Pencitraan Negatif Prabowo menjadi-jadi pasca Pilpres
Upaya penjegalan kemenangan Joko Widodo sebagai Presiden terpilih pada Pilpres 9 Juli lalu yang dilakukan oleh kubu lawan, Prabowo Subianto tampaknya semakin panjang dan bertele-tele saja. Penolakan hasil Pilpres yang dituangkan oleh kubu Prabowo ke dalam lembaran-lembaran berkas gugatan ke Mahkamah Konstitusi sepertinya akan semakin menjadikan Pilpres kali ini kian buruk dan tidak sportif. Dengan alasan mencari keadilan dan menyebut banyaknya kecurangan yang terjadi saat pemungutan suara, Tim Prabowo-Hatta menggugat Komisi Pemilihan Umum ke MK. Sayangnya upaya yang mereka sebut sebagai pencari keadilan ini semakin lama kian kontroversial saja. Bukan karena ditolak atau dikabulkan MK, karena sidangnya saja belum dimulai namun dikarenakan laporan tersebut memiliki kejanggalan-kejanggalan dalam pemaparan isinya.
Di awal gugatan pada 25 Juli 2014, Kubu Prabowo menyampaikan berkas Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014 kepada MK sebanyak 55 halaman. Sehari kemudian, berkas itu direvisi dan menjadi 147 halaman. Anehnya terdapat banyak kejanggalan-kejanggalan yang tertera dalam berkas laporan tersebut. Misalnya saja, Persentase perolehan suara kedua Capres yang tidak bulat 100%. Klaim Prabowo yang memenangkan Pilpres sesuai Laporan tersebut adalah 67.139.153 atau 50,25%, dan Jokowi-JK meraih 66.435.124 atau 49,74. Penjumlahan persentase suara keduanya hanya 99.99%. Tak kalah fatal, kejanggalan lain juga muncul pada isi gugatan yang mana Tim Prabowo menyebut kecurangan sistematis dilakukan pasangan Nomor urut satu (mereka sendiri) di halaman 140. Bingung kan?
Dikonfirmasi masalah kejanggalan tersebut, tim Prabowo-Hatta menampiknya sebagai hal biasa yang lumrah terjadi yakni salah ketik (typo). Seperti pernyataan Maqdir Ismail, anggota tim Hukum Prabowo-Hatta yang dikutip dari liputan6.com :
“Itu ada kesalahan typo error. Kesalahan itu kan tidak menghilangkan esensi bahwa pelanggaran di pemilu dilakukan. Tidak menghilangkan pelanggaran yang dilakukan,” ujar Maqdir
Pernyataan Maqdir ini tentu saja bisa dengan mudah dimaklumi andai saja yang menyusun berkas gugatan Prabowo abal-abal dan untuk permasalahan yang sederhana. Untuk permasalahan sebesar gugatan pemenang Pilpres, rasanya Prabowo sudah seharusnya menunjuk orang-orang yang professional dan pakar di bidangnya untuk menyiapkan laporan yang sempurna agar cukup kuat untuk memenangkan kasus tersebut. Manusiawi jika hanya sekali, namun apakah masih bisa mengakui kredibilitas tim di belakang Prabowo jika Typo dalam gugatan tersebut berkali-kali?
Terkuaknya kejanggalan-kejanggalan berkas gugatan Prabowo ke MK semakin menurunkan citra Prabowo yang tidak pressisi dan semakin konyol saja. Ini tentu saja bukan yang pertama.
Pada 9 Juli lalu pasca pemungutan suara, Prabowo begitu saja mempercayai hasil hitung cepat Lembaga Survei Nasional (LSN), Puskaptis hingga JSI yang muncul sebagai tiga Lembaga survey yang mengunggulkan kemenangan Prabowo-Hatta setelah sejumlah besar Lembaga survey yang lebih kredibel mengumumkan kemenangan Jokowi. Jika masyarakat awam saja tahu membedakan yang mana lembaga survey paling kredibel melihat track record nya selama ini, rasanya seorang Jendral besar seperti Prabowo mustahil tidak tahu itu. Namun, Prabowo tampak tutup mata dan tutup telinga akan hal tersebut hingga dengan lantang mengumumkan klaim kemenangan menyusul Jokowi. Saat itu, Prabowo sepertinya mengorbankan kecerdasan dan wawasannya selama ini demi untuk menjadi pemenang. Padahal pada Pemilihan Legislatif pada April lalu, bukankah Prabowo mempercayai hasil survey LSI, Litbang Kompas, Cyrus, SMRC dan lain-lain yang menempatkan Gerindera sebagai pemenang ketiga Pemilu.
