Ketika Merdeka Tidak Hanya Teriak Merdeka
H-1 sebelum natal tiba, tra bisa bohong, ada perasaan terasing dalam dada. Ribuan kilometer berjarak antara saya dan keluarga di Papua. Miris rasanya, bila ingat bahwa awal Desember lalu saya baru saja kembali ke Papua tetapi harus kembali ke Jakarta sebelum natal menjelang. Email undangan wawancara sebuah lembaga untuk mensponsori kelanjutan pendidikan saya, berhasil memaksa saya meninggalkan keluarga di Papua. Ketika wawancara usai, maka kerinduan kepada keluarga di Papua pun kembali menyerang saya. “Anak dengarkan kata Bapa pendeta, supaya tidak kesepian di sana” kata mama saya di telpon tadi malam, setelah mendengarkan anaknya yang punya hobi berkeluh-kesah. Banyaknya berita mengenai Papua beberapa hari terakhir ini, menambah kerinduan saya kepada keluarga di Papua.
Berbagai berita tentang perayaan natal di Papua beberapa hari terakhir sering sekali muncul di berita nasional. Apalagi kalau bukan masalah pro dan kontra kedatangan Presiden Jokowi ke Papua. Berbagai kalangan masyarakat meneriakan pendapatnya, dari pemerintah daerah, lembaga adat, organisasi kemasyakaratan sampai dengan organisasi kemahasiswaan. Seperti beberapa hari yang lalu, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) meneriakan penolakannya terhadap kedatangan Jokowi di Papua di beberapa kota di Pulau Jawa. Tentu saja domonstrasi tidak hanya berisi penolakan Jokowi, tetapi juga tuntutan untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Aksi demonstrasi pun dilakukan di hari yang cukup ikonik, 19 Desember, hari dimana Sokearno mengikrarkan Trikora beberapa dekade yang lalu.
Sebenarnya hal ini sudah biasa terjadi, apapun permasalahannya maka tuntutannya adalah memisahkan Papua dari Indonesia. Sebagai contoh ketika sedang merebak isu kegagalan Otonomi Khusus (Otsus) Papua maka yang dituntut adalah memisahkan Papua dari Indonesia. Ketika sedang merebak isu kenaikan BBM makan yang dituntut juga sama. Jadi apapun permasalahannya, apapun isu yang beredar, maka tuntutan yang diutarakan tetap sama.
Memang, dalam setahun terakhir begitu banyak dinamika pergerakan OPM, baik dari organisasi-organisasi OPM faksi politik maupun faksi militer. Benny Wenda yang sibuk berdiplomasi di Eropa, Jacob Rumbiak di Australia, Oktavianus Mote di Amerika dan Andy Ayemiseba di negara-negara kawasan Pasifik Selatan. Walaupun begitu banyak dinamika pergerakan OPM faksi politik ini di luar negeri, belum terlihat kemajuan yang berarti. Sedangkan beberapa kelompok faksi militer yang aktif selama setahun terakhir adalah kelompok pimpinan Goliath Tabuni di Puncak Jaya, kelompok pimpinan Puron Wenda di Lani Jaya dan kelompok pimpinan Militer Murib di Paniai. Beberapa penyerangan dilakukan oleh kelompok-kelompok ini. Di lain pihak, KNPB (Komite Nasional Papua Barat) dan AMP (Aliansi Mahasiswa Papua) aktif dalam pergerakannya berupa aksi-aski demonstrasi di dalam kota. KNPB di kota-kota dalam Papua dan AMP bergerak di kota-kota luar Papua, utamanya di Pulau Jawa.
Kelompok-kelompok OPM ini begitu giat menyuarakan “kemerdekaan” Papua pada masyarakat-masyarakat asli Papua, bahkan kepada masyarakat asli Papua yang sedang dalam pelarian di Papua Nugini. Masyarakat Papua ini berada dalam pelarian ketika era kependudukan Belanda di Papua, ketika masih bernama Irian Barat. Mereka lari ke PNG karena takut ditangkap tentara Belanda. Mereka kemudian hidup di hutan belantara di wilayah PNG. Semakin lama jumlah mereka terus meningkat dengan bertambahnya anak-cucu mereka. Beberapa tahun lalu, memang sudah ada usaha repatriasi dari pemerintah Indonesia kepada para pengungsi ini, terutama pada masa Gubernur Papua Barnabas Suebu. Kepada para repatrian itu Pemprov Papua sudah menyiapkan beberapa lokasi untuk dijadikan resettlement antara lain di Kampung Kwimi dan Yabanda (Kab. Keerom), Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Biak, Pegunungan Bintang, Merauke dan Kabupaten Mimika
Tetapi usaha pemerintah untuk merepatriasi para pengungsi tersebut mendapat tentangan dari OPM. Berbagai isu mereka sebarkan tentang kondisi tidak aman, intimidasi TNI, Pemprov Papua ingkar janji dan seribu satu isu lainnya. Bahkan Benny Wenda sempat datang ke tempat para pengungsi ini, sekitar Februari 2013 dan mengundang pengungsi serta kelompok-kelompok perjuangan yang berada di pengungsian untuk mendengarkan pidatonya tentang agenda-agenda perjuangan kemerdekaan bangsa Papua dan menyampaikan pesan-pesan perlawanan. Benny Wenda menjanjikan kemerdekaan Papua dan mencoba meyakinkan para pengungsi untuk tidak kembali ke Papua.
Pengungsi ini juga dijadikan komoditi politik oleh politikus Papua Nugini. Powes Parkop, teman Benny Wenda yang juga politisi Papua Nugini yang berambisi Perdana Menteri Papua Nugini. Dalam kunjungannya, Parkop dalam pidatonya di depan para pengungsi Papua berkata : “Tidak ada pembenaran, sejarah hukum, agama, atau moral bagi pendudukan Indonesia di Papua Barat”. Sayangnya perkataan tersebut tidak diiringi oleh perbuatan nyata. Kondisi para pengungsi ini masih sangat memprihatinkan. Mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Selama di pengungsian, mereka menjadi pengembara yang menetap dan diizinkan untuk tinggal dengan syarat-syarat yang diatur oleh tuan dusun/pemilik tanah. Salah satunya dilarang mengambil hasil hutan, sagu dan aneka jenis sayuran di luar batas yang sudah ditentukan, dilarang menjadi pengusaha dan pejabat, bahkan membangun rumah lebih bagus dari warga lokal. Mereka boleh saja menjadi guru, namun tidak mendapat gaji dari pemerintah PNG.
Perhatian Benny Wenda dan temannya, Powes Parkop hanya berakhir pada ucapan saja. Janji mereka hanya menjadi pemanis makan siang yang hilang ketika matahari mulai terbenam. Dalam Yohanes 8;31.32 tertera bahwa “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku, dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakanmu”. Janji mereka kepada para pengungsi berupa “kemerdekaan” hanya terlintas di bibir saja. Mereka menampilkan diri layaknya Musa bagi para pengungsi ini, tapi janji Musa tidak bohong, janji Musa bukan janji politis, janji Musa bukan janji untuk kepentingan pribadi.
Jarak para pengungsi ini dari kampung halamannya di Papua tidak sejauh jarak saya dari kampung halaman saya di Jayapura. Tetapi apa yang mereka rasakan, mungkin ribuan kali lebih pedih dari apa yang saya rasakan. Ketika ada pihak yang mau menghilangkan kepedihan mereka, dan mengajak kembali ke kampung halamannya, pihak lain melarang mereka kembali dengan iming-iming kata “merdeka”. Ia teriak “merdeka” dan mengajak orang-orang ini untuk teriak “merdeka” tetapi tidak pernah berusaha memerdekakan mereka dari kesengsaraan yang mereka rasa bertahun-tahun lamanya.
Ketika Merdeka tidak hanya sekedar teriak “merdeka”
Sumber : http://ift.tt/1A2XStW