GUGATAN ‘KEBENARAN DAN KEADILAN’ PRABOWO-HATTA DI MK
Oleh Soleman Montori.
Upaya hukum pasangan Prabowo-Hatta menggugat hasil pilpres 9 Juli 2014 ke Mahkamah Konstitusi, adalah langkah yang tepat dan patut diapresiasi. Dokumen gugatan sebanyak 15 mobil baja, 200 pengacara dan 500 saksi bahkan menurut Prabowo sampai puluhan ribu saksi, sungguh suatu gugatan yang besar dan heboh.
Prabowo “besar” benar-benar serius. Tanggal 22 Juli 2014 ia membuat tindakan heboh dengan cara menarik diri dari proses rekapitulasi suara di KPU, dan pada tanggal 6 Agustus 2014 ia kembali membuat pernyataan heboh bahwa pilpres 9 Juli 2014 tidak sebaik pilpres di Korea Utara. Menurutnya pilpres 2014 adalah seperti pilpres di negara totaliter, fasis dan komunis. Ia merasa tersakiti karena kebenaran dan keadilan dianggap tidak berpihak kepadanya. Benarkah penilaiannya?
Siapa yang menyakiti Prabowo “besar?” Timses, orang sekitarnya, KPU atau rakyat? Di dalam gugatan, Prabowo dan timsesnya menyebut KPU yang membuatnya tersakiti; namun secara tidak langsung Prabowo dan timsesnya menuduh rakyat yang tidak memberikan suara kepadanya turut menyakiti.
Sesungguhnya yang memiliki andil besar menyakiti Prabowo adalah Prabowo kecil (dirinya sendiri), yang begitu bangga jika disebut besar walaupun sebenarnya ia sama dengan orang lain memiliki kelebihan dan kelemahan.
Fadli Zon, Fahri Hamzah, Ali Mochtar Ngabalin, Ahmad Yani dan Nurcahaya Tandang, adalah orang-orang yang selalu membangga-banggakan Prabowo sebagai orang besar dan hebat. Isi puisi Fadli Zon menunjukkan bahwa tidak ada orang lain yang hebat selain Prabowo; sebutan gila oleh Fahri Hamzah menunjukkan bahwa seakan-akan hanya Prabowo capres yang tidak sinting; dan yang tak kalah hebohnya adalah pernyataan Ali Mochtar Ngabalin yang mendesak Allah agar berpihak pada kebenaran dan Prabowo-Hatta; mereka menganggap Prabowo sebagai titisan Allah sebagaimana dikatakan oleh Nurcahaya Tandang.
Amien Rais juga tak ketinggalan. Pilpres yang merupakan kompetisi dianggapnya sebagai perang Badar. Lebih menghebohkan lagi adalah pernyataan ketua DPP Gerindra DKI Jakarta, Mohamad Taufik, yang memerintahkan masa untuk menangkap ketua KPU Pusat, Husni Kamil Malik.
Apakah cara-cara destruktif tersebut merupakan jalan untuk menuju kebenaran dan keadilan? Siapa pun (yang tidak sinting) pasti akan menjawab, tidak! Justru yang dilakukan oleh orang-orang seperti Ali Mochtar Ngabalain, Nurcahaya Tandang dan Mohamad Taufik adalah ketidakbenaran untuk menunjukkan ketidakbenaran mereka sendiri; mereka berupaya mengejar hukum untuk mendatangkan kebenaran, namun tidak sampai pada hukum yang dikejar itu; karena mereka tidak takluk pada kebenaran, tapi mendirikan kebenaran sendiri. Pernyataan Ali Mochtar Ngabalin yang mendesak Allah untuk berpihak pada Prabowo-Hatta, adalah salah satu contohnya.
Salah satu kebenaran yang didirikan sendiri oleh kubu Prabowo-Hatta dengan menyatakan secara sepihak bahwa perolehan suara pilpres yang benar adalah 67.139.153 (50,26 %) untuk Prabowo-Hatta dan 66.435.124 (49,74 %) untuk Jokowi-JK. Mereka minta MK agar membatalkan keputusan KPU Nomor 535/KPTs/KPU/Tahun 2014 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014, yang menetapkan perolehan suara 70.997.833 (53,15 %) untuk pasangan Jokowi-JK dan perolehan suara 62.576.444 (46,85 %) untuk pasangan Prabowo-Hatta. Namun dalam persidangan apa yang didalilkan kubu Prabowo-Hatta tidak bisa mereka buktikan. Merupakan Tuntutan Sulit dan Manipulatif (TSM). Maksudnya angka 67.139.153 (50,26 %) yang didalilkan sangat-sangat manipulatif dan tak dapat dibuktikan selama persidangan.
