Apa yang Salah dengan Partai Hingga Pengurusnya Tak Boleh Jadi Menteri ?
Menteri adalah pembantu Presiden, yang dipilih sendiri oleh Presiden sebagai perwujudan hak prerogatifnya. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden tentu tak bisa bekerja sendiri, oleh sebab itu diperlukan sebuah kabinet yang terdiri dari para menteri untuk membantu Presiden dalam menangani berbagai persoalan negara sesuai bidang-bidang tertentu.
Keberadaan para menteri tentu sangat mempengaruhi hasil kinerja pemerintahan. Oleh sebab itu, Presiden tentu harus mempertimbangkan dengan seksama dan komprehensif, siapa saja yang akan dipilih sebagai menteri agar secara keseluruhan akan menghasilkan bentuk pemerintahan yang baik sesuai dengan mandat yang diberikan oleh rakyat melalui MPR.
Sepanjang sejarah pemerintahan di Indonesia, seeorang yang terpilih sebagai menteri tak pernah dikaitkan dengan keberadaannya sebagai pengurus partai tertentu. Bahkan jabatan menteri adalah sebagai salah satu hasil dari negosiasi politik yang dilakukan oleh partai agar dapat secara langsung terlibat dalam membuat kebijakan publik sebagai perwujudan visi dan misi partai yang bersangkutan.
Namun dengan perjalanannya, banyak kalangan menilai bahwa jabatan menteri hanyalah sekedar jabatan politis saja dan celakanya, banyak peraturan dan kebijakan yang dibuat seolah hanya untuk kepentingan partai dimana dia berasal. Bahkan ada pula yang menuduh bahwa seorang menteri ibaratnya adalah mesin ATM untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan operasional partai.
Tentu saja pendapat semacam ini tidak dapat begitu saja diterima kebenarannya, sebab tentu telah menyalahi fungsi sesungguhnya dari seorang menteri yang sepenuhnya membantu Presiden didalam menjalankan pemerintahan demi kepentingan seluruh rakyat dan sama sekali bukan untuk membela kepentingan segolongan masyarakat atau partai tertentu.
Terkait dengan hal diatas, ada yang menarik ketika Jokowi sebagai Calon Presiden (sebab belum dilantik) membuka wacana yang cukup kontroversial dengan menetapkan syarat menjadi seorang menteri adalah bukan dari pengurus partai. Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah ada apa dengan partai sehingga Jokowi merasa perlu membatasi diri untuk tidak memilih menteri yang berasal dari partai tertentu ?
Apakah hal ini justru akan memberi kesan bahwa partai politik hanyalah mementingkan golongannya sendiri meski pengurusnya menjabat sebagai menteri ? Atau dengan kata lain, seharusnya seorang menteri harus mendukung kebijakan Presiden demi kepentingan seluruh rakyat, tapi bila seorang menteri berasal dari partai tertentu, apakah dikhawatirkan akan ‘bermain belakang’ dengan partainya ?
Mengapa pula Jokowi bisa sampai pada gagasan untuk memilih menteri bukan dari kalangan partai ?
Apakah pengurus partai ’sekotor’ itu hingga Jokowi tak mau mengangkatnya sebagai menteri ?
Lalu bila menggunakan sudut pandang yang lain, apakah ada jaminan bahwa seseorang yang berasal dari organisasi non partai dalam menjalankan kewajibannya sebagai menteri nantinya tidak akan ‘main belakang’ dengan pihak/organisasi/entitas tertentu ?
Jokowi seakan ingin menggunakan teknik ‘gebyah uyah’, yang mana menganggap sebuah institusi tertentu adalah sama saja yang akan menghasilkan manusia ‘kotor’ dan akan ‘mengotori’ pemerintahannya.
Ataukah Jokowi merasa bahwa dirinyalah orang yang paling bersih diantara yang ‘kotor’ dan dirinya seakan lupa bahwa keberadaannya sebagai calon presiden adalah atas hasil jerih payah dan usaha mati-matian dari para pengurus sebuah partai politik ?
Apakah Jokowi merasa ketakutan sendiri bila orang orang disekelilingnya nanti adalah para pengurus partai yang menurutnya suka ‘main belakang’ ?
Memang tak ada satupun manusia yang sempurna, tapi bukan berarti harus bersikap antipati kepada sebagian orang dari golongan tertentu.
Bila Jokowi memang sudah ‘alergi’ dengan orang-orang partai, lalu mau dikemanakan keberadaan partai politik di Indonesia, dimana para pengurusnya telah tertutup kemungkinannya menjabat sebagai seorang menteri ?
Lalu dari golongan mana saja yang bisa dipercaya oleh Jokowi untuk menjabat sebagai menteri ?
Apakah dari kalangan pendidikan ? Orgainsasi masyarakat ? Organisasi Sosial ? Atau Organisasi mana lagi ?
Bukankah dari semua organisai non partai juga ada pengurusnya yang mana bisa saja punya tabiat yang sama dengan para pengurus partai ?
Lalu apa yang bisa ditarik ‘benang merah’nya ?
Apakah Jokowi telah yakin bahwa gagasannya itu tidak akan menjadi polemik yang meluas dan mengarah kepada diskriminasi terhadap setiap warga negara terhadap haknya untuk menduduki jabatan di pemerintahan ?
Setiap manusia tentu tidak bisa diklasifikasikan didalam kelompok yang sama hanya sekedar mempertimbangkan dari organisasi mana dia berasal. Sedangkan Undang-undang jelas jelas melindungi dan memberi kebebasan setiap warganegara untuk bergabung atau mambangun organisasi apapun, asalkan tidak bertujuan melawan hukum.
Memang seorang pengurus partai tentu punya loyalitas yang sangat tinggi kepada partainya, namun bukan berarti bahwa mereka tidak layak menjabat sebagai menteri.
Mengukur kapabilitas dan kompetensi seseorang menteri bukanlah dengan mempertimbangkan keberadaannya sebagai pengurus partai, namun yang lebih utama adalah dari rekam jejak dari perjalanan karir berpolitik serta keterkaitannya dengan permasalahan hukum.
Bila ada seorang pengurus partai yang memang benar-benar memiliki kapasitas dan integritas kebangsaan yang tinggi, apa salahnya dipilih sebagai seorang menteri ?
Inilah saatnya bagi kita semua untuk memandang setiap permasalahan secara obyektip dan tidak barantipati atau apriori kepada kalangan tertentu.
Ada satu hal yang mungkin Jokowi telah lupa, bahwa semua manusia tidak ada yang sempurna, termasuk dirinya dan saya.
Salam
.oOo.
Sumber : http://ift.tt/1Ahg5Td
Keberadaan para menteri tentu sangat mempengaruhi hasil kinerja pemerintahan. Oleh sebab itu, Presiden tentu harus mempertimbangkan dengan seksama dan komprehensif, siapa saja yang akan dipilih sebagai menteri agar secara keseluruhan akan menghasilkan bentuk pemerintahan yang baik sesuai dengan mandat yang diberikan oleh rakyat melalui MPR.
Sepanjang sejarah pemerintahan di Indonesia, seeorang yang terpilih sebagai menteri tak pernah dikaitkan dengan keberadaannya sebagai pengurus partai tertentu. Bahkan jabatan menteri adalah sebagai salah satu hasil dari negosiasi politik yang dilakukan oleh partai agar dapat secara langsung terlibat dalam membuat kebijakan publik sebagai perwujudan visi dan misi partai yang bersangkutan.
Namun dengan perjalanannya, banyak kalangan menilai bahwa jabatan menteri hanyalah sekedar jabatan politis saja dan celakanya, banyak peraturan dan kebijakan yang dibuat seolah hanya untuk kepentingan partai dimana dia berasal. Bahkan ada pula yang menuduh bahwa seorang menteri ibaratnya adalah mesin ATM untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan operasional partai.
Tentu saja pendapat semacam ini tidak dapat begitu saja diterima kebenarannya, sebab tentu telah menyalahi fungsi sesungguhnya dari seorang menteri yang sepenuhnya membantu Presiden didalam menjalankan pemerintahan demi kepentingan seluruh rakyat dan sama sekali bukan untuk membela kepentingan segolongan masyarakat atau partai tertentu.
Terkait dengan hal diatas, ada yang menarik ketika Jokowi sebagai Calon Presiden (sebab belum dilantik) membuka wacana yang cukup kontroversial dengan menetapkan syarat menjadi seorang menteri adalah bukan dari pengurus partai. Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah ada apa dengan partai sehingga Jokowi merasa perlu membatasi diri untuk tidak memilih menteri yang berasal dari partai tertentu ?
Apakah hal ini justru akan memberi kesan bahwa partai politik hanyalah mementingkan golongannya sendiri meski pengurusnya menjabat sebagai menteri ? Atau dengan kata lain, seharusnya seorang menteri harus mendukung kebijakan Presiden demi kepentingan seluruh rakyat, tapi bila seorang menteri berasal dari partai tertentu, apakah dikhawatirkan akan ‘bermain belakang’ dengan partainya ?
Mengapa pula Jokowi bisa sampai pada gagasan untuk memilih menteri bukan dari kalangan partai ?
Apakah pengurus partai ’sekotor’ itu hingga Jokowi tak mau mengangkatnya sebagai menteri ?
Lalu bila menggunakan sudut pandang yang lain, apakah ada jaminan bahwa seseorang yang berasal dari organisasi non partai dalam menjalankan kewajibannya sebagai menteri nantinya tidak akan ‘main belakang’ dengan pihak/organisasi/entitas tertentu ?
Jokowi seakan ingin menggunakan teknik ‘gebyah uyah’, yang mana menganggap sebuah institusi tertentu adalah sama saja yang akan menghasilkan manusia ‘kotor’ dan akan ‘mengotori’ pemerintahannya.
Ataukah Jokowi merasa bahwa dirinyalah orang yang paling bersih diantara yang ‘kotor’ dan dirinya seakan lupa bahwa keberadaannya sebagai calon presiden adalah atas hasil jerih payah dan usaha mati-matian dari para pengurus sebuah partai politik ?
Apakah Jokowi merasa ketakutan sendiri bila orang orang disekelilingnya nanti adalah para pengurus partai yang menurutnya suka ‘main belakang’ ?
Memang tak ada satupun manusia yang sempurna, tapi bukan berarti harus bersikap antipati kepada sebagian orang dari golongan tertentu.
Bila Jokowi memang sudah ‘alergi’ dengan orang-orang partai, lalu mau dikemanakan keberadaan partai politik di Indonesia, dimana para pengurusnya telah tertutup kemungkinannya menjabat sebagai seorang menteri ?
Lalu dari golongan mana saja yang bisa dipercaya oleh Jokowi untuk menjabat sebagai menteri ?
Apakah dari kalangan pendidikan ? Orgainsasi masyarakat ? Organisasi Sosial ? Atau Organisasi mana lagi ?
Bukankah dari semua organisai non partai juga ada pengurusnya yang mana bisa saja punya tabiat yang sama dengan para pengurus partai ?
Lalu apa yang bisa ditarik ‘benang merah’nya ?
Apakah Jokowi telah yakin bahwa gagasannya itu tidak akan menjadi polemik yang meluas dan mengarah kepada diskriminasi terhadap setiap warga negara terhadap haknya untuk menduduki jabatan di pemerintahan ?
Setiap manusia tentu tidak bisa diklasifikasikan didalam kelompok yang sama hanya sekedar mempertimbangkan dari organisasi mana dia berasal. Sedangkan Undang-undang jelas jelas melindungi dan memberi kebebasan setiap warganegara untuk bergabung atau mambangun organisasi apapun, asalkan tidak bertujuan melawan hukum.
Memang seorang pengurus partai tentu punya loyalitas yang sangat tinggi kepada partainya, namun bukan berarti bahwa mereka tidak layak menjabat sebagai menteri.
Mengukur kapabilitas dan kompetensi seseorang menteri bukanlah dengan mempertimbangkan keberadaannya sebagai pengurus partai, namun yang lebih utama adalah dari rekam jejak dari perjalanan karir berpolitik serta keterkaitannya dengan permasalahan hukum.
Bila ada seorang pengurus partai yang memang benar-benar memiliki kapasitas dan integritas kebangsaan yang tinggi, apa salahnya dipilih sebagai seorang menteri ?
Inilah saatnya bagi kita semua untuk memandang setiap permasalahan secara obyektip dan tidak barantipati atau apriori kepada kalangan tertentu.
Ada satu hal yang mungkin Jokowi telah lupa, bahwa semua manusia tidak ada yang sempurna, termasuk dirinya dan saya.
Salam
.oOo.
Sumber : http://ift.tt/1Ahg5Td