Suara Warga

Membedah Isi Pidato Natal Presiden Jokowi

Artikel terkait : Membedah Isi Pidato Natal Presiden Jokowi







1419834867160225547 Foto: indopolitika.com





Sungguh meriah wajah depan sejumlah media dihiasi berita tentang puncak perayaan Natal Nasional 2014 di Stadion Mandala, Jayapura, Papua pada 27 Desember 2014. Presiden Jokowi dan Ibu Negara bersama sejumlah Menteri Kabinet Kerja hadir dalam acara yang untuk pertama kalinya digelar di luar Jakarta itu.

Liputan lengkap acara tersebut dapat kita baca di : http://humaniora.kompasiana.com/sosbud/2014/12/28/jokowi-kado-natal-untuk-masyarakat-papua-694025.html dan http://regional.kompasiana.com/2014/12/28/pesan-perdamaian-jokowi-dari-papua-akhiri-konflik-dan-kekeasan-713164.html

Menyimak isi sambutan Presiden Jokowi pada puncak perayaan Natal Nasional tersebut, setidaknya mengandung tiga hal :


  1. Akhiri konflik dan kekerasan

  2. Bangun dan pelihara saling rasa percaya

  3. Dialog


Para Menteri Kabinet Kerja, khususnya Kementrian yang terkait erat dengan permasalahan Papua, tentu sudah membuat ancang-ancang, bagaimana menjabarkan ‘perintah’ Presiden tersebut dalam kerangka kerja operasional dengan capaian tertentu yang bias dirukur. Mari kita bedah satu per satu ketiga ‘perintah’ di atas.

1. Mengakhiri Konflik dan Kekerasan

Tidak mudah mengurai konflik dan kekerasan di Papua, lebih-lebih soal mengapa konflik dan kekerasan itu terjadi, sejak kapan hal itu terjadi, antara siapa dengan siapa, adakah korbannya, dan seterusnya.

Dari pernyataan Jokowi tersebut, jelas tersirat bahwa konflik itu ada. Demikian pula kekerasan. Bahkan kekerasan itu masih terus berlangsung. Contohnya insiden Enarotali, Paniai (8/12/2014) dengan 4 korban warga sipil tewas tertembak yang terjadi hanya sekitar dua pekan sebelum Jokowi datang ke Papua.

Jika kita mengurai lebih jauh, konflik di Papua itu sudah terjadi sejak tahun 1960-an (pernyataan Yunus Wonda, Anggota DPR Papua yang dirilis Bintang Papua 16/12/2014).

Juga bisa dibaca dari laporan Amnesty Internasional tahun 2012 yang menyorot tajam kekerasan aparat keamanan di Papua, tuduhan penyiksaan atau perlakuan buruk terhadap tahanan terutama aktivis damai politik. Tentu saja laporan itu belum berimbang, mengapa?

Karena ternyata tidak sedikit catatan tentang kekerasan yang dilakukan warga sipil (baca: kelompok sipil bersenjata) terhadap aparat keamanan (TNI dan Polri). Kita bisa baca sejumlah “Kaleidoskop Kekerasan Papua” yang diposting di Kompasiana. Salah satunya di link ini: http://regional.kompasiana.com/2013/12/31/kaleidoskop-kekerasan-papua-tahun-2013-bagian-2-621041.html

Apapaun itu, Konflik dan Kekerasan ini harus diakhiri segera. Petunjuk Jokowi cukup jelas : “…Yang masih ada di dalam hutan, yang masih berada di atas gunung-gunung, marilah kita bersama-sama membangun Papua sebagai tanah yang damai.”

Namun hemat saya, petunjuk Bapak Presiden tersebut belum berimbang. Seyogyanya aparat Negara juga dihimbau untuk menghindari cara-cara kekerasan serta mengubah pola pendekatan yang lebih humanis. Memang tidak mudah dan butuh waktu, namun lebih mudah mengendalikan alat Negara ketimbang menunggu kesadaran kelompok kriminal bersenjata. Saya percaya, langkah-langkah itu tentu sudah dilakukan Kodam Cendrawasih dan jajarannya, demi membangun Papua sebagai Tanah yang Damai.

2. Membangun dan memelihara saling rasa percaya

Ketika berbicara di hadapan seribuan relawan anggota Bara JP Papua, di GOR Waringin Kotaraja, Jayapura, Sabtu (27/12/2014) sore, Presiden Jokowi mengatakan, masalah yang ada di Papua tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, sosial atau politik, namun terutama adalah tidak adanya saling percaya antara rakyat dengan pemimpinnya.

Ikhwal rasa saling percaya ini sudah banyak diungkap para tokoh Papua. Hasil kajian LIPI yang diterbitkan tahun 2008 dalam buku Papua Road Map mengidentifikasi masalah Papua dalam empat isu utama yang saling berkorelasi di Papua. Di antaranya adalah masalah konflik dan kekerasan tersebut. Tidak adanya rasa saling percaya antara Jakarta dan Papua menjadi faktor penting yang menghambat proses penyelesaian konflik dan kekerasan tersebut.

Gagalnya pembahasan RUU Pemerintahan Papua oleh DPR RI periode lalu untuk menggantikan/merevisi UU Otsus Papua (UU No. 21 Tahun 2001) adalah wujud dari belum adanya saling rasa percaya dimaksud.

“Kalau rakyat percaya pada pemimpinnya, gampang menyelesaikan setiap permasalahan,” kata Presiden Jokowi.

Setidaknya Presiden Jokowi sudah mulai menanamkan benih-benih kepercayaan di hati orang papua. Memilih Papua sebagai tempat pertamanya berkampanye, pelabuhan Sorong sebagai pelabuhan pertama yang dibangun untuk merealisasikan visi poros maritim dunia, tempat perayaan puncak Natal 2014, meresmikan pembangunan pasar Mama-mama Papua, dan entah program apa lagi ke depan adalah bagian dari strategi Presiden Jokowi untuk membangun saling rasa percaya itu.

3. Merancang Dialog

Presiden juga menegaskan bahwa kedatangannya ke Papua semata-mata ingin menggunakan waktu sebanyak-banyaknya untuk mendengarkan suara rakyat. Bagi Presiden, semangat untuk mendengar dan berdialog dengan hati itulah yang ingin digunakan sebagai fondasi membangun Tanah Papua.

Menurutnya, untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di Papua, semua pihak harus saling membuka diri untuk berdialog. “Baik Kapoldanya dengan masyarakat, baik Kapolresnya dengan masyarakat, baik Pangdamnya dengan masyarakat, baik Dandimnya dengan masyarakat, semua harus mau dialog, mau berbicara dengan masyarakat. Karena dengan berbicara itulah kita tahu akar masalahnya,” ungkap Jokowi.

Wacana dialog sudah banyak digagas. Di era Pemerintahan sebelumnya (Habibie, Gus Dur, dan SBY) berbagai terobosan pernah dilakukan. Presiden Habibie tahun 1999 pernah mengundang 100 tokoh Papua untuk berdialog di Istana Presiden. Tahun 2000 Presiden Gus Dur ‘melanjutkannya’ dengan mengijinkan penggantian nama ‘Irian Jaya’ menjadi ‘Papua’ serta terselenggaranya Kongres Rakyat Papua ke-2. Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, konon adalah produk dari hasil dialog tersebut. Sementara pada era Presiden SBY diselenggarakan Kongres Perdamaian Papua (KPP) tanggal 5-7 Juli 2011 yang menghasilkan rekomendasi Dialog Jakarta-Papua menggunakan 5 juru runding.

Semua gagasan dialog itu berakhir tanpa wujud, lantaran belum terbangunnya saling rasa percaya dimaksud. Memang Dialog bukan solusi, melainkan media atau forum untuk memulai kebuntuan komunikasi politik antara Jakarta dan Papua. Komunikasi yang lebih intens dan reguler menjadi penting dalam rangka mengatasi ketegangan, saling curiga, dan saling tidak percaya antara Jakarta dan Papua selama ini. Dialog damai bukan sesuatu yang instan, melainkan proses panjang yang harus dipersiapkan secara matang.

Maka pasca Pidato Natal Presiden Jokowi dari Tanah Papua sebuah pekerjaan rumah siap menanti. Sumbang saran seluruh anak bangsa diperlukan guna membangun Papua sebagai Tanah yang Damai. Tulisan sederhana ini adalah bagian dari kepedulian saya sebagai bagian dari anak bangsa Indonesia yang mengidamkan negerinya menjadi Zona Damai. Damai bagi Bumi Cendrawasih, Damai bagi Bangsa Indonesia….Selamat Natal.






Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/12/29/membedah-isi-pidato-natal-presiden-jokowi-694115.html

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz