Alokasi Dana Desa dan Tantangannya
Sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, desa atau sebutan lainnya telah ada dan diakui keberadaannya. Penjelasan Pasal 18 UUD 1945, menyebutkan bahwa dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende Landschappen” dan “Volksgemeenschappeu” seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut. Hal tersebut mencerminkan bahwa Negara telah memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.
Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, disebutkan bahwa desa merupakan sebuah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat yang bertempat tinggal di desa, tentunya diperlukan pendapatan desa agar tujuan membangun desa dan desa membangun tercapai. Salah satu sumber pendapatan desa yang diatur dalam UU Desa adalah Alokasi Dana Desa (ADD).
ADD
Pada 15 Januari 2014 yang lalu, telah diundangkan Undang-Undang No. 06 Tahun 2014 tentang Desa, para kepala desa gegap gempita menyambut lahirnya undang-undang ini. Setelah sebelumnya, adanya gerakan demonstrasi dari kepala desa di berbagai daerah untuk segera mengesahkan Undang-Undang tentang Desa yang baru.
Apa keistimewaan UU 6/2014 ini dibandingkan undang-undang yang terdahulu mengatur tentang desa. Pertama, jabatan kepala desa diperpanjang selama 6 tahun, kepala desa juga dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Kedua, kepala desa dan perangkat desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulannya. Ketiga, adanya kewenangan tambahan bagi kepala desa untuk mengatur pendapatan dari desa. Keempat, lembaga desa diberikan kewenangan untuk mengawasi kinerja kepala desa. Kelima, tiap desa akan mendapatkan kucuran dana dari APBN (alokasi dana desa) yang berkisar 1,4 milyar/tahun/desa. Untuk yang terakhir ini menarik dicermati, di mana sebelumnya, desa belum pernah mendapatkan porsi anggaran dari APBN.
Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Pasca diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, tiap desa akan mendapatkan ADD berkisar antara Rp. 800 juta sampai Rp. 1,4 milyar. Dana tersebut akan dikucurkan apabila peraturan pemerintahnya sudah dibuat.
Saat ini, di Indonesia terdapat sekitar 73.000 desa dan sekitar 8.000 kelurahan. Dengan adanya dana bantuan dari pemerintah tersebut, tiap desa akan mendapatkan ADD berbeda-beda, dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografisnya. Di Kalimantan Selatan, tiap desa akan mendapatkan dana alokasi desa sekitar Rp. 1,4 milyar. ADD tersebut digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik dan pemerataan pembangunan Desa. Namun, transfer dana dari APBN tersebut hanya untuk desa. Sementara kelurahan tidak termasuk dalam program penerima anggaran, karena kelurahan masuk struktur pemerintahan. Sementara desa merupakan sebuah komunitas besar dan satu kesatuan dengan masyarakat hukum adat.
Pengawasan Penggunaan ADD
Jika setiap desa di Kalimantan Selatan mendapatkan ADD sebesar 1,4 milyar pertahun, tantangan terbesarnya adalah dengan keterbatasan SDM yang ada di desa, mampukah desa mampu untuk mengelola dana sebesar itu? Kekahwatiran muncul jika dana tersebut disalahgunakan, kitapun tidak bisa menutup mata, karena masih terbatasnya SDM untuk mengelola keuangan desa. Kekhawatiran akan rawannya penyimpangan ADD tersebut bukan tidak beralasan, mengingat banyaknya pejabat yang korupsi. Jika berkaca pada era otonomi daerah sekarang, sebanyak 525 kepala daerah terjerat kasus korupsi akibat penyelewengan keuangan negara. Jika desa memproleh dana milyaran dalam setahun, bukan hal yang mustahil jika kemudian hari, banyak kepala desa yang berurusan dengan hukum karena telah merugikan keuangan negara. Praktik korupsipun akan berpindah dari kota ke desa.
Di Kalimantan Selatan, masih banyak kepala desa yang tingkat pendidikannya hanya sampai pada sekolah menengah tingkat pertama. Peraturan daerah Kabupaten/Kotanya masih memberikan peluang kepada masyarakat untuk mencalonkan sebagai kepala desa dengan tingkat pendidikan minimal sekolah menengah pertama. Apalagi di daerah terpencil, sangat sulit untuk mencari orang yang berpendidikan sarjana. Masih minimnya tingkat pendidikan kepala desa/aparatur desa untuk mampu mengelola dana yang demikian besar tersebut menjadi catatan penting agar penggunaan dana ADD tersebut mendapat kawalan dari berbagai elemen baik dari masyarakat maupun dari pemerintah.
Untuk itulah, diperlukan mekanisme kontrol dari masyarakat untuk mengawasi penggunaan ADD ini, agar dana tersebut sesuai dengan peruntukannya meningkatkan pembangunan di desa. Mengingat Keuangan Desa yang semakin kuat pada era sekarang, penyelenggaraan Pemerintahan Desa dituntut agar lebih akuntabel, yang didukung dengan sistem pengawasan dan keseimbangan antara Pemerintah Desa dan lembaga Desa. Lembaga Desa, khususnya Badan Permusyawaratan Desa, dalam kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan Pemerintahan Desa bersama kepala desa. Adanya kewenangan tambahan bagi Badan Permusyawaratan Desa untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja kepala desa, harus dijalankan sungguh-sungguh oleh Badan Permusyawaratan Desa sebagai penjelmaan dari masyarakat desa, terutama dalam hal penggunaan keuangan desa. Adanya mekanisme ‘check and balance’ ini akan meminimalisir penyalahgunaan keuangan desa.
Di sisi lain, transparansi penggunaan ADD harus benar-benar dijalankan. Dengan adanya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, setiap orang berhak untuk meminta informasi terkait penggunaan anggaran, salah satunya penggunaan ADD. Dengan demikian penggunaan ADD bisa diawasi oleh masyarakat, agar ADD tersebut benar-benar digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik di desa.
Pembinaan Pemerintahan Desa
Agar penyelenggaraan pemerintahan di desa berjalan lancar, pemerintah perlu melakukan pembinaan serta pengawasan jalannya pemerintahan di desa. Pemerintah bisa mendelegasikan pembinaan dan pengawasannya kepada pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Pembinaan dan Pengawasan tersebut bisa dilakukan dengan cara melakukan pengawasan dalam penetapan anggaran, evaluasi anggaran dan pertanggungjawaban anggaran, melakukan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pembangunan desa, melakukan peningkatan kapasitas kepala desa, perangkat desa, dan Badan Permusyawaratan Desa serta memberikan sanksi atas penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa.
Karena dana yang dikelola begitu besar, maka penting bagi kepala desa untuk membekali diri dengan keterampilan mengelola keuangan, membuat pembukuan yang baik, akuntabel dan transparan. Mampukah kepala desa menjawab tantangan tersebut?(SH)
Sumber : http://ift.tt/1lCR9Nk
Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, disebutkan bahwa desa merupakan sebuah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat yang bertempat tinggal di desa, tentunya diperlukan pendapatan desa agar tujuan membangun desa dan desa membangun tercapai. Salah satu sumber pendapatan desa yang diatur dalam UU Desa adalah Alokasi Dana Desa (ADD).
ADD
Pada 15 Januari 2014 yang lalu, telah diundangkan Undang-Undang No. 06 Tahun 2014 tentang Desa, para kepala desa gegap gempita menyambut lahirnya undang-undang ini. Setelah sebelumnya, adanya gerakan demonstrasi dari kepala desa di berbagai daerah untuk segera mengesahkan Undang-Undang tentang Desa yang baru.
Apa keistimewaan UU 6/2014 ini dibandingkan undang-undang yang terdahulu mengatur tentang desa. Pertama, jabatan kepala desa diperpanjang selama 6 tahun, kepala desa juga dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Kedua, kepala desa dan perangkat desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulannya. Ketiga, adanya kewenangan tambahan bagi kepala desa untuk mengatur pendapatan dari desa. Keempat, lembaga desa diberikan kewenangan untuk mengawasi kinerja kepala desa. Kelima, tiap desa akan mendapatkan kucuran dana dari APBN (alokasi dana desa) yang berkisar 1,4 milyar/tahun/desa. Untuk yang terakhir ini menarik dicermati, di mana sebelumnya, desa belum pernah mendapatkan porsi anggaran dari APBN.
Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Pasca diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, tiap desa akan mendapatkan ADD berkisar antara Rp. 800 juta sampai Rp. 1,4 milyar. Dana tersebut akan dikucurkan apabila peraturan pemerintahnya sudah dibuat.
Saat ini, di Indonesia terdapat sekitar 73.000 desa dan sekitar 8.000 kelurahan. Dengan adanya dana bantuan dari pemerintah tersebut, tiap desa akan mendapatkan ADD berbeda-beda, dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografisnya. Di Kalimantan Selatan, tiap desa akan mendapatkan dana alokasi desa sekitar Rp. 1,4 milyar. ADD tersebut digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik dan pemerataan pembangunan Desa. Namun, transfer dana dari APBN tersebut hanya untuk desa. Sementara kelurahan tidak termasuk dalam program penerima anggaran, karena kelurahan masuk struktur pemerintahan. Sementara desa merupakan sebuah komunitas besar dan satu kesatuan dengan masyarakat hukum adat.
Pengawasan Penggunaan ADD
Jika setiap desa di Kalimantan Selatan mendapatkan ADD sebesar 1,4 milyar pertahun, tantangan terbesarnya adalah dengan keterbatasan SDM yang ada di desa, mampukah desa mampu untuk mengelola dana sebesar itu? Kekahwatiran muncul jika dana tersebut disalahgunakan, kitapun tidak bisa menutup mata, karena masih terbatasnya SDM untuk mengelola keuangan desa. Kekhawatiran akan rawannya penyimpangan ADD tersebut bukan tidak beralasan, mengingat banyaknya pejabat yang korupsi. Jika berkaca pada era otonomi daerah sekarang, sebanyak 525 kepala daerah terjerat kasus korupsi akibat penyelewengan keuangan negara. Jika desa memproleh dana milyaran dalam setahun, bukan hal yang mustahil jika kemudian hari, banyak kepala desa yang berurusan dengan hukum karena telah merugikan keuangan negara. Praktik korupsipun akan berpindah dari kota ke desa.
Di Kalimantan Selatan, masih banyak kepala desa yang tingkat pendidikannya hanya sampai pada sekolah menengah tingkat pertama. Peraturan daerah Kabupaten/Kotanya masih memberikan peluang kepada masyarakat untuk mencalonkan sebagai kepala desa dengan tingkat pendidikan minimal sekolah menengah pertama. Apalagi di daerah terpencil, sangat sulit untuk mencari orang yang berpendidikan sarjana. Masih minimnya tingkat pendidikan kepala desa/aparatur desa untuk mampu mengelola dana yang demikian besar tersebut menjadi catatan penting agar penggunaan dana ADD tersebut mendapat kawalan dari berbagai elemen baik dari masyarakat maupun dari pemerintah.
Untuk itulah, diperlukan mekanisme kontrol dari masyarakat untuk mengawasi penggunaan ADD ini, agar dana tersebut sesuai dengan peruntukannya meningkatkan pembangunan di desa. Mengingat Keuangan Desa yang semakin kuat pada era sekarang, penyelenggaraan Pemerintahan Desa dituntut agar lebih akuntabel, yang didukung dengan sistem pengawasan dan keseimbangan antara Pemerintah Desa dan lembaga Desa. Lembaga Desa, khususnya Badan Permusyawaratan Desa, dalam kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan Pemerintahan Desa bersama kepala desa. Adanya kewenangan tambahan bagi Badan Permusyawaratan Desa untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja kepala desa, harus dijalankan sungguh-sungguh oleh Badan Permusyawaratan Desa sebagai penjelmaan dari masyarakat desa, terutama dalam hal penggunaan keuangan desa. Adanya mekanisme ‘check and balance’ ini akan meminimalisir penyalahgunaan keuangan desa.
Di sisi lain, transparansi penggunaan ADD harus benar-benar dijalankan. Dengan adanya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, setiap orang berhak untuk meminta informasi terkait penggunaan anggaran, salah satunya penggunaan ADD. Dengan demikian penggunaan ADD bisa diawasi oleh masyarakat, agar ADD tersebut benar-benar digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik di desa.
Pembinaan Pemerintahan Desa
Agar penyelenggaraan pemerintahan di desa berjalan lancar, pemerintah perlu melakukan pembinaan serta pengawasan jalannya pemerintahan di desa. Pemerintah bisa mendelegasikan pembinaan dan pengawasannya kepada pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Pembinaan dan Pengawasan tersebut bisa dilakukan dengan cara melakukan pengawasan dalam penetapan anggaran, evaluasi anggaran dan pertanggungjawaban anggaran, melakukan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pembangunan desa, melakukan peningkatan kapasitas kepala desa, perangkat desa, dan Badan Permusyawaratan Desa serta memberikan sanksi atas penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa.
Karena dana yang dikelola begitu besar, maka penting bagi kepala desa untuk membekali diri dengan keterampilan mengelola keuangan, membuat pembukuan yang baik, akuntabel dan transparan. Mampukah kepala desa menjawab tantangan tersebut?(SH)
Sumber : http://ift.tt/1lCR9Nk