2014 : Tamat Riwayat Karier Politik Prabowo
Dengan berbunyinya palu Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva di gedung Mahkamah Konstitusi pada 21 Agustus 2014 dalam sidang sengketa Pilpres 2014 sebagai penolakan terhadap gugatan tim Prabowo, maka berakhirlah drama politik-demokrasi yang paling mendebarkan sejak era Reformasi 1998. Keputusan tersebut bersifat mengikat.
Apa boleh buat. Menerima ataukah terus akan menggugat hingga langit ketujuh, Prabowo sudah mengakhiri perjalanan politiknya sendiri dengan segala tindakan, baik dari Prabowo sendiri maupun kelakuan para pendukungnya yang sangat tidak simpatik.
Selama menjalani politik praktis, Prabowo teledor dalam kemajuan teknologi mutakhir. Dengan kemajuan teknologi informasi-komunikasi dewasa ini, segala berita dan isu (kampanye negatif) bisa dengan mudah beredar bahkan ke seluruh dunia. Akibat yang signifikan (menurut sebuah lembaga survei) adalah berkurangnya jumlah simpatisan Prabowo.
Ya, Prabowo teledor. Sikap adiknya, Hasyim, yang arogan (tidak sudi berekonsiliasi), sikap seenaknya sebagian saksinya di persidangan, dan sikap intimidatif para pendukung fanatiknya, ketiganya merupakan kabar buruk yang beredar begitu luas bagi karier politiknya.
Biaya Pilpres 2014 yang dikeluarkan oleh Prabowo tentulah tidak sedikit, apalagi dengan ngotot sampai ke MK. Citra Prabowo yang sudah terbangun dengan baik (sampai awal 2014), akhirnya malah coreng-moreng bahkan, bukan mustahil, babak-belur (lewat pertengahan 2014). Tentulah biaya pincitraan bukannya Rp. 1 M atau Rp. 3 M.
Hal tersebut pun sangat berpotensi ‘mengusik’ citra Partai Gerindra, meski berada pada posisi ke-3 pada peringkat perolehan suara di Pileg 2014. Sayang sekali, bahwa partai yang dibangun dengan susah-payah dan menghabiskan biaya tidak sedikit itu nantinya (Pileg 2019) bakal mengalami kemerosotan yang drastis.
Ya, seberapa banyak rakyat yang masih mau percaya pada Prabowo setelah suara palu diketok, dan segala gugatan soal hasil perolehan suara, Pilpres 2014, sampai menggugat KPU ditolak MK? Ambisi besar hingga teledornya Prabowo telah berubah menjadi ‘bumerang serius’ bagi perjalanan karier politiknya sendiri.
Tidak mustahil bahwa pesta demokratis dalam hajatan politik Indonesia pada tahun 2014 ini merupakan perjalanan akhir bagi karier politik seorang Prabowo. Kalaupun mustahil, ya, tidak apa-apa. Sebab tulisan ini bukanlah sebuah nubuatan yang dilakukan dengan ibadah khusus.
*******
Sabana Karang, 2014
Sumber : http://ift.tt/1t4Cfaw
Apa boleh buat. Menerima ataukah terus akan menggugat hingga langit ketujuh, Prabowo sudah mengakhiri perjalanan politiknya sendiri dengan segala tindakan, baik dari Prabowo sendiri maupun kelakuan para pendukungnya yang sangat tidak simpatik.
Selama menjalani politik praktis, Prabowo teledor dalam kemajuan teknologi mutakhir. Dengan kemajuan teknologi informasi-komunikasi dewasa ini, segala berita dan isu (kampanye negatif) bisa dengan mudah beredar bahkan ke seluruh dunia. Akibat yang signifikan (menurut sebuah lembaga survei) adalah berkurangnya jumlah simpatisan Prabowo.
Ya, Prabowo teledor. Sikap adiknya, Hasyim, yang arogan (tidak sudi berekonsiliasi), sikap seenaknya sebagian saksinya di persidangan, dan sikap intimidatif para pendukung fanatiknya, ketiganya merupakan kabar buruk yang beredar begitu luas bagi karier politiknya.
Biaya Pilpres 2014 yang dikeluarkan oleh Prabowo tentulah tidak sedikit, apalagi dengan ngotot sampai ke MK. Citra Prabowo yang sudah terbangun dengan baik (sampai awal 2014), akhirnya malah coreng-moreng bahkan, bukan mustahil, babak-belur (lewat pertengahan 2014). Tentulah biaya pincitraan bukannya Rp. 1 M atau Rp. 3 M.
Hal tersebut pun sangat berpotensi ‘mengusik’ citra Partai Gerindra, meski berada pada posisi ke-3 pada peringkat perolehan suara di Pileg 2014. Sayang sekali, bahwa partai yang dibangun dengan susah-payah dan menghabiskan biaya tidak sedikit itu nantinya (Pileg 2019) bakal mengalami kemerosotan yang drastis.
Ya, seberapa banyak rakyat yang masih mau percaya pada Prabowo setelah suara palu diketok, dan segala gugatan soal hasil perolehan suara, Pilpres 2014, sampai menggugat KPU ditolak MK? Ambisi besar hingga teledornya Prabowo telah berubah menjadi ‘bumerang serius’ bagi perjalanan karier politiknya sendiri.
Tidak mustahil bahwa pesta demokratis dalam hajatan politik Indonesia pada tahun 2014 ini merupakan perjalanan akhir bagi karier politik seorang Prabowo. Kalaupun mustahil, ya, tidak apa-apa. Sebab tulisan ini bukanlah sebuah nubuatan yang dilakukan dengan ibadah khusus.
*******
Sabana Karang, 2014
Sumber : http://ift.tt/1t4Cfaw