"PERADILAN BEBAS DAN TIDAK MEMIHAK"
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan ketentuan tersebut maka prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Di sisi lain juga, negara hukum yang demokratis tercermin dengan terselenggaranya peradilan yang bebas dan tidak memihak. Diketahui masih adanya intervensi atau pengaruh campur tangan dari kekuasaan pemerintah begitu sangat jelas terlihat dan terasa. Bahkan, lembaga peradilan tersubordonasi oleh kekuasaan eksekutif dan dikooptasi oleh pihak yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik. Sehingga hal ini, menimbulkan persoalan dalam lingkup penegakan hukum, misalnya, lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan. Hal itu pun, dipengaruhi oleh catatan perjalanan penegakan hukum yang dipandang masyarakat bersikap diskriminatif dan kurang memenuhi rasa keadilan. Ditambah dengan tidak jelasnya lagi penegakan terhadap hakim-hakim yang menyalahgunakan wewenang untuk meraih keuntungan pribadi. Padahal tujuan utama kekuasaan kehakimam menurut konstitusi adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui jalur hukum.
Idealnya Putusan Hakim
Adanya pendapat yang mengatakan bahwa idealnya putusan hakim harus menampung secara proporsional nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, adalah pandangan yang pasti akan disetujui oleh semua orang.
Oleh karena itu, mengingat institusi kehakiman telah dibekali jaminan untuk dapat bekerja secara independen dan imparsial, maka segala gagasan ke arah intervensi terhadap kemandirian hakim dan/atau peradilan tentu bukan suatu ide yang baik. Biarkan hakim membuat putusan yang diyakininya secara intuitif adil, secara rasional benar, dan secara antisipatif (menurut takaran pengalaman empirisnya) akan mampu melahirkan kemanfaatan. Berbeda dengan nilai keadilan dan kepastian hukum, nilai kemanfaatan memang pada hakikatnya baru dicapai melalui pengalaman, yakni harus menunggu beberapa waktu setelah putusan dibacakan.
Selain itu, mengingat putusan hakim dalam peradilan kontensius adalah putusan yang terkait kasus-kasus konkret, maka dengan sendirinya putusan hakim adalah putusan yang berangkat dari problem (problem based thinking). Pada saat bersamaan, hakim juga akan mengaitkan problem tersebut dengan pengetahuannya tentang keseluruhan sistem hukum yang berlaku. Hanya dengan pengaitan inilah, maka hakim dapat memastikan bahwa kasus hukum, bukan sekadar peristiwa konkret biasa tanpa akibat hukum.
Dalam sistem peradilan, acara pertama yang didengarkan dalam rangkaian persidangan adalah pembacaan surat dakwaan. Dalam surat dakwaan ini, jaksa penuntut umum tidak saja menginformasikan fakta, malainkan juga dasar hukum yang digunakan. Dari dasar hukum ini merupakan substansi hukum yang telah dipilihkan oleh jaksa dan diserahkan kepada hakim untuk dipertimbangkan. Pada putusan hakim kemudian, akan membenarkan atau menyalahkan unsur demi unsur tindak pidana yang terkait dengan dasar hukum pilihian jaksa tersebut.
Apabila pengertian sistem dalam konteks “berpikir problematik tersistematik” diatas ternyata hanya sekadar mendeduksikan dasar hukum yang telah diserahkan di hadapannya, maka hakim sesungguhnya telah memulai penalarannya dari ruang yang sempit. Hakim dianggap tahu hukum (ius curia novit), namun apabila ia ternyata tidak dapat menggunakan pengetahuannya, untuk keluar dari dasar hukum tersebut, sekalipun misalnya, ia tahu ada dasar hukum lain yang sebenarnya lebih layak digunakan untuk mengadili kasus tersebut.
Ruang penalaran yang sempit diatas, semestinya dapat disiasati oleh hakim dengan cara melakukan penafsiran-penafsiran terhadap suatu unsur yang didakwakan. Kata “kerugian negara” dalam kasus korupsi, misalnya, dapat diberi makna baru menurut penafsiran hakim. Apabila hakim berkesimpulan satu unsur itu tidak terpenuhi, maka akibatnya akan menggugurkan keseluruhan dakwaan atas tindak pidana dalam ketentuan hukum tadi.