Sejumlah alasan ketidakjujuran dan kecurangan menurut kubu Prabowo-Hatta
1. Prabowo tidak percaya Jokowi-JK menang. Menurutnya, ia dan Hatta Rajasa tidak mungkin kalah dalam pilpres, karena didukung oleh 7 parpol besar dan suara perolehan parpol di legislatif jika digabung mencapai 62 %. Menurutnya jika kalah berarti terdapat kecurangan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) yang dilakukan oleh KPU. Cara berpikir Prabowo menunjukkan ketidakpintarannya.
Pada pilpres tahun 2004, partai Demokrat yang mengusung SBY sebagai presiden hanya memperolehan suara 7 % lebih, namun SBY keluar sebagai pemenangnya mengalahkan koalisi kebangsaan (Koabang).
Mas Prabowo nampaknya menganggap jumlah perolehan suara di pileg dan pilpres berbanding lurus. Sama sekali tidak, Mas! Misalnya pileg di Jabar dan Sumut, PKS kalah; tapi ketika pilgub, PKS menang.
2. Prabowo tidak percaya jika di sejumlah TPS, ia dan Hatta Rajasa memperoleh suara 0 % (nol persen). Suara 0 % bisa terjadi dan bisa terjadi pada siapa saja, Mas. Misalnya di Jatim ada 17 TPS, di kabupaten Yakuhimo dan Lani Jaya-Papua, pemilih memberikan suaranya 100 % untuk pasangan Prabowo-Hatta, artinya 0 % untuk Jokowi-JK, tapi mas Prabowo tidak mempersoalkannya.
Tuduhan bahwa telah terjadi kecurangan yang bersifat TSM hanya karena mendapatkan suara 0 % adalah sesuatu yang tak berdasar (unfounded). Juga sangat berlebihan jika perolehan suara 0 % hanya pada sejumlah TPS, lalu disimpulkan penyelenggaraan pemilu di Indonesia tak bedanya dengan negara-negara totaliter, fasis, komunis bahkan dianggap lebih buruk dari Korea Utara.
Sungguh suatu pernyataan emosional, ngawur, unfounded dan pembodohan kepada rakyat, karena di Korea Utara hanya satu partai dan Korea Utara adalah negara anti demokrasi. Pernyataan Prabowo exaggerated. Pas jika diucapkan saat pilpres di jaman orde baru, karena pemenang pilpres selama Soeharto berkuasa sudah diketahui sebelum pilpres dilaksanakan.
3. Sebagian pendukung kubu Prabowo-Hatta tidak setuju dengan sistem pemilihan Noken di Papua. Dalam alam demokrasi adalah hal yang wajar jika tidak setuju. Tapi alangkah cerdasnya jika dipersoalkan pada awal tahapan pilpres; bukan dipersoalkan ketika pilpres sudah dilaksanakan dan suara rakyat tidak berpihak ke mas Prabowo. Seharusnya dipersoalkan juga saat pileg 2014.
Sistem Noken di Papua sudah berlangsung sejak pemilu tahun 1971. Diakui oleh MK pada tahun 2009. Jika ada pihak yang mempersoalkan berarti tidak menghargai dan tidak menghormati suara rakyat Papua yang disalurkan melalui sistem Noken.
Dalam gugatan, kubu Prabowo-Hatta mendalilkan bahwa 14 kabupaten di provinsi Papua dan Papua Barat tidak melakukan pemungutan suara. Namun kubu Prabowo-Hatta hanya mampu membuktikan di beberapa tempat saja. Ini artinya unsur masif dalam gugatan tidak terpenuhi.
4. Kubu Prabowo-Hatta mempersoalkan pembukaan kotak suara oleh KPU, karena dianggap sebagai salah satu sumber kecurangan secara TSM. Kotak suara jika hanya dibuka oleh KPU sendiri secara hukum bisa salah. Nyatanya KPU tidak membuka sendiri, tapi bersama penyelenggara pemilu lainnya, pihak keamanan, dan saksi dari kedua belah pihak.
Selama persidangan tidak terungkap kalau di dalam kotak suara yang diduga sebagai salah satu sumber kecurangan itu terdapat keanehan atau terdapat properti yang hilang. Bila terjadi kehilangan data bisa dibandingkan dengan data yang dimiliki pihak Kepolisian, Panwaslu, dan saksi dari kedua belah pihak. Namun selama persidangan tidak ada satu saksi pun yang mengatakan ada properti yang hilang.
5. Kubu Prabowo-Hatta mempersoalkan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) kerena dianggap sebagai salah satu bentuk mobilisasi pemilih. Seharusnya dipermasalahkan juga saat pileg 2014. Ada apa nanti dipermasalahkan di pilpres?
Gugatan kubu Prabowo-Hatta mempersoalkan DPKTb sangat lemah. DPKTb adalah upaya untuk memberi akses kepada warga masyarakat untuk mendapatkan hak konstitusinya, dan sebelum pilpres dimulai telah disepakati dan disetujui bersama. Selain itu, DPTb tidak ada hubungannya dengan kemenangan capres-cawapres tertentu. Karena para pemilih yang masuk kategori DPKTb dalam mencoblos menggunakan asas LUBER dan JURDIL.
DKI Jakarta, Jatim dan Sumut, adalah tiga provinsi dianggap paling banyak memobilisasi pemilih dengan menggunakan DPKTb. Materi gugutan ini sangat lemah, karena hanya 3 provinsi, sehingga tidak terpenuhi tuduhan kecurangan dilakukan secara TSM.
Total DPKTb yang dipersoalkan kubu Prabowo-Hatta sebesar 2,9 juta. Jumlah suara 2,9 juta untuk siapa. Untuk Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta? Tidak jelas dan tidak bisa dibuktikan oleh kubu Prabowo-Hatta. Apakah suara DPKTb 2,9 juta harus membatalkan 130 juta lebih suara lainnya? Apakah DPKTb sebanyak 2,9 juta menggambarkan ketidakjujuran dan ketidakadilan?
Saksi yang dihadirkan Prabowo-Hatta untuk membuktikan tuduhan kecurangan yang dilakukan KPU bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) sampai pada sidang di MK tanggal 15 Agustus tidak terungkap. Para saksi yang dihadirkan untuk memperkuat dan membuktikan dugaan kecurangan yang bersifat TSM tidak bisa membuktikannya.
Gugatan Prabowo-Hatta yang mendalilkan kecurangan masif pada 33 provinsi selama sidang gagal dibuktikan. Di Sumut, Prabowo-Hatta selaku pemohon hanya mempersoalkan perolehan suara di kabupaten Nias Selatan. Di Banten, kubu Prabowo-Hatta hanya mempersoalkan perolehan suara di kabupaten Tangerang dan kota Tangerang. Di Jawa Tengah, Prabowo-Hatta hanya mempermasalahkan suara di 6 kabupaten dari total 35 kabupaten/kota. Ini artinya kecurangan bersifat masif tidak terbukti.
Para saksi yang dihadirkan umumnya hanya mempersoalkan DPKTb dan masalah administratif ketimbang mengungkap kecurangan yang digembor-gemborkan milik Prabowo-Hatta sebesar 67.139.153 (50,26 %) sebagai angka hitungan sendiri dan diduga manipulatif.
Benarkah pilpres 9 Juli 2014 sebagaimana dituduhkan oleh kubu Prabowo-Hatta penuh kecurangan, tidak jujur dan tidak adil?
Hasil survei SMRC, yang dirilis di Hotel Sari Pan Pasifik Jakarta, Minggu 10 Agustus 2014 mengungkapkan bahwa hanya 2,3 % rakyat Indonesia menganggap pilpres tidak bebas dan tidak jujur. Sedangkan survei yang dilakukan kepada pendukung Prabowo-Hatta sebanyak 4 % yang menganggap pilpres berlangsung tidak bebas dan tidak jujur. Ini artinya gugatan Prabowo-Hatta ke MK tidak didukung oleh sebagian besar pemilihnya. Salah satu yang tidak mendukungnya adalah Mahfud MD. Menurutnya gugatan Prabowo-Hatta ke MK sangat sulit dibuktikan.
Prabowo pasti telah mengetahui dukungan terhadap dirinya mulai berkurang, tapi kemungkinan ia gengsi mengakuinya secara terbuka. Pernyataannya di gedung MK pada tanggal 6 Agustus 2014, yang menyebut pilpres di Indonesia tidak sebaik di Korea Utara yang merupakan negara anti demokrasi itu, adalah upaya untuk meraih kembali simpati pemilihnya. Hal ini tergambar dari pernyataannya bahwa ia tersakiti dengan pilpres yang menurutnya tidak ada bedanya dengan pilpres di negara totaliter, fasis dan komunis, bahkan disamakan dengan pilpres di Korea Utara yang menurutnya bisa 100 % tapi kemudian cepat-cepat diralatnya menjadi 99 %.
Para saksi yang dihadirkan kubu Prabowo-Hatta tidak dapat membuktikan tuntutan yang didalilkan bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM). Saksi Novela Nowipa misalnya yang mengaku dari kampung Awabutu pedalaman terlihat galak, sewot dan kadang lucu dalam memberi jawaban. “Kalau Bapak kacau, saya lebih kacau,” ucapnya pada hakim Arief. Tingkah Novela membuat TSM baru, maksudnya Tertawa Semua Mahkamah. Kesaksiannya untuk memperkuat dalil TSM tidak terungkap.
Gaya Novela Nawipa yang polos, apa adanya dan mengaku sebagai orang gunung ternyata menipu banyak orang. Kesaksiaanya dibantah oleh saksi KPU, Beatrix Wanane. Juga dibantah oleh Bupati Paniai, Hengki Kayame. Menurut Bupati Hengki, Novela pada saat pilpres 9 Juli 2014 tidak berada di kampung Awabutu. Sesungguhnya Novela bukan wanita yang lugu dan apa adanya. Ia adalah wanita berpendidikan tinggi, ketua DPC partai Gerindra dan sebagai direktur CV. Iyobai. Identitas diri Novela yang diketahui belakangan sebenarnya tidak ada masalah, namun yang menjadi masalah karena ia berpura-pura tak berpendidikan lugu, dan tidak santun layaknya orang yang tidak berpendidikan tinggi.
Umumnya saksi dari kubu Prabowo-Hatta memberi kesaksian berbelit-belit dan terkesan manipulatif; tidak hanya dari Novela Nawipa, tapi juga oleh saksi-saksi lainnya seperti Vincent Dogomo. Vincent bersaksi bahwa Bupati Dogiyai (Thomas Tigi) diusir saat rekapitulasi. Ketika Taufik Basari mengajukan pertanyaan, Vincent tidak menjawab tapi mengeluarkan suara keras kepada Taufik Basari.
Kesaksian Vincent dilemahkan oleh Didimus Dogomo. Menurut Didimus tidak ada pengusiran Bupati Dogiyai (Thomas Tigi) seperti yang dikatakan oleh Vincent Dogomo. Juga tidak ada intimidasi pada saat rekapitulasi, ucap Didimus.
Kesaksian Didimus Dogomo dikuatkan oleh kesaksian Kapolresta Nabire, AKBP Tagor Hutapea, S.Ik, M.Si melalui teleconference. Menurutnya proses pemungutan suara di Dogiyai berjalan dengan baik. Dijelaskannya bahwa Bupati Dogiyai saat berbicara di dalam ruangan sekitar 35 menit menggunakan bahasa daerah, sehingga ia tidak mengerti. Tapi kemudian ia mendapat informasi bahwa apa yang dikatakan oleh bupati di dalam ruangan adalah menjanjikan uang kepada penyelenggara pemilu dan warga jika suara dialihkan ke Prabowo. Ucapan Bupati membuat masyarakat marah, jelas Tagor Hutapea.
Saksi-saksi yang dihadirkan KPU dan pihak terkait (Jokowi-JK) dalam memberikan kesaksian terlihat lebih berbobot dan lebih meyakinkan dibanding saksi-saksi yang dihadirkan pihak pemohon (Prabowo-Hatta). Saksi pihak Prabowo-Hatta ada yang menyiapkan bukti berupa kliping koran, menuturkan tayangan yang disiarkan di televisi, membacakan data-data yang masih berupa coretan angka-angka dalam catatan yang tidak rapih, bahkan ada saksi yang menangis.
Sidang PHPU pilpres di MK cukup terbuka dan transparan. Tidak hanya 9 hakim MK yang menilai, tapi juga Masyarakat Kebanyakan (MK) turut menilai melalui tayangan di televisi dan pemberitaan di media cetak.
Pilpres berlangsung luber dan jurdil atau tidak, keputusan akhirnya ada di tangan para hakim MK. Ruang penyelesaian sengketa pilpres di MK adalah hal yang baik, dan siapa pun jangan menolak hal yang baik. Kita harus berusaha bersama agar tidak memberi tempat untuk hal yang menghancurkan.
Pilpres bukan hanya milik Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, tapi milik seluruh rakyat Indonesia. Keputusan PHPU pilpres memang ada di Mahkamah Konstitusi (MK), tapi Masyarakat Kebanyakan (MK) juga turut menilai. Jangan hanya karena kepentingan sempit, pribadi dan golongan baik di kubu pemohon, KPU, pihak terkait dan MK, hendaknya tidak melahirkan hal yang mempermainkan emosi rakyat. Bagi yang menang, menanglah dengan tegang rasa; dan yang kalah, akuilah dengan kebesaran hati dan jiwa. ***
Sumber : http://ift.tt/1o7YHHN