Dari Menteri ke Walikota, Pantaskah?
Tifatul Sembiring, menteri Komunikasi dan Informatika dikabarkan masuk bursa walikota Depok periode mendatang. Ini cukup mengejutkan mengingat beliau adalah seorang menteri yang masih aktif, mantan presiden PKS dan masih aktif di elit partainya. Walikota Depok sekarang juga mantan menteri, namun saat masif aktif menteri tidak ada kabar dia akan ikut bursa walikota.
Bila kelak ikut pemilihan walikota (pilwako) Depok itu Tifatul juga dalam status mantan menteri. Melihat sikap politik PKS tak ingin masuk kabinet Jokowi, artinya beliau tidak akan lagi terpilih jadi menteri. Ibarat pemain sepakbola profesional, Tifatul Sembiring berstatus bebas transfer. Dia bebas menentukan mau kemanapun bermain.
Cukup mengejutkan juga untuk kesekian kali ada mantan menteri yang mau jadi walikota yang secara hirarki-struktur pemerintahan relatif lebih rendah.
Seorang menteri mengepalai suatu kementrian. Ruang lingkup kerjanya seluruh Indonesia sesuai nomenklatur bidangnya,misalnya ; Menteri Pendidikan mengepalai dan bertanggung jawab pada bidang pendidikan saja di seluruh Indonesia. Demikin juga Menteri Komunikasi dan Informatika dan kementrian-kementrian lainnya. Lingkup kerjanya relatif sangat teknis. Kewenangannya terbatas di bidangnya saja namun teritorialnya luas.
Satu hal yang bikin status menteri terlihat tinggi, yakni bosnya adalah presiden yang merupakan kepala negara dan pejabat eksekutif tertinggi di negeri ini.
Sementara walikota hanya mengepalai wilayah kota saja. Yang diurusnya tidak hanya satu bidang saja, namun lebih luas yakni semua hal yang berkaitan dengan kehidupan warga di kotanya. Artinya, kewenangan walikota sangat luas namun teritorialnya terbatas hanya di kota itu saja. Pada era otonomi sekarang ini, seorang walikota atau bupati diibaratkan raja-raja kecil karena punya wilayah administratif, rakyat dan lingkup kekuasaan/kewenangan yang multidimensi .
Bos walikota adalah gubernur, kepala wilayah propinsi yang merupakan wakil pemerintah pusat (kementrian dalam negeri) di daerah.
Berdasarkan pejelasan tersebut dipandang secara pragmatis asoy-geboy, jabatan menteri lebih tinggi dari walikota. Hal ini berbanding lurus dengan ‘gengsi’ si pejabat di mata masyarakat.
Lihat saja, seorang menteri adalah pemimpin dibidangnya di seluruh Indonesia. Bosnya saja pemimpin negara, kantornya di Jakarta, rapatnya dengan Presiden dan sesama menteri dan otomatis menjadi tokoh nasional. Sering tampil di media nasional. Kalau wafat cepat di beritakan secara nasional.
Lalu kenapa ada mantan menteri mau jadi walikota? Apakah karena tak ada lagi pekerjaan lain? Apakah karena masih haus kekuasaan sehingga tak tahu malu turun ‘kasta dan gengsi’?
Jawabannya adalah tergantung cara pandang. Bisa saja karena ‘idelisme yang adiluhung’, misalnya :
- Semasa masih sehat dan tenaga pikiran masih diperlukan, apa salahnya saya mengabdi kepada masyarakat di manapun?
- Saya tidak berminat, tapi masyarakat sangat kuat menginginkan saya memimpin.
- Saya ini petugas partai, jadi siap ditugaskan kemanapun.
- Saya ingin menjalani masa pensiun dengan memberikan pengalaman nasional yang dimiliki untuk membangun tempat asal saya.
- Saya merasa bahwa saya mampu memimpin daerah itu karena punya konsep yang jelas, tak perduli turun status, yang pending masyarakat bisa makmur.
- Dan lain-lain….
Ada banyak alasan yang bisa dibuat dengan kata-kata indah sebagai sebuah idealisme kemudian dipublish, terlepas dari ambisi tersembunyi si tokoh yang tak diketahui masyarakat banyak.
Tiba-tiba saya membayangkan SBY mantan Presiden kita dua periode ikut pemilihan Bupati Pacitan, tempat lahir beliau. Setelah terpilih jadi bupati, suatu ketika dipanggil Presiden Jokowi berkaitan dengan kelambatan aparatnya menangani musibah banjir di wilayahnya.
Bagaimana perasaan dan tanggapan anda?
Sumber : http://ift.tt/1zAhceu