Kemudian saat Real Count Pilpres diumumkan oleh KPU pada 22 Juli 2014 lalu, dengan sangat emosional Prabowo kembali mengejutkan rakyat seantero nusantara dengan mengundurkan diri dan tidak mengakui rekapitulasi KPU dimana beberapa anggotanya meninggalkan rapat pleno rekapitulasi KPU yang akhirnya memenangkan Jokowi persis seperti hasil Hitung cepat berbagai lembaga survey yang kredibel. Padahal jika tidak menyetujui hasil Pilpres karena dianggap bermasalah bisa saja membawanya ke MK, Jadi tidak seharusnya meninggalkan gedung KPU dan berapi-api mengumumkan pengunduran diri. Mundurnya Prabowo menjadi berita bulan-bulanan di media, namun oleh Juru Bicaranya, Tantowi Yahya belakangan Tim Prabowo tidak mengakui hal tersebut. Sayangnya emosi Prabowo yang masih mengebu-gebu menjadi salah satu citra buruknya.
Masih ingat beberapa waktu lalu sebelum penyelenggaraan Pilpres, Prabowo berhasil menarik perhatian banyak masyarakat dengan pidatonya yang mengaku siap kalah dan siap menang bahkan mantan menantu Presiden Soeharto ini meminta Jokowi memberikan pernyataan yang sama. Entah apa maksudnya, padahal Jokowi jauh sebelum Prabowo membuat pernyataan siap kalah siap menang telah melakukannya terlebih dahulu. Sekarang, pidato Prabowo tersebut seakan angin lalu yang telah hilang entah kemana. Kini, Gugatannya ke MK juga bermasalah dan berantakan.
Tindakan ‘Ngotot’ Prabowo sebagai pemenang Pilpres ini bisa-bisa membuat masyarakat muak dan pendukungnya beralih membencinya. Jika Tim Prabowo membahas mengenai kecurangan pada Pilpres lalu, rasanya semua orang juga tahu Jokowi justru mengalami hal yang sama dan lebih intens. Tetapi ambisi Prabowo untuk menjadi Presiden sepertinya tak akan diam begitu saja menerima kekalahannya ini. Disinilah masyarakat perlu berpikir rasional dan logika dengan mengesampingkan sikap fanatisme terhadap tokoh yang dijunjung. Aksi Prabowo dan timnya selama ini secara tidak langsung telah memperburuk citra Prabowo itu sendiri. Jika di awal kemunculannya Prabowo dianggap tegas dan disegani, kini tindakan-tindakannya pasca Pilpres menjadi bahan tertawaan.
Tak hanya itu, Prabowo juga telah mencatatkan diri sebagai peserta Pilpres paling kompleks yang pernah ada di Indonesia. Dengan melihat berbagai upayanya melawan setiap pihak yang tiap kali memberitakan keburukannya atau menurunnya elektabilitasnya, secara tidak langsung Prabowo telah menunjukkan pribadi yang tidak terima kekalahan dan membenci para kritikusnya. Ingat pengusiran wartawan Kompas, Metro Tv dan Detik beberapa waktu lalu atau kata ‘Brengsek’ yang disematkannya kepada The Jakarta Post?
Semakin lama sengketa Pilpres berjalan, ‘keaslian’ pribadi Prabowo semakin terkuak saja. Jika saja dulu setelah kalah dalam Pilpres, Prabowo legowo dan langsung mengucapkan selamat kepada Jokowi rasanya akan semakin banyak yang mengidolakannya (termasuk saya) dan mungkin akan memilihnya jika mencalonkan diri di Pilpres 2019 nanti. Sayangnya melihat Prabowo yang sekarang, masih adakah yang akan memilihnya bila suatu saat menjadi Capres lagi?
Entahlah, yang pasti semoga saja setelah putusan MK nanti jika menolak gugatan Prabowo, kubu capres nomor satu tersebut tidak mengatakan MK salah atau berpihak kepada Jokowi. Jika Iya, artinya Prabowo harus membentuk negara sendiri atau pindah warga negara dan mencoba peruntungan sebagai Presiden.
Berita Terkait:
Ada Kejanggalan pada Berkas Gugatan Prabowo-Hatta di MK
Penjelasan Tim Prabowo-Hatta Soal Kejanggalan Berkas Gugatan MK
Note:
“Selamat Idul Fitri untuk semua rekan-rekan Kompasianer yang merayakan”
Sumber : http://ift.tt/1AmYBpw