Putusan hakim dapat dipandang berwibawa, dengan demikian, apabila pertama-tama hakim memfokuskan perhatiannya pada pencarian makna objektif atas ketentuan norma positif itu dengan cara menariknya ke posisi asas yang paling fundamental, yakni ke asas pemisahan baik-buruk dan kemudian menderivasinya secara intuitif keasas keasamaan perlakuan.
Kedua, dengan menyelami asas persekutuan dari dasar hukum tersebut, yakni kehendak kolektif yang menjadi kesepakatan bersama tatkala suatu norma diundangkan. Menurut J.A. Pontier, langkah kedua ini, kurang lebih berguna untuk mencari “samensprel-situatie” yakni situasi permainan bersama yang diridhoi oleh masyarakat luas (J.A. Pontier, Penemuan Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta : 2008).
Langkah pertama dan kedua ini, sudah dapat dilakukan oleh hakim sebelum ia mendalami sruktur kasus tersebut. Lain halnya dengan langkah ketiga yaitu berupa pertimbangan terhadap asas kepribadian. Penilaian atas asas ini hanya mungkin dilakukan jika hakim mendalami fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Pada langkah ketiga, hakim akan menimbang-nimbang seberapa mungkin kepentigan personal dari terdakwa dapat mengeyampingkan asas pemisahan baik-buruk, asas kesamaan perlakuan, dan asas persekutuan. Dalam perkara pidana asas kepribadian hanya mungkin diberi posisi lebih tinggi, apabila akibat atau dampak dari “tindak pidana” itu bermanfaat. Namun kejadian hal ini, tentu saja dan hampir mustahil.
Langkah selanjutnya adalah memindahkan semua perdebatan asas-asas tadi ke dalam putusan. Kewibawan putusan hakim terletak pada kejernihan sikap dan keruntutan logikanya tatkala menuangkan argumentasinya di dalam putusan.
Tugas sebagai hakim menjadi profesi yang beresiko karena kekuasaan yang dimiliki oleh hakim dapat demikian besar mempengaruhi sendi-sendi kehidupan pribadi perorangan maupun kehidupan masyarakat. Linn Hammergren berpendapat bahwa kebutuhan yang semakin besar atas akuntabilitas kekuasaan kehakiman didasari oleh semakin penting dan besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh kekuasaan kehakiman untuk memutuskan apakah hukum itu sendiri dan dalam menyelesaikan konflik, tidak hanya konflik antar individu, tetapi juga antara pemerintah dan warganegaranya. Oleh sebab itu, seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara, harus juga dituntut tanggung jawab dan akuntabilitasnya yang sangat besar.
Dengan selalu memegang prinsip-prinsip independensi, imparsialitas, dan transparansi sebuah lembaga peradilan, penyataan yang oleh Alexander Hamilton dalam Federalist Papers No. 79, mengemukakan bahwa ” Eksekutif bukan hanya memperoleh pengharagaan, tetapi memegang pedang dalam masyarakat. Legislatif bukan hanya berkuasa atas keuangan, tetapi menetapkan peraturan yang harus menjadi kewajiban dan hak-hak setiap warganegara. Kekuasaan Kehakiman sebaliknya, tidak mempunyai pengaruh kepada pedang atau keuangan, tidak mempunyai…”, dapat terbantahkan. Persepsi yang mengatakan bahwa “sesungguhnya, lembaga kekuasaan kehakiman merupakan institusi politik ketatanegaraan yang paling lemah dan paling mudah terkooptasi secara politis dibandingkan dengan lembaga negara lainnya, itu pun dapat diubah. Jika hal tersebut, setiap lembaga peradilan menjalankan tugas, fungsi dan wewenang berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan, misalnya, independensi (personal judicial independence; substantial judicial independence; dan institutional judicial independence).
Sumber : http://ift.tt/1nv0OVT
Di sisi lain juga, negara hukum yang demokratis tercermin dengan terselenggaranya peradilan yang bebas dan tidak memihak. Diketahui masih adanya intervensi atau pengaruh campur tangan dari kekuasaan pemerintah begitu sangat jelas terlihat dan terasa. Bahkan, lembaga peradilan tersubordonasi oleh kekuasaan eksekutif dan dikooptasi oleh pihak yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik. Sehingga hal ini, menimbulkan persoalan dalam lingkup penegakan hukum, misalnya, lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan. Hal itu pun, dipengaruhi oleh catatan perjalanan penegakan hukum yang dipandang masyarakat bersikap diskriminatif dan kurang memenuhi rasa keadilan. Ditambah dengan tidak jelasnya lagi penegakan terhadap hakim-hakim yang menyalahgunakan wewenang untuk meraih keuntungan pribadi. Padahal tujuan utama kekuasaan kehakimam menurut konstitusi adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui jalur hukum.
Idealnya Putusan Hakim
Adanya pendapat yang mengatakan bahwa idealnya putusan hakim harus menampung secara proporsional nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, adalah pandangan yang pasti akan disetujui oleh semua orang.
Oleh karena itu, mengingat institusi kehakiman telah dibekali jaminan untuk dapat bekerja secara independen dan imparsial, maka segala gagasan ke arah intervensi terhadap kemandirian hakim dan/atau peradilan tentu bukan suatu ide yang baik. Biarkan hakim membuat putusan yang diyakininya secara intuitif adil, secara rasional benar, dan secara antisipatif (menurut takaran pengalaman empirisnya) akan mampu melahirkan kemanfaatan. Berbeda dengan nilai keadilan dan kepastian hukum, nilai kemanfaatan memang pada hakikatnya baru dicapai melalui pengalaman, yakni harus menunggu beberapa waktu setelah putusan dibacakan.
Selain itu, mengingat putusan hakim dalam peradilan kontensius adalah putusan yang terkait kasus-kasus konkret, maka dengan sendirinya putusan hakim adalah putusan yang berangkat dari problem (problem based thinking). Pada saat bersamaan, hakim juga akan mengaitkan problem tersebut dengan pengetahuannya tentang keseluruhan sistem hukum yang berlaku. Hanya dengan pengaitan inilah, maka hakim dapat memastikan bahwa kasus hukum, bukan sekadar peristiwa konkret biasa tanpa akibat hukum.
Dalam sistem peradilan, acara pertama yang didengarkan dalam rangkaian persidangan adalah pembacaan surat dakwaan. Dalam surat dakwaan ini, jaksa penuntut umum tidak saja menginformasikan fakta, malainkan juga dasar hukum yang digunakan. Dari dasar hukum ini merupakan substansi hukum yang telah dipilihkan oleh jaksa dan diserahkan kepada hakim untuk dipertimbangkan. Pada putusan hakim kemudian, akan membenarkan atau menyalahkan unsur demi unsur tindak pidana yang terkait dengan dasar hukum pilihian jaksa tersebut.
Apabila pengertian sistem dalam konteks “berpikir problematik tersistematik” diatas ternyata hanya sekadar mendeduksikan dasar hukum yang telah diserahkan di hadapannya, maka hakim sesungguhnya telah memulai penalarannya dari ruang yang sempit. Hakim dianggap tahu hukum (ius curia novit), namun apabila ia ternyata tidak dapat menggunakan pengetahuannya, untuk keluar dari dasar hukum tersebut, sekalipun misalnya, ia tahu ada dasar hukum lain yang sebenarnya lebih layak digunakan untuk mengadili kasus tersebut.
Ruang penalaran yang sempit diatas, semestinya dapat disiasati oleh hakim dengan cara melakukan penafsiran-penafsiran terhadap suatu unsur yang didakwakan. Kata “kerugian negara” dalam kasus korupsi, misalnya, dapat diberi makna baru menurut penafsiran hakim. Apabila hakim berkesimpulan satu unsur itu tidak terpenuhi, maka akibatnya akan menggugurkan keseluruhan dakwaan atas tindak pidana dalam ketentuan hukum tadi.
