Suara Warga

Ironi Lawakan MK

Artikel terkait : Ironi Lawakan MK

Ironi Lawakan MK

Ada yang berbeda dari sidang ketiga gugatan hasil pemilihan presiden di Gedung MK. Media ramai-ramai memberitakan dan menyoroti beberapa saksi asal Papua yang dihadirkan tim sukses pasangan Prabowo-Hatta. Sebagian menyatakan itulah jawaban polos dari orang Papua. Sebagian lain menulis kalau pihak Prabowo-Hatta asal-asalan menyiapkan saksi. Keluguan dan kepolosoan mereka, memang membuat kita tertawa. Tapi, keterangan para saksi itu juga mampu membuka mata sebagian rakyat Indonesia bahwa memang ada persoalan di Papua, terutama di wilayah pegunungan.

Persoalan itu, tidak lain terkait budaya noken atau ikat yang lazim dipakai beberapa suku di Papua saat akan memilih pemimpin.

Di saat yang hampir bersamaan, dalam sebuah diskusi di sebuah stasiun televisi, salah seorang mantan Anggota KPU periode 2004-2009 mengakui adanya persoalan pemilu di Papua sejak lama. Bahkan jauh sebelum dia menjabat. Mantan anggota KPU ini menyatakan jika Papua, selalu menjadi pintu masuk bagi pihak yang kalah untuk mempermasalahkan hasil pemilu.

Inilah ironi politik yang terjadi. Di satu sisi, kita tertawa dengan keterangan para saksi itu. Tapi di sisi lain, itulah fakta yang mungkin terjadi.

Para pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah, sebenarnya mengetahui adanya persoalan ini. Dan bukan sekali saja masalah ini dibahas di Gedung Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, seolah terpelihara dengan baik, persoalan yang sama kembali baru dimunculkan saat pemilu sudah selesai digelar. Dan selalu, tuntutan adanya kesalahan dari proses ini dilayangkan pihak yang kalah. Sementara yang menang tentu hanya akan memantau. Karena mereka akan menikmati manfaat dari budaya noken atau ikat itu. Namun saat pemenang sudah ditetapkan, semua seolah lupa bahwa pernah terjadi persoalan yang menguras tenaga, pikiran, waktu dan biaya.

Mungkinkah ada pembiaran dalam kasus ini? Itu bisa saja terjadi. Tentu ada kepentingan politik dari elit di pusat maupun di daerah. Jika negara serius mau menyelesaikan persoalan ini, maka bisa saja dibuat regulasi yang jelas. Regulasi yang mampu menaungi kepentingan politik, sekaligus tidak menghapus budaya turun temurun di Papua. Namun regulasi saja tidak cukup jika tidak ada keinginan serius dari kita memberikan pendidikan politik yang baik kepada saudara-saudara kita di Papua. Jika itu dilakukan, kita tidak lagi disuguhi “lawakan” di ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Semoga…!!




Sumber : http://ift.tt/ViykI8

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz