ISIS Ancam TNI, Polri dan Militansi di Kompasiana
ISIS mengeluarkan ancaman kepada TNI, Polri, Densus 88, dan Banser NU. Kondisi ini sama dengan militansi di Kompasiana yang menghasilkan baik tulisan maupun komentar. Di urusan negara, ancaman itu perlu disikapi. Di urusan Kompasiana, justru adanya militansi ini menjadi peringatan sekaligus tantangan bagi Kompasianers. Di Kompasiana ini banyak orang pintar. Banyak orang cerdas. Ini menarik dan menguntungkan. Kecerdasan itu terkadang dibungkus oleh keblingeran. Akibatnya menjadi sangat menarik. Ada pergesekan dalam diskusi baik tulisan maupun komentar. Mari kita simak militansi ala ISIS dalam konteks pandangan Kompasianer dengan hati gembira ria riang sentosa bahagia lupa log out pula.
ISIS mengeluarkan ancaman dengan kesadaran (baca: iman dan militansi keblinger) dan keyakinan kebenaran satu arah. Demikian pula di Kompasiana, banyak Kompasianers (baca: minoritas peramai Kompasiana seperti halnya ISIS yang hanya diyakini oleh minoritas muslim di Indonesia), dengan adanya militansi Kompasianers, maka bagi Kompasianers lain, kesadaran untuk menulis kebenaran dan berhadapan dengan orang pintar (baca: baik yang bener maupun yang keblinger) maka standard kualitas artikel tentu meningkat: tinggi.
Artikel yang disajikan oleh Kompasianers pun harus memenuhi kepentingan para orang pintar. Karakter orang pintar paling mendasar adalah bisa bercanda dan berlogika dengan baik. Namun, di antara banyak orang pintar di Kompasiana itu ada yang namanya pintar atau cerdas keblinger.
Ini yang menjadikan interaksi antara Kompasiner pintar beneran dengan Kompasianer pintar atau cerdas keblinger. Di sinilah awal diskusi dan bahkan bully membully yang sangat menarik. Apa yang harus dilakukan oleh Kompasianers agar tetap menulis dengan koridor kebenaran di tengah bully-an akun palsu dan kebenaran kecerdasan Kompasianer?
Dalam menghadapi militansi di Kompasiana, dari segi tulisan, karena banyaknya orang pintar (baca: bener dan keblinger) di Kompasiana, maka konsekuensinya, setiap tulisan Kompasianer akan mengalami tiga nasib: (1) menjadi tulisan bermutu, (2) menjadi tulisan biasa-biasa saja, dan (2) menjadi tulisan sampah. Kenapa?
Karena peran alamiah Kompasianers sebagai penyeleksi tulisan Kompasianers lainnya. Dengan memahami kenyataan banyak orang pintar dan cerdas, maka tak ada jalan lain kecuali menelorkan artikel dengan kekuatan gaya orang pintar ala Kompasianers. Apa yang harus dilakukan? Anda mau contoh mengamati kecerdasan Kompasianers?
Contoh militansi kecerdasan Kompasianer cerdas bener itu muncul antara lain dalam komentar di dalam artikel. Contohnya komentar Mabate Wae berikut ini tanpa saya edit sesuai aslinya.
Tobat…. untuk berkomunikasi jelas dibutuhkan 1.Kerendahan hati dan kesadaran diri keinginan tahu. 2.Itikad, bahwa saya tidak tahu apa yang kamu tahu, karena itu saya ingin tahu apa yang kamu tahu.3.Kebenaran itu ada dimana mana, saya bisa benar dan anda bisa benar, artinya ada kesediaan/kerendahan hati menerima kebenaran pihak lain, alias kebenaran itu relatif bisa darimanapun dan dari siapapun.
Ketika seseorang mendalilkan dirinya, mengimani kebenaran mutlak ada pada dirinya sendiri, ia sudah menutup diri dari kebenaran orang lain, alias dead end, bakal sia sia berbicara dengan pemilik kebenaran mutlak. Kecuali ia sadar belum berhenti mencari kebenaran dan mencari tahu, bukan mencari pembenaran demi pembenaran dirinya sendiri.
Komentar Mabate Wae ini bukan main-main. Pilihan kata-katanya sangat berbeda dengan Kompasianer cerdas namun keblinger yang bergentanyangan di Kompasiana. Karena memang benar bahwa seorang penulis (baca: termasuk di Kompasiana) akan menghasilkan tulisan atau artikel benar dan dalam koridor kebenaran hanya jika mampu menerapkan dua paragraf komentar Mabate Wae.
Tanpa memiliki kemampuan keluar dari dalam dirinya, maka tulisan atau artikel hanya akan memerkuat diri sebagai seorang taklid buta kepada kebenaran dirinya sendiri. Padahal kebenaran (baca: agama, ilmu pengetahuan, dan sejarah) hanyalah tentang sudut pandang. Apa yang diyakini dan dipercaya sebagai kebenaran saat ini bisa jadi akan berubah menjadi ketidakbenaran hanya karena soal ruang dan waktu.
Contoh. Kebenaran tentang ilmu pengetahuan yang memercayai Bumi datar seperti piring bertahan selama ribuan tahun. Ketika Christopher Columbus mencapai India - padahal sebuah pulau di perairan Amerika - melalui Timur dan Ferdinand Magellan mencapai kepulauan Filipina dari arah Barat mengelilingi Bumi. Artinya, kebenaran tentang Bumi seperti piring dan adanya jurang di Barat Atlantik tak terbukti dan runtuh.
Dalam hal kebenaran agama dan ilmu pengetahuan dan sejarah pun sesungguhnya misteri kebenaran itu tersimpan di dalam setiap pesan kebenaran yang tersembunyi. Kebenaran yang disebut tersembunyi itu menjadi relatif. Relatif karena adanya kebenaran tentang agama didasarkan kepada apa yang disebut percaya, atau iman. Iman atau percaya ini mulanya berawal dari (1) karena kelahiran, dan (2) karena berpikir.
Iman yang karena (1) kelahiran bisa mengakibatkan apa yang disebut iman keturunan. Iman keturunan ini terkadang menimbulkan ketaklidan yang membabi buta. Dengan keyakinan seperti ini, maka tak ada ruang kebenaran sama sekali selain kebenaran dirinya. Di sisi lain, tak terkecuali pula, iman keturunan ini terkadang juga menimbulkan sikap cuek terhadap keimanan itu sendiri. Keimanan itu selalu terkait dengan agama, ilmu pengetahuan dan sejarah.
Iman atau percaya karena (2) berpikir - bisa juga berasal dari keturunan dan akhirnya berpirkir - akan menghasilkan catatan seperti yang ditulis dalam dua paragraph Mabate Wae.
Tak salah pula tak mengherankan jika ISIS melakukan praktek militansinya dengan melakukan ancaman terorisme terhadap TNI. Dalam level militansi di Kompasiana, Kompasianers baik yang bener maupun yang keblinger akan menyebabkan tulisan di Kompasiana dan komentar di Kompasianan semakin menarik. Jika TNI jelas tak akan menganggap ancaman ISIS tersebut seperti pepesan kosong, maka hal yang sama pun harus dilakukan jika menemui tulisan atau artikel di Kompasiana: abaikan. Namun, untuk tulisan, artikel dan komentar yang cerdas dan benar, maka menjadi pemicu untuk membuat tulisan dan artikel yang semakin membuat diri berkualitas dengan tingkat kebanaran yang bisa dipertanggungjawabkan, sekali lagi: kebenaran relatif bukan mutlak.
Salam bahagia ala saya.
Sumber : http://ift.tt/1zmdcO6
ISIS mengeluarkan ancaman dengan kesadaran (baca: iman dan militansi keblinger) dan keyakinan kebenaran satu arah. Demikian pula di Kompasiana, banyak Kompasianers (baca: minoritas peramai Kompasiana seperti halnya ISIS yang hanya diyakini oleh minoritas muslim di Indonesia), dengan adanya militansi Kompasianers, maka bagi Kompasianers lain, kesadaran untuk menulis kebenaran dan berhadapan dengan orang pintar (baca: baik yang bener maupun yang keblinger) maka standard kualitas artikel tentu meningkat: tinggi.
Artikel yang disajikