Suara Warga

Krisis Intoleransi

Artikel terkait : Krisis Intoleransi

Intoleransi atas perbedaan merupakan hal yang terasa paling nyata belakangan ini. Tahun 2001, kita mengenal Al-Qaeda yang begitu intoleran dengan kaum non muslim sehingga terjadilah peristiwa 9/11 (pengeboman World Trade Center). Ketika tokoh utamanya Osama bin Laden dikatakan telah berhasil dieksekusi oleh intelijen AS, Al-Qaeda seolah lumpuh. Tidak begitu lama setelah dunia lepas dari ancaman Al-Qaeda, muncul kelompok-kelompok Islam garis keras lainnya seperti Taliban, ISIS dan Boko Haram. Mereka semua dengan caranya yang berbeda-beda bersikap intoleran kepada non muslim dan muslim yang tidak satu ajaran dengan mereka. Ironisnya, mereka mengatasnamakan Jihad untuk membenarkan tindakan yang sungguh tidak manusiawi. Indonesia sendiri juga tidak lepas dari ancaman kelompok Islam garis keras seperti FPI yang tidak menunjukkan etika ketika menyatakan pendapat, bahkan menghina dan melecehkan saudara sebangsanya. Namun, perlu juga disadari bahwa Islam bukanlah agama intoleran, justru Islam adalah agama yang kuat dengan ideologi Rahmatan lil Alamin (rahmat untuk alam semesta). Juga perlu disadari bahwa intoleransi tidak hanya ada pada kelompok-kelompok Islam garis keras, tetapi di AS sendiri, orang kulit hitam masih saja dianggap lebih rendah dibanding orang kulit putih. Kasus yang masih melekat pada ingatan adalah kasus Ferguson, ketika polisi kulit putih membunuh pemuda kulit hitam yang tidak bersalah.

Sebagai warga negara Indonesia, sesungguhnya kita beruntung memiliki Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi satu. Meski dasar negara sudah jelas menyatakan bahwa negara ini menyatukan segala perbedaannya dan menomorsatukan toleransi satu sama lain, masih saja ada kelompok-kelompok intoleran yang menodai Pancasila itu sendiri. Mulai dari intoleransi kepada etnis Cina dan Arab hingga intoleransi kepada agama minoritas. Kasus pertama di Indonesia adalah penutupan GKI Yasmin di Bogor. Pemerintah Bogor berpendapat bahwa GKI Yasmin tidak memiliki IMB atas bangunan Gereja tersebut sehingga bangunan harus disegel. Setelah GKI Yasmin membawa sengketa ini ke Mahkamah Agung, ternyata mereka terbukti tidak bersalah dan memiliki hukum yang sah untuk mendirikan bangunan gereja di Bogor. Namun, faktanya hingga kini Jemaat GKI Yasmin tidak dapat beribadah di Gerejanya sendiri. Pemerintah Bogor mengabaikan putusan MA tahun 2010 tersebut.

Kasus kedua adalah ketika FPI (Front Pembela Islam) menolak pelantikan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan alasan perbedaaan agama. Bahkan, FPI melecehkan kepala daerah tersebut dengan membakar boneka bermuka Ahok dan membacakan tahlil di depan boneka tersebut. FPI juga mengajak seluruh warga DKI agar mengkonsolidasikan kekuatan untuk melawan Ahok, sang pemimpin kafir, katanya. FPI bahkan memperbolehkan warga DKI untuk menimpuki Ahok dengan batu agar dia bisa pulang ke kampungnya dan tidak balik lagi ke DKI. Dengan mengatasnamakan seluruh warga DKI, mereka mengangkat Gubernur Tandingan bernama Fahrurozy. Pasalnya, warga DKI telah menjatuhkan pilihannya kepada Jokowi-Ahok pada Pilkada tahun 2012 lalu dan telah memenangkan Jokowi di DKI pada Pilpres 2014. Tentu proses pemilihan telah usai dan berdasarkan konstitusi Indonesia yang tidak memihak pada agama tertentu, Ahok sah menjadi Gubernur Ibukota.

Kasus ketiga adalah penghormatan yang lebih kepada etnis Cina dengan melecehkan etnis Arab. Surabaya adalah contoh yang paling jelas, etnis Cina memang pelaku bisnis dan investasi utama disana. Bahkan seluruh pembangunan di Surabaya ada karena para investor yang beretnis Cina. Sehingga orang pribumi begitu menghormati etnis Cina, namun konsekuensinya etnis Arab di Surabaya seringkali dilecehkan. Hal ini bisa terlihat dari hal yang paling kecil saja, misalnya ketika kedua etnis Cina dan Arab mengantre untuk membeli barang. Toko tersebut biasanya mengutamakan orang Cina. Terkadang para penjaga toko yang beretnis Cina ini sengaja memberi barang dengan kualitas buruk kepada orang etnis Arab. Akhirnya, di Surabaya sendiri telah tercipta kebencian antar kedua etnis.

Mengapa hal ini dapat dikatakan krisis? Karena Negara tidak pernah hadir. Negara seolah membiarkan para pelaku intoleran ini merajalela. Negara seakan tidak berdaya, padahal mereka harusnya dapat mengambil suatu tindakan dengan hukum-hukum yang ada. Negara bahkan tidak pernah menindaklanjuti perilaku kejam Pemerintah Daerah Bogor yang melarang Jemaat GKI Yasmin beribadah di tempat mereka, padahal para jemaat ini selalu melakukan aksi damai di depan Istana Negara hampir setiap bulannya. Negara tidak pernah menggunakan UU Ormas yang menyatakan jika suatu ormas mendapat teguran keras tiga kali dari kepolisian, maka Ormas tersebut dapat dibubarkan. FPI sendiri telah mendapat tiga kali teguran dari Polri, bahkan Ahok telah mengirimkan rekomendasi pembubaran dan didukung oleh warga DKI yang marah dirinya diatasnamakan oleh FPI. Lagi-lagi Negara mendiamkan hal ini, sehingga Ormas seperti FPI terkesan dipelihara dan boleh melakukan apa saja di Indonesia. Negara juga tidak pernah bertanya kepada warga setempat di Surabaya akar permasalahan etnis Cina dan Arab, Pemerintah setempat tidak pernah melakukan sosialisasi untuk mendamaikan kedua belah pihak.

Dari sisi moral sendiri, negeri ini telah melanggar hati nurani kolektifnya atau hati nurani bangsa. Hati nurani bangsa yang dimaksud disini adalah Pancasila sebagai ideologi negara, sebagai asas tunggal dari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara dengan mengabaikan amanat Pancasila telah menodai hati nurani bangsa, begitu juga dengan rakyat yang mendiamkan intoleransi yang memecah belah bangsa. Jika kita sebagai rakyat yang mencintai Persatuan Indonesia dan Negara yang seharusnya hadir berdasarkan hukum terus mendiamkan hal ini, maka bukan tidak mungkin suatu saat Bhinneka Tunggal Ika akan pecah. Tidak akan ada lagi persatuan, yang tersisa hanyalah kebencian antar etnis dan agama. Bukan hanya memecah belah bangsa, tapi hal ini juga akan menghancurkan Indonesia. Jika Negara tidak dapat bertindak tegas dengan kelompok-kelompok intoleran dalam negeri, Negara mungkin akan lebih tidak berdaya menghadapi kelompok-kelompok radikal dari luar negeri yang kini mulai merasuki bangsa Indonesia, seperti ISIS dan Boko Haram. Hal ini belum terlambat, dengan kekuatan kolektif bersama dari rakyat hingga pemerintah, maka intoleransi dapat dihentikan. Namun, tetap tidak dapat dipungkiri bahwa intoleransi atas perbedaan telah menjadi krisis di negara ini dan hal ini terjadi karena kita terus mendiamkan dan menanggap remeh hal-hal tersebut.




Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/12/29/krisis-intoleransi-713408.html

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz