Adakah Kecurangan Pilpres di Papua?
Masih berkait dengan gugatan (permohonan) tim Prabowo-Hatta ke Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat: MK). Dalam berkas permohonan, salah satu Petitum (permintaan) yang disampaikan memohon dilaksanakannya Pemungutan Suara Ulang di 12 Kabupaten Provinsi Papua. Salah satu dalil yang dikemukakan, KPU tidak melaksanakan Pemilu berdasarkan azas LUBER, dan memilih menggunakan sistem NOKEN.
Hingga hari ini, sistem Noken yang dipergunakan dalam Pemilu (termasuk Pilpres) di Papua, khususnya di daerah pegunungan masih menjadi perdebatan dan kontroversial.
Istilah Noken diambil dari tas harian yang dibuat oleh masyarakat asli Papua. Tas yang dijalin dari benang yang berasal dari akar pepohonan. Selanjutnya istilah Noken dipergunakan dalam praktek penyelenggaraan Pemilu di Papua. Mengganti kotak suara dengan tali (noken). Ada dua sistem Noken. Pertama, Noken gantung. Tali atau noken digantung menganti kotak suara. Para pemilih yang hadir, untuk menentukan pilihannya, berbaris di salah satu tali yang digantung tersebut. Berapa banyak pemilih di TPS itu yang berbaris di salah satu noken, dihitung dan dituliskan jumlahnya oleh petugas KPPS. Dengan terlebih dahulu mencoblos surat suara sebanyak pemilih di Noken masing-masing. Kedua, Noken dengan sistem perwakilan ketua adat. Para pemilih menyerahkan hak pilihnya diwakilkan oleh Ketua Adat. Dalam tradisi, Ketua Adat dipercaya sebagai orang yang mengambil keputusan. Ketua Adat dituakan, dipercaya mengambil keputusan untuk daerah.
Tentu saja azas Pemilu LUBER tidak berlaku pada sistem Noken ini. Pemilih bisa terbuka menentukan pilihan dengan cara berbaris, dan tidak RAHASIA. Mewakilkan kepada ketua adat, tentu saja azas LANGSUNG, juga tidak berlaku. Dengan kata lain sistem Noken tidak menganut azas LUBER yang ada dalam konstitusi (UUD 1945). Atau sistem Noken itu inkonstitusional.
Meskipun sistem Noken tersebut inkonstitusional, MK membolehkan dan mensahkan penggunaan sistem Noken dalam praktek Pemilu. Hal ini bisa dibaca pada putusan MK No 47-48/PHPU.A-VI/2009, tanggal 9 Juni 2009 dalam sengketa Pilkada Kabupaten Yahukimo 2009. Putusan MK tersebut sebagai upaya melegalkan penggunaan Noken dan penghargaan terhadap keberagaman budaya dalam kemajemukan Indonesia.
Namun, putusan MK tersebut tidak dapat dipandang atau ditafsirkan sebagai suatu norma hukum yang akan digunakan sebagai dasar hukum penggunaan noken sebagai sebuah “sistem” pemilu di Papua. Noken hanyalah sebuah simbol budaya dan tidak dapat digunakan secara permanen, sebagai instrumen demokrasi dalam pemilu di Papua. Selain itu, MK juga memandang bahwa pelaksanaan Pemilu dengan sistem perwakilan tersebut dapat meminimalisir konflik di tengah masyarakat.
Merujuk pada putusan MK tersebut, maka KPUD Papua kemudian membuat peraturan turunan sebagai landasan tekhnis pelaksanaan putusan MK. Dan sejak tahun 2009, sistem Noken telah dipergunakan dalam Pilkada (Gubernur dan Bupati), Pilpres 2009, Pemilu 2014 dan Pilpres 2014.
Jadi sungguh janggal, jika tim Prabowo Hatta, mempermasalahkan penggunaan sistem Noken dalam Pilpres kali ini. Karena sistem ini sudah dipergunakan sejak tahun 2009, dan hasilnya Presiden terpilih (SBY-Boediono), Gubernur terpilih, Bupati/ Walikota terpilih, dan Caleg DPR, DPRD terpilih dari daerah pemilihan Papua semua menggunakan sistem Noken.
Kejanggalan gugatan tim Prabowo Hatta yang “hanya” mempermasalahkan sistem Noken di 12 Kabupaten. Padahal di daerah pegunungan Papua ada 14 Kabupaten. Dua kabupaten yang tidak dimasukan dalam gugatan tim Prabowo Hatta adalah Kabupaten Lanny Jaya dan Kabupaten Mamberamo Tengah . Di dua kabupaten ini Capres Prabowo menang. Menang juga dengan menggunakan sistem Noken.
Meskipun sistem Noken secara jelas inkonstitusional, tetapi mengapa masih dipergunakan dan bahkan disahkan hasilnya oleh MK. Selain pertimbangan adat budaya, faktor yang ikut mempengaruhi adalah: masalah stabilitas keamanan, dan faktor geografis.
Contohnya yang terjadi di Kabupaten Yahukimo. Hingga tanggal 10 Juli 2014, belum terselenggara Pemilu. Dan Bawaslu merekomendasikan adanya Pemilu Susulan. Justru pada tanggal 10 Juli, ribuan orang turun ke jalan untuk memboikot Pemilu Presiden. Rakyat Papua tidak menginginkan Pilpres. Yang mereka harapkan adanya refrendum di tanah Papua. Sebelumnya, tanggal 8 Juli 2014, sudah turun juga ribuan massa menuntut hal serupa. Sehingga pada tanggal 9 Juli 2014, tidak ada satu TPS pun yang dibuka untuk melangsungkan Pilpres. Aksi massa ini kelanjutan dari hasil sidang tahunan Parlemen Nasional West Papua (PNWP) pada 3-5 April 2014 di Portnumbay, West Papua memutuskan untuk Boikot Pilres dan menyerukan refrendum di wilayah Teritori West Papua. Bahkan terjadi pembakaran 4.952 surat undangan pemilih (atau C6) dan 500 lembar kertas suara.
Oleh karena itu pihak Polda Papua, KPU Papua, Bawaslu dan tokoh/ ketua Adat bermusyawarah untuk melaksanakan Pilpres. Dan sistem Noken kembali dipergunakan. Ditambah dengan kondisi geografis pegunungan papua dan ketersebaran masyarakat. Kendala cuaca, keterbatasan transportasi, dan hambatan komunikasi, membuat Pemilu (bahkan Pilpres) tidak berjalan normal sebagaimana yang terjadi di daerah lain di luar Papua. Bahkan logistik Pilpres, ada yang baru sampai pada tanggal 9 Juli 2014 di TPS.
Mempertimbangkan pelbagai faktor-faktor tersebut, dalil tim Prabowo Hatta yang mempermasalahkan sistem Noken, bisa jadi akan dikesampingkan oleh MK. Karena MK sudah mensahkan sistem Noken tersebut dalam putusan PHPU pada tahun 2009.
Sumber : http://ift.tt/1suGOJd
Hingga hari ini, sistem Noken yang dipergunakan dalam Pemilu (termasuk Pilpres) di Papua, khususnya di daerah pegunungan masih menjadi perdebatan dan kontroversial.
Istilah Noken diambil dari tas harian yang dibuat oleh masyarakat asli Papua. Tas yang dijalin dari benang yang berasal dari akar pepohonan. Selanjutnya istilah Noken dipergunakan dalam praktek penyelenggaraan Pemilu di Papua. Mengganti kotak suara dengan tali (noken). Ada dua sistem Noken. Pertama, Noken gantung. Tali atau noken digantung menganti kotak suara. Para pemilih yang hadir, untuk menentukan pilihannya, berbaris di salah satu tali yang digantung tersebut. Berapa banyak pemilih di TPS itu yang berbaris di salah satu noken, dihitung dan dituliskan jumlahnya oleh petugas KPPS. Dengan terlebih dahulu mencoblos surat suara sebanyak pemilih di Noken masing-masing. Kedua, Noken dengan sistem perwakilan ketua adat. Para pemilih menyerahkan hak pilihnya diwakilkan oleh Ketua Adat. Dalam tradisi, Ketua Adat dipercaya sebagai orang yang mengambil keputusan. Ketua Adat dituakan, dipercaya mengambil keputusan untuk daerah.
Tentu saja azas Pemilu LUBER tidak berlaku pada sistem Noken ini. Pemilih bisa terbuka menentukan pilihan dengan cara berbaris, dan tidak RAHASIA. Mewakilkan kepada ketua adat, tentu saja azas LANGSUNG, juga tidak berlaku. Dengan kata lain sistem Noken tidak menganut azas LUBER yang ada dalam konstitusi (UUD 1945). Atau sistem Noken itu inkonstitusional.
Meskipun sistem Noken tersebut inkonstitusional, MK membolehkan dan mensahkan penggunaan sistem Noken dalam praktek Pemilu. Hal ini bisa dibaca pada putusan MK No 47-48/PHPU.A-VI/2009, tanggal 9 Juni 2009 dalam sengketa Pilkada Kabupaten Yahukimo 2009. Putusan MK tersebut sebagai upaya melegalkan penggunaan Noken dan penghargaan terhadap keberagaman budaya dalam kemajemukan Indonesia.
Namun, putusan MK tersebut tidak dapat dipandang atau ditafsirkan sebagai suatu norma hukum yang akan digunakan sebagai dasar hukum penggunaan noken sebagai sebuah “sistem” pemilu di Papua. Noken hanyalah sebuah simbol budaya dan tidak dapat digunakan secara permanen, sebagai instrumen demokrasi dalam pemilu di Papua. Selain itu, MK juga memandang bahwa pelaksanaan Pemilu dengan sistem perwakilan tersebut dapat meminimalisir konflik di tengah masyarakat.
Merujuk pada putusan MK tersebut, maka KPUD Papua kemudian membuat peraturan turunan sebagai landasan tekhnis pelaksanaan putusan MK. Dan sejak tahun 2009, sistem Noken telah dipergunakan dalam Pilkada (Gubernur dan Bupati), Pilpres 2009, Pemilu 2014 dan Pilpres 2014.
Jadi sungguh janggal, jika tim Prabowo Hatta, mempermasalahkan penggunaan sistem Noken dalam Pilpres kali ini. Karena sistem ini sudah dipergunakan sejak tahun 2009, dan hasilnya Presiden terpilih (SBY-Boediono), Gubernur terpilih, Bupati/ Walikota terpilih, dan Caleg DPR, DPRD terpilih dari daerah pemilihan Papua semua menggunakan sistem Noken.
Kejanggalan gugatan tim Prabowo Hatta yang “hanya” mempermasalahkan sistem Noken di 12 Kabupaten. Padahal di daerah pegunungan Papua ada 14 Kabupaten. Dua kabupaten yang tidak dimasukan dalam gugatan tim Prabowo Hatta adalah Kabupaten Lanny Jaya dan Kabupaten Mamberamo Tengah . Di dua kabupaten ini Capres Prabowo menang. Menang juga dengan menggunakan sistem Noken.
Meskipun sistem Noken secara jelas inkonstitusional, tetapi mengapa masih dipergunakan dan bahkan disahkan hasilnya oleh MK. Selain pertimbangan adat budaya, faktor yang ikut mempengaruhi adalah: masalah stabilitas keamanan, dan faktor geografis.
Contohnya yang terjadi di Kabupaten Yahukimo. Hingga tanggal 10 Juli 2014, belum terselenggara Pemilu. Dan Bawaslu merekomendasikan adanya Pemilu Susulan. Justru pada tanggal 10 Juli, ribuan orang turun ke jalan untuk memboikot Pemilu Presiden. Rakyat Papua tidak menginginkan Pilpres. Yang mereka harapkan adanya refrendum di tanah Papua. Sebelumnya, tanggal 8 Juli 2014, sudah turun juga ribuan massa menuntut hal serupa. Sehingga pada tanggal 9 Juli 2014, tidak ada satu TPS pun yang dibuka untuk melangsungkan Pilpres. Aksi massa ini kelanjutan dari hasil sidang tahunan Parlemen Nasional West Papua (PNWP) pada 3-5 April 2014 di Portnumbay, West Papua memutuskan untuk Boikot Pilres dan menyerukan refrendum di wilayah Teritori West Papua. Bahkan terjadi pembakaran 4.952 surat undangan pemilih (atau C6) dan 500 lembar kertas suara.
Oleh karena itu pihak Polda Papua, KPU Papua, Bawaslu dan tokoh/ ketua Adat bermusyawarah untuk melaksanakan Pilpres. Dan sistem Noken kembali dipergunakan. Ditambah dengan kondisi geografis pegunungan papua dan ketersebaran masyarakat. Kendala cuaca, keterbatasan transportasi, dan hambatan komunikasi, membuat Pemilu (bahkan Pilpres) tidak berjalan normal sebagaimana yang terjadi di daerah lain di luar Papua. Bahkan logistik Pilpres, ada yang baru sampai pada tanggal 9 Juli 2014 di TPS.
Mempertimbangkan pelbagai faktor-faktor tersebut, dalil tim Prabowo Hatta yang mempermasalahkan sistem Noken, bisa jadi akan dikesampingkan oleh MK. Karena MK sudah mensahkan sistem Noken tersebut dalam putusan PHPU pada tahun 2009.
Sumber : http://ift.tt/1suGOJd