Indonesia Perlu Seorang Figur Anti Korporatokrasi
Indonesia beberapa saat lagi akan bertatap muka dengan pasar bebas ASEAN semenjak disahkannya kesepakatan AEC 2015. Berbagai pendapat digulirkan masyarakat atas kehadiran program tersebut. Sebagian besar rasanya menolak AEC 2015 dengan alasan jika program tersebut bisa mengakibatkan lebih banyak dampak buruk bagi Indonesia. Hasil mula-mula yang tercipta dari kesepakatan antar negara-negara anggota ASEAN tersebut adalah PP No.39 Tahun 2014. Dilihat dari kulit luarnya, PP ini diprediksi akan semakin menjatuhkan kedudukan pengusaha-pengusaha nasional atau negara. Hal ini disebabkan akibat adanya penambahan jatah bagi korporat asing untuk menanamkan modalnya di berbagai sektor. Pro-kontra pun berkunjungan datang, akankah korporatokrasi akan makin terindikasi?
Korporatokrasi merupakan istilah yang menggambarkan dimana terdapat kesalahan letak kekuatan pemerintahan, yaitu di tangan para korporat. Lebih ironinya lagi, yang terjadi di Indonesia merupakan jenis korporatokrasi yang didominasi korporat-korporat asing. Korporatokrasi dihasilkan atau disebabkan akan adanya aturan dan kebijakan yang justru menguntungkan kepentingan korporat, bukan lagi bagi rakyat. Padahal undang-undang maupun kebijakan publik kita ketahui bahwa sejatinya diperuntungkan pada kesejahteraan rakyat. Indonesia memang ada kalanya membutuhkan bantuan kerjasama dengan pihak asing, namun apabila kerjasama yang digadang-gadang menghasilkan keuntungan justru merugikan, Indonesia sepatutnya waspada. Fenomena ini adalah salah satu indikator yang mengganggu sistem perekonomian di Indonesia. Pengusaha nasional seolah terkekang oleh pengusaha asing yang memiliki modal lebih besar dan terkadang kreativitas serta kemampuan yang lebih berkualitas.
Cikal bakal korporatokrasi bisa saja bermula dari proses demokrasi di Indonesia. Menjelang proses pemilihan umum, calon-calon pemimpin biasanya akan ditawari atau bahkan meminta berbagai bantuan dana untuk membiayai kampanye-kampanye mereka. Kebanyakan yang rela adalah korporat-korporat. Tentu saja mereka meminta timbal balik ketika kelak calon pemimpin tersebut menanggalkan gelar calonnya. Tidak hanya saat proses Pemilu, tetapi juga ketika proses pemilihan jabatan penting di Indonesia, umumnya calon-calon pejabat tersebut ditawari sebuah perusahan untuk didukung agar terpilih di dalam bursa pemilihan jabatan itu. Contohnya: ketika pemilihan hakim agung, para calon hakim dihubungi oleh beberapa perusahaan yang menyatakan akan mendukung mereka, namun meminta perlindungan apabila mereka terpilih menjadi hakim agung.
Mata rantai korporatokrasi seharusnya bisa diputus. Indonesia perlu pemimpin yang tegas melawan orang-orang yang meminta jasa timbal ketika kampanye. Saat ini saya baru menyadari mengapa kubu Jokowi pada Pilpres lalu menggembor-gemborkan bahwa mereka dapat bantuan dana dari rakyat. Rasanya trik ini bertujuan untuk memancing simpati rakyat yang paham akan adanya bibit-bibit korporatokrasi dalam pesta demokrasi. Dengan memiliki dana yang berasal dari rakyat, kelak diharapkan calon presiden akan bekerja untuk rakyat sebagai penyokong kegiatan kampanye mereka, bukan bekerja untuk orang-orang dengan kepentingan tertentu. Trik ini bisa dicontoh, tetapi harus benar-benar murni tanpa niat hanya menarik simpati.
Masyarakat pun seharusnya kini menyadari, jangan terlalu terlena dengan kampanye-kampanye penuh kemewahan. Karena jika tidak dari kekayaan calon pemimpin atau partai itu sendiri, bisa jadi si calon ini mendapatkan dukungan dari perusahaan-perusahaan yang kelak meminta jasa timbal terhadap mereka yang telah didukungnya. Lebih baik pilih calon pemimpin yang kampanye nya sewajarnya saja. Jenis kampanye sebenarnya bisa memberi nilai tingkat obsesi para calon pemimpin. Semakin sederhana, menunjukan rendahnya tingkat obsesi mereka menjadi pemimpin dan kita tidak memerlukan pemimpin yang terobsesi menjadi pemimpin. Semakin sederhana kampanye, semakin sedikit uang yang dikeluarkan, semakin sedikit permohonan-permohonan jasa timbal ketika kelak mereka memimpin.
Pada intinya adalah, Indonesia perlu seorang figur anti korporatokrasi, yang membuat segala peraturan dan kebijakan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan tertentu yang ingin memboncengi dan mengambil keuntungan tetapi meninggalkan kemudharatan bagi negara ini saja.
Sumber : http://ift.tt/1sQQvn9