Renungan Ahir Tahun, Membangun Karakter Seimbang
Helen Keler menegaskan Karakter tidak mungkin tumbuh tanpa ujian ujian. Dalam bahasa tasauf, dibangun dengan melakukan Riyadhoh dan dalam wacana Jawa diraih dengan menjalani LAKU. Melakukan banyak hal dan berbagai suasana dapat digunakan membangun karakter, walaupun kadang hal itu terasa kurang menyenangkan.
Sebuah cerita dari Joko sewaktu kami mengikuti Pertukaran Pemuda di Jepang, membangun taat hukum dilakukan dengan menerapkan hukuman, misalnya ketika tidak membuang sampah pada tempatnya, dia dihukum oleh orang tuanya, dan secara empirik itu menimbulkan kesadaran akan taat aturan.
Tentang hukuman yang seakan sebagai tindak kan Traumatik, sebenarnya baru sekedar asumsi asumsi psikologis dan jika ada kasus yang riil maka dapat dipastikan status psikologis anak tersebut memang layak dipertanyakan. Sementyara itu threatment hukuman tidak pernah dikaji dalam research berulang sehingga membuktikan hipothesa-hipothea itu menjadi theory. Jadi berbagai “asumsi traumatik psikologis” kenyataannya hanyalah asumsi-asumsi dari penanganan kasusu tanpa verifikasi memadai untuk dijadikan theori.
Peneguhan asumsi asumsi itu justru sangat membahayakan pengembangan karakter anak, anak anak akan terus dimanjakan oleh sistem, dan akan tumbuh sebagai pribadi pribadi “saenake dewe” yang pada ahirnya menjadi Egois dan asosial. Fenomena kenakalan remaja yang mengarah pada egoisme tentu sangat berharga untuk mempertanyakan berbagai langkah kita.
Realitasnya, bangsa-bangsa dengan budaya menghukum spesifik, seperti Jepang, China, India mampu menjadi negara dengan pertumbuhan kemajuan yang luar biasa. Sementara Amerika sebagai kiblat kebebasan dan demokrasi dalam berbagai hal justru semakin terjun bebas dengan kriminalitas dan kehidupan keluarga yang memprihatinkan, tetapi tetap dilindungi dalam kalimat apologis, itulah budaya meraka.
Dalam sebuah riwayat tentang pendidikan kita dapat memahami, bahwa ada tahapan-tahapan tertentu beserta contoh sanksinya. Sebagai orang tua mslim kita tahu, bahwa memulai mengajak sholat adalah saat umur 7 tahun dan ketika setelah 3 tahun dengan bertambahnya umur anak, pada usia 10 tahun mulai ditegakkan sanksi. Sudah barang tentu selama 3 tahun membimbing anak sholat disertai penyadarana, pembudayaan sehingga nilai-nilai sholat menjadi karakter dan pada 3 tahun setelah menyuruh melakukannya, seorang anak sudah siap dengan apa yang akan dia terima ketika meninggalkan shol;at setelah berumur 10 tahun.
Riwayat itu tentu saja bukan sekedar cerita tanpa makna, Riwayat tersebut adalah “ugeran’. “Pakem”. atau “SOP” pendidikan sholat yang mestinya dilakukan setiap orang tua muslim, terutama ayah sebagai imam keluarga. Sementara itu, proses itu juga punya nilai, memiliki hikmah, yang layak untuk dijadiokan kaidah umum, bahwa pemberlakuan perintah beserta hukum melanggarnya pelrlu dilakukan untuk membangun karakter dan menegakkan nilai-nilai kebenaran.
Asumsi bahwa memberi hukum (termasuk hukuman fisik yang selektif) kepada anak didik yang selama ini digembar gemborkan seakan merupakan pelanggaran terhadap perlindungan anak layak dikaji ulang sebelum seluruh anak-anak kita tumbuh menjadi anak-anak yang “termanjakan” oleh asumsi-asumsi yang sesungguhnya bertentangan dengan apa yang Nabi tauladankan. Lagi-lagi kita harus “menuduh” semua ini sesungguhnya upaya “penjajahan” melalui Kebebasan. Sebuah perang pemikiran, ghazwul fikri, yang mengarah pada berkuasanya nilai-nilai kebebasan tak terbatas dalam kehidupan, sebuah proses menuju kehidupan barbarian yang menghancurkan, yang sangat dinikmati oleh pengikut-pengikut kebebasan hidup.
Memang kita juga melihat fakta adanya nuansa “sadistik” dalam penerapan hukuman untuk penegakan jiwa satuan (Korsa) maupun “militansi mafia” yang justru menggoreskan dendam dan trauima psikologis, namun tentu saja itu di luar kewajaran yang terjadi dalam kehidupan. Dan penerapan sanksi yang demikian tentu sangat tidak perlu dijalankan.
Penerapan reward dan punishment dalam dunia pendidikan tentu sangat perlu dilakukan dalam proses penyeimbangan dalam upaya membangun karakter manusia seimbang, memahami hak dan kewajiban, keinginan dan tanggung jawab, kebebasan dan ketaatan, sebagaimana kita mengenal pahala dan dosa, tabsyir dan tandhir. Dan dalam keseimbangan itulah sesunggahnya orbit kebahagiaan manusia ada pada titik optimalnya.
” Dan langit telah ditinggikan-Nya dan dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu” (QS. Ar Rahman 7 - 9).
Sebuah cerita dari Joko sewaktu kami mengikuti Pertukaran Pemuda di Jepang, membangun taat hukum dilakukan dengan menerapkan hukuman, misalnya ketika tidak membuang sampah pada tempatnya, dia dihukum oleh orang tuanya, dan secara empirik itu menimbulkan kesadaran akan taat aturan.
Tentang hukuman yang seakan sebagai tindak kan Traumatik, sebenarnya baru sekedar asumsi asumsi psikologis dan jika ada kasus yang riil maka dapat dipastikan status psikologis anak tersebut memang layak dipertanyakan. Sementyara itu threatment hukuman tidak pernah dikaji dalam research berulang sehingga membuktikan hipothesa-hipothea itu menjadi theory. Jadi berbagai “asumsi traumatik psikologis” kenyataannya hanyalah asumsi-asumsi dari penanganan kasusu tanpa verifikasi memadai untuk dijadikan theori.
Peneguhan asumsi asumsi itu justru sangat membahayakan pengembangan karakter anak, anak anak akan terus dimanjakan oleh sistem, dan akan tumbuh sebagai pribadi pribadi “saenake dewe” yang pada ahirnya menjadi Egois dan asosial. Fenomena kenakalan remaja yang mengarah pada egoisme tentu sangat berharga untuk mempertanyakan berbagai langkah kita.
Realitasnya, bangsa-bangsa dengan budaya menghukum spesifik, seperti Jepang, China, India mampu menjadi negara dengan pertumbuhan kemajuan yang luar biasa. Sementara Amerika sebagai kiblat kebebasan dan demokrasi dalam berbagai hal justru semakin terjun bebas dengan kriminalitas dan kehidupan keluarga yang memprihatinkan, tetapi tetap dilindungi dalam kalimat apologis, itulah budaya meraka.
Dalam sebuah riwayat tentang pendidikan kita dapat memahami, bahwa ada tahapan-tahapan tertentu beserta contoh sanksinya. Sebagai orang tua mslim kita tahu, bahwa memulai mengajak sholat adalah saat umur 7 tahun dan ketika setelah 3 tahun dengan bertambahnya umur anak, pada usia 10 tahun mulai ditegakkan sanksi. Sudah barang tentu selama 3 tahun membimbing anak sholat disertai penyadarana, pembudayaan sehingga nilai-nilai sholat menjadi karakter dan pada 3 tahun setelah menyuruh melakukannya, seorang anak sudah siap dengan apa yang akan dia terima ketika meninggalkan shol;at setelah berumur 10 tahun.
Riwayat itu tentu saja bukan sekedar cerita tanpa makna, Riwayat tersebut adalah “ugeran’. “Pakem”. atau “SOP” pendidikan sholat yang mestinya dilakukan setiap orang tua muslim, terutama ayah sebagai imam keluarga. Sementara itu, proses itu juga punya nilai, memiliki hikmah, yang layak untuk dijadiokan kaidah umum, bahwa pemberlakuan perintah beserta hukum melanggarnya pelrlu dilakukan untuk membangun karakter dan menegakkan nilai-nilai kebenaran.
Asumsi bahwa memberi hukum (termasuk hukuman fisik yang selektif) kepada anak didik yang selama ini digembar gemborkan seakan merupakan pelanggaran terhadap perlindungan anak layak dikaji ulang sebelum seluruh anak-anak kita tumbuh menjadi anak-anak yang “termanjakan” oleh asumsi-asumsi yang sesungguhnya bertentangan dengan apa yang Nabi tauladankan. Lagi-lagi kita harus “menuduh” semua ini sesungguhnya upaya “penjajahan” melalui Kebebasan. Sebuah perang pemikiran, ghazwul fikri, yang mengarah pada berkuasanya nilai-nilai kebebasan tak terbatas dalam kehidupan, sebuah proses menuju kehidupan barbarian yang menghancurkan, yang sangat dinikmati oleh pengikut-pengikut kebebasan hidup.
Memang kita juga melihat fakta adanya nuansa “sadistik” dalam penerapan hukuman untuk penegakan jiwa satuan (Korsa) maupun “militansi mafia” yang justru menggoreskan dendam dan trauima psikologis, namun tentu saja itu di luar kewajaran yang terjadi dalam kehidupan. Dan penerapan sanksi yang demikian tentu sangat tidak perlu dijalankan.
Penerapan reward dan punishment dalam dunia pendidikan tentu sangat perlu dilakukan dalam proses penyeimbangan dalam upaya membangun karakter manusia seimbang, memahami hak dan kewajiban, keinginan dan tanggung jawab, kebebasan dan ketaatan, sebagaimana kita mengenal pahala dan dosa, tabsyir dan tandhir. Dan dalam keseimbangan itulah sesunggahnya orbit kebahagiaan manusia ada pada titik optimalnya.
” Dan langit telah ditinggikan-Nya dan dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu” (QS. Ar Rahman 7 - 9).
Sumber : http://ift.tt/1sW7eBo