Putusan hakim dapat dipandang berwibawa, dengan demikian, apabila pertama-tama hakim memfokuskan perhatiannya pada pencarian makna objektif atas ketentuan norma positif itu dengan cara menariknya ke posisi asas yang paling fundamental, yakni ke asas pemisahan baik-buruk dan kemudian menderivasinya secara intuitif keasas keasamaan perlakuan.
Kedua, dengan menyelami asas persekutuan dari dasar hukum tersebut, yakni kehendak kolektif yang menjadi kesepakatan bersama tatkala suatu norma diundangkan. Menurut J.A. Pontier, langkah kedua ini, kurang lebih berguna untuk mencari “samensprel-situatie” yakni situasi permainan bersama yang diridhoi oleh masyarakat luas (J.A. Pontier, Penemuan Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta : 2008).
Langkah pertama dan kedua ini, sudah dapat dilakukan oleh hakim sebelum ia mendalami sruktur kasus tersebut. Lain halnya dengan langkah ketiga yaitu berupa pertimbangan terhadap asas kepribadian. Penilaian atas asas ini hanya mungkin dilakukan jika hakim mendalami fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Pada langkah ketiga, hakim akan menimbang-nimbang seberapa mungkin kepentigan personal dari terdakwa dapat mengeyampingkan asas pemisahan baik-buruk, asas kesamaan perlakuan, dan asas persekutuan. Dalam perkara pidana asas kepribadian hanya mungkin diberi posisi lebih tinggi, apabila akibat atau dampak dari “tindak pidana” itu bermanfaat. Namun kejadian hal ini, tentu saja dan hampir mustahil.
Langkah selanjutnya adalah memindahkan semua perdebatan asas-asas tadi ke dalam putusan. Kewibawan putusan hakim terletak pada kejernihan sikap dan keruntutan logikanya tatkala menuangkan argumentasinya di dalam putusan.
Tugas sebagai hakim menjadi profesi yang beresiko karena kekuasaan yang dimiliki oleh hakim dapat demikian besar mempengaruhi sendi-sendi kehidupan pribadi perorangan maupun kehidupan masyarakat. Linn Hammergren berpendapat bahwa kebutuhan yang semakin besar atas akuntabilitas kekuasaan kehakiman didasari oleh semakin penting dan besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh kekuasaan kehakiman untuk memutuskan apakah hukum itu sendiri dan dalam menyelesaikan konflik, tidak hanya konflik antar individu, tetapi juga antara pemerintah dan warganegaranya. Oleh sebab itu, seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara, harus juga dituntut tanggung jawab dan akuntabilitasnya yang sangat besar.
Dengan selalu memegang prinsip-prinsip independensi, imparsialitas, dan transparansi sebuah lembaga peradilan, penyataan yang oleh Alexander Hamilton dalam Federalist Papers No. 79, mengemukakan bahwa ” Eksekutif bukan hanya memperoleh pengharagaan, tetapi memegang pedang dalam masyarakat. Legislatif bukan hanya berkuasa atas keuangan, tetapi menetapkan peraturan yang harus menjadi kewajiban dan hak-hak setiap warganegara. Kekuasaan Kehakiman sebaliknya, tidak mempunyai pengaruh kepada pedang atau keuangan, tidak mempunyai…”, dapat terbantahkan. Persepsi yang mengatakan bahwa “sesungguhnya, lembaga kekuasaan kehakiman merupakan institusi politik ketatanegaraan yang paling lemah dan paling mudah terkooptasi secara politis dibandingkan dengan lembaga negara lainnya, itu pun dapat diubah. Jika hal tersebut, setiap lembaga peradilan menjalankan tugas, fungsi dan wewenang berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan, misalnya, independensi (personal judicial independence; substantial judicial independence; dan institutional judicial independence).
Sumber : http://ift.tt/1nv0OVT