Opini: Apa Kabarmu? Membangun Oki dari Desa?
Sejak pelantikan Bupati OKI 15 januari 2014, masyarakat bende seguguk seolah mendapatkan angin segar akan harapan nahkoda baru atas arah kepemimpinan OKI lima tahun kedepan, semua masyarakat harap-harap cemas menanti agenda pembangunan strategis dari roda pemerintahan baru yang telah berjalan memasuki semester kedua kepemimpinan OKI.
Sebelum kita lebih jauh memberikan penilaian atas kinerja kepemimpinan OKI, masyarakat mungkin tidak lupa dengan lima calon kandidat bupati yang maju dalam pilkada OKI tahun lalu. memori masyarakat perlu diingatkan kembali, mengenai review dan catatan menarik tentang pergolakan politik dalam pilkada OKI kemarin.
Catatan pertama, publik dihentakan dengan majunya Yusuf Mekki (adik bupati saat itu) dan Tartila Ishak (yang juga istri bupati) sebagai kandidat yang sama-sama maju pada pilkada kemarin. Sorotan publik mengisyaratkan tanya, bagaimana mungkin mereka berdua dari keluarga yang sama tapi maju secara bersamaan pada momentum yang sama.
Spekulasi analisa politik masyarakat tak bisa dihindarkan dan menimbulkan banyak tafsiran, ada yang menganggap ini sebagai selisih kepentingan, ada juga yang beranggapan ini adalah hasil deal-deal politik yang sengaja disetting oleh aktor belakang layar (hidden actor) dibelakangnya. Namun apapun itu publik tidak boleh lupa inilah yang disebut sebagai gelanggang politik, segala apapun kemungkinan bisa terjadi.
Kedua, proses pembelajaran demokrasi semakin menunjukan geliatnya, dari lima kandidat bupati yang bertarung pada pilkada OKI kemarin. ada dua yang maju sebagai calon independen, sekalipun belum pernah ada sejarahnya calon independen itu menang di kabupaten OKI. Paling tidak, ini telah memberikan pembelajaran dan warna baru dalam memaknai transisi demokratisasi dikabupaten OKI.
Ketiga, munculnya calon perempuan Zaitun Mawardi yang merupakan anak kandung dari Bupati OI, terkesan menambah catatan publik terhadap betapa politik hegemoni juga turut mewarnai dikabupaten OKI. Namun dilain sisi kita juga perlu optimis bahwa hadirnya dua kandidat perempuan dalam merebut kursi eksekutif di OKI (Zaitun Mawardi dan Tartila Ishak), telah memberikan gambaran bahwa perlu setidaknya sentuhan perempuan dalam mengambil peran strategis eksekutif, dimana kita tahu bahwa setiap agenda pembangunan selalu didominasi dengan perspektif laki-laki. Inilah yang saya kira merupakan sebuah terobosan dalam dinamika politik demokrasi lokal yang turut mewarnai pilkada OKI kemarin.
Politik Akar Rumput VS Kamufelase Pembangunan
“Membangun OKI dari Desa” itulah semangat pembangunan yang menghantarkan Iskandar SE menjadi bupati terpilih ogan kemering ilir, slogan yang sederhana namun mampu menunjukan kekuatan politik akar rumput yang sejalan dengan semangat trisakti bungkarno “berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan” secara sederhana ditingkat lokal aktualiasasi dari semangat trisakti itu, bisa diterjemahkan dengan semangat pembangunan dari akar rumput yaitu, Membangun OKI dari Desa. Semangat pembangunan yang seperti ini yang sebetulnya dinanti oleh masyarakat OKI.
Persoalan kemiskinan, lapangan pekerjaan, angka putus sekolah, konflik agraria, reformasi birokrasi, akses pelayanan publik yang belum memadai, sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan didaerah pelosok yang masih jadi persoalan serius, penanganan penyakit sosial seperti penyalahgunaan zat adiktif penggunaan narkoba yang masih tinggi, persoalan markup anggaran dan korupsi ditubuh lembaga atau dinas-dinas pemerintahan yang belum banyak terjamah, pembenahan sistem pelayanan serta reformasi birokrasi dieksekutif, legislatif dan yudikatif yang belum berjalan efektif, mengurangi resiko terhadap tekanan pemilik modal yang ingin menguasi lahan dan sumber daya alam yang berdampak pada menurunnya kualitas dampak lingkungan dan lahan-lahan produktif warga, sampai pada mengurangi tekanan politik politisi yang ingin membajak apbd melalui proyek sulap dan tender-tender sempalan, semua itu adalah harapan besar warga terhadap kempemimpinan OKI.
“Membangun OKI dari Desa” sepertinya kehilangan “Taji” kalau tidak mau disebut bahwa turunan dari pelaksanaan konsep itu masih terasa begitu hambar dan begitu mentah. Kalau tidak, ini perlu dikoreksi dan dikawal, oleh legislatif, tokoh masyarakat, media, pemuda, institusi dan lembaga masyarakat terkait, hingga semua stake holder yang berkepentingan untuk mengawal OKI, perlu setidaknya melakukan urun rembuk dalam hal-hal strategis yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai dampak terhadap masyarakat.
Dalam konteks kebijakan pemerintahan baru OKI, perlu paling tidak melakukan evaluasi total untuk sekali lagi melibatkan seluruh komponen masyarakat secara keseluruhan mengenai masukan-masukan terhadap persoalan akar rumput warga sehingga slogan pembangunan “Membangun OKI dari Desa” tidak hanya milik pekerjaan pemerintah (gawenyo pemerintah) tapi juga milik dan kerja rakyat secara keseluruhan.
Dalam konteks politik dan sosial untuk membangun kekuatan rakyat (people power) dan masyarakat sipil (civil society) jangka panjang, perlu ada wadah untuk melakukan pemetaan sub-sub simpul masyarakat misalnya terhadap kelompok tani, pemuda, mahasiswa, pelajar, kelompok nelayan, guru, komunitas seni, pedagang kalangan (mingguan), pengusaha lokal dll, yang kemudian disinergikan dengan instansi dan dinas-dinas yang ada. Sehingga kerja dinas tidak perlu memboroskan waktu, dan tenaga untuk turun kemasyarakat, karena kerja tersebut sudah terbantu oleh sub-sub sosial masyarakat. Secara tidak langsung ini juga memiliki dampak positif untuk menjaga tatanan stabilitas sosial masyarakat yang ada. Namun dari kesemua itu yang paling penting, pada titik tekannya, tentu kita tidak ingin masyarakat OKI terus bertanya, kemudian secara santun datang dengan tulisan spanduk, “Apa Kabarmu? Membangun OKI dari Desa?”.
M. Haekal Al-Haffafah, Ketua Bidang Partisipasi Pembangun Daerah (PPD) HMI Cabang Palembang.
Sumber : http://ift.tt/1BS6qnT
Sebelum kita lebih jauh memberikan penilaian atas kinerja kepemimpinan OKI, masyarakat mungkin tidak lupa dengan lima calon kandidat bupati yang maju dalam pilkada OKI tahun lalu. memori masyarakat perlu diingatkan kembali, mengenai review dan catatan menarik tentang pergolakan politik dalam pilkada OKI kemarin.
Catatan pertama, publik dihentakan dengan majunya Yusuf Mekki (adik bupati saat itu) dan Tartila Ishak (yang juga istri bupati) sebagai kandidat yang sama-sama maju pada pilkada kemarin. Sorotan publik mengisyaratkan tanya, bagaimana mungkin mereka berdua dari keluarga yang sama tapi maju secara bersamaan pada momentum yang sama.
Spekulasi analisa politik masyarakat tak bisa dihindarkan dan menimbulkan banyak tafsiran, ada yang menganggap ini sebagai selisih kepentingan, ada juga yang beranggapan ini adalah hasil deal-deal politik yang sengaja disetting oleh aktor belakang layar (hidden actor) dibelakangnya. Namun apapun itu publik tidak boleh lupa inilah yang disebut sebagai gelanggang politik, segala apapun kemungkinan bisa terjadi.
Kedua, proses pembelajaran demokrasi semakin menunjukan geliatnya, dari lima kandidat bupati yang bertarung pada pilkada OKI kemarin. ada dua yang maju sebagai calon independen, sekalipun belum pernah ada sejarahnya calon independen itu menang di kabupaten OKI. Paling tidak, ini telah memberikan pembelajaran dan warna baru dalam memaknai transisi demokratisasi dikabupaten OKI.
Ketiga, munculnya calon perempuan Zaitun Mawardi yang merupakan anak kandung dari Bupati OI, terkesan menambah catatan publik terhadap betapa politik hegemoni juga turut mewarnai dikabupaten OKI. Namun dilain sisi kita juga perlu optimis bahwa hadirnya dua kandidat perempuan dalam merebut kursi eksekutif di OKI (Zaitun Mawardi dan Tartila Ishak), telah memberikan gambaran bahwa perlu setidaknya sentuhan perempuan dalam mengambil peran strategis eksekutif, dimana kita tahu bahwa setiap agenda pembangunan selalu didominasi dengan perspektif laki-laki. Inilah yang saya kira merupakan sebuah terobosan dalam dinamika politik demokrasi lokal yang turut mewarnai pilkada OKI kemarin.
Politik Akar Rumput VS Kamufelase Pembangunan
“Membangun OKI dari Desa” itulah semangat pembangunan yang menghantarkan Iskandar SE menjadi bupati terpilih ogan kemering ilir, slogan yang sederhana namun mampu menunjukan kekuatan politik akar rumput yang sejalan dengan semangat trisakti bungkarno “berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan” secara sederhana ditingkat lokal aktualiasasi dari semangat trisakti itu, bisa diterjemahkan dengan semangat pembangunan dari akar rumput yaitu, Membangun OKI dari Desa. Semangat pembangunan yang seperti ini yang sebetulnya dinanti oleh masyarakat OKI.
Persoalan kemiskinan, lapangan pekerjaan, angka putus sekolah, konflik agraria, reformasi birokrasi, akses pelayanan publik yang belum memadai, sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan didaerah pelosok yang masih jadi persoalan serius, penanganan penyakit sosial seperti penyalahgunaan zat adiktif penggunaan narkoba yang masih tinggi, persoalan markup anggaran dan korupsi ditubuh lembaga atau dinas-dinas pemerintahan yang belum banyak terjamah, pembenahan sistem pelayanan serta reformasi birokrasi dieksekutif, legislatif dan yudikatif yang belum berjalan efektif, mengurangi resiko terhadap tekanan pemilik modal yang ingin menguasi lahan dan sumber daya alam yang berdampak pada menurunnya kualitas dampak lingkungan dan lahan-lahan produktif warga, sampai pada mengurangi tekanan politik politisi yang ingin membajak apbd melalui proyek sulap dan tender-tender sempalan, semua itu adalah harapan besar warga terhadap kempemimpinan OKI.
“Membangun OKI dari Desa” sepertinya kehilangan “Taji” kalau tidak mau disebut bahwa turunan dari pelaksanaan konsep itu masih terasa begitu hambar dan begitu mentah. Kalau tidak, ini perlu dikoreksi dan dikawal, oleh legislatif, tokoh masyarakat, media, pemuda, institusi dan lembaga masyarakat terkait, hingga semua stake holder yang berkepentingan untuk mengawal OKI, perlu setidaknya melakukan urun rembuk dalam hal-hal strategis yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai dampak terhadap masyarakat.
Dalam konteks kebijakan pemerintahan baru OKI, perlu paling tidak melakukan evaluasi total untuk sekali lagi melibatkan seluruh komponen masyarakat secara keseluruhan mengenai masukan-masukan terhadap persoalan akar rumput warga sehingga slogan pembangunan “Membangun OKI dari Desa” tidak hanya milik pekerjaan pemerintah (gawenyo pemerintah) tapi juga milik dan kerja rakyat secara keseluruhan.
Dalam konteks politik dan sosial untuk membangun kekuatan rakyat (people power) dan masyarakat sipil (civil society) jangka panjang, perlu ada wadah untuk melakukan pemetaan sub-sub simpul masyarakat misalnya terhadap kelompok tani, pemuda, mahasiswa, pelajar, kelompok nelayan, guru, komunitas seni, pedagang kalangan (mingguan), pengusaha lokal dll, yang kemudian disinergikan dengan instansi dan dinas-dinas yang ada. Sehingga kerja dinas tidak perlu memboroskan waktu, dan tenaga untuk turun kemasyarakat, karena kerja tersebut sudah terbantu oleh sub-sub sosial masyarakat. Secara tidak langsung ini juga memiliki dampak positif untuk menjaga tatanan stabilitas sosial masyarakat yang ada. Namun dari kesemua itu yang paling penting, pada titik tekannya, tentu kita tidak ingin masyarakat OKI terus bertanya, kemudian secara santun datang dengan tulisan spanduk, “Apa Kabarmu? Membangun OKI dari Desa?”.
M. Haekal Al-Haffafah, Ketua Bidang Partisipasi Pembangun Daerah (PPD) HMI Cabang Palembang.
Sumber : http://ift.tt/1BS6qnT