kelemahan sistem negara, akan menimbulkan penguasaan dari gerakan politik non-negara”

Bisa dibilang bahwa ideologi gerakan ISIS campur aduk dan sulit dipetakan. Kalau dilihat dari aksinya di beberapa kota yang sudah dikuasai antara lain, Kota Anbar, Mosul, Ramadi, dan Falujjah; seperti berpaham wahabi yang radikal. Tapi sikap politiknya bertentangan dengan al Qaeda.

Di balik kekejaman dan radikalisme ISIS (Islamic State of Iraq and Syria/Syam), sosok Abu Bakar al Bagdadi mempunyai peran yang sangat penting. Pada tahun 2003, Abu Bakar yang lahir dari golongan Islam Sunni, telah ditahan AS di Irak dengan sejumlah komanda al Qaieda lainnya. Dari sinilah ia kemudian mengawali pemberontakan bersenjata dan mulai berjuang di barat Irak hingga tertangkap pada tahun 2006.

Pada tahun 2010 Abu Bakar dibebaskan dan mulai menggalang kekuatan dengan para veteran pejuang al Qaeda dan mendeklarasikan diri pada pertengahan 2013. Di situ pula ada beberapa orang Indonesia yang ikut bergabung, saat sebagian mengikuti pelatiham militer di camp-camp mujahid Iraq untuk mempersiapkan gerakan radikalisme di tanah air.

Tertangkapnya dua orang di Ngawi, Jawa Timur, yang diduga teroris dan anggota gerakan ISIS memberikan jawaban atas “geraguan” tulisan Azyumardi Azra yang berjudul “ISIS, Khilafah dan Indonesia” (Kompas, 5/8). Azyumardi pada tulisannya masih ragu, bahwa ISIS akan bergembang di Indonesia, dan belum lama sudah terbukti bahwa faksi-faksi radikalisme (ISIS) itu ada dan terang-terangan.

Isu ISIS di Indonesia muncul pasca beredarnya video Abu Muhammad al Indonesiy yang diunggah di laman Youtube. Video itu menyedot banyak perhatian, bahka menggeser trending topic isu sebelumnya; pelaksanaan pilpres 2014, dan sengketanya. Dalam pernyataannya Abu Muhammad mengajak kepada mujahid Indonesia untuk berjuang mewujudkan “daulah islamiyah” di Iraq dan Syiria.

Di beberapa kota di Indonesia gerakan yang mendukung ISIS sudah bermunculan, di antaranta: Kongres Umat Islam Bekasi (KUIB), Jama’ah Mimbar Tauhid wal Jihad (MTJ), Forum Aktivis Syari’at Islam (FAKSI) dan Umat Islam Nusantara (UIN).

Ada Potensi

Ada beberapa wilayah berpotensi menjadi basis perkembangan gerakan ISIS di Indonesia, misalnya: beberapa kota di Jawa, Aceh dan Bima. Terbukti di Malang, Kediri Ngawi dan Ciputat ada beberapa grafiti bendera dan masjid yang diduga menjadi pembaiatan anggota ISIS.

Tidak aneh, perkembangan gerakan Islam di Indonesia pasca reformasi, lebih banyak didominasi Islam garis ekstrim, baik ideologi maupun gerakan aksinya. Ideologi yang hampir sama dengan ISIS di antaranya; PKS, HTI, MI dan KAMMI yang bercita-cita menegakkan syariat Islam dalam sistem kenegaraan.

Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya “Dilema PKS” memberikan ilustrasi ada pergeseran ideologi perjuangan politik PKS yang semula memperjuangkan khilafah sudah mulai bergeser ke arah demokrasi-pancasilais. Namun demikian, gambaran tersebut tidak universal; di tataran kader Tahmidi, Muayyid dan Muntasib masih tertanam kuat ideologi khilafah sebagai mobilisasi konsensus politik.

“Ng-isis”

Istilah orang Jawa, “ng-isis” itu berteduh di pohon-pohon rindang untuk mencari ketenangan/menghayati penorama kehidupan. Jadi sangat berbeda dengan ISIS yang banyak merusak dan membunuh dengan dalih Islam. Bukan itu semestinya.

Permulaan Islam diturunkan di dunia untuk memberi ketenangan, kenyamanan, dan perlindungan bagi seluruh umat manusia, baik yang memeluknya maupun tidak. Pada zaman Nabi Muhammad, kegiatan dakwah Islam berhasil bernegosiasi dengan kelompok kafir Quraisy dalam kehidupan bermasyarakat. Itulah yang menjadi embrio lahirnya “Chifdom” (bukan negara) Madinah.

Ancaman gerakan ISIS di Indonesia perlu mendapat keseriusan pemerintah maupun masyarakat luas. Pemerintah dalam hal ini kepolisian dan seluruh elemen pemerintahan untuk mereduksi gerakan tersebut dengan kewenangannya. Tidak cukup di situ, tokoh agama, tokoh adat, dan kelompok komunitas, juga harus ikut campur pada kewaspadaan gerakan dan doktrin ISIS, dengan menyosialisasi paham Islam yang rahmatal lil alamain, bukan paham Islam yang merusak atau membunuh hak hidup orang lain.

Kita perlu meniru Islamnya para wali songo (wali sembilan) dan kiai-kiai kampung yang berhasil mengelaborasi Islam dengan budaya nusantara, bukan budaya Timur Tengah yang kadang bertentangan dengan perkembangan budaya di Indonesia.

Semua itu ditujukan untuk penangan preemtif jangan pendek dan menengah. Untuk jangka panjangnya, perlu adanya pendidikan yang mendasar tentang agama, masyarakat dan budaya. Seperti halnya pemikiran Gus Dur dengan pluralisme-nya dan Mahatma Gandhi dengan Ahimsa-nya, yaitu: bersatu, berdamai, selaras dengan ciptaan-Nya. []












Sumber : http://ift.tt/1kyXhuJ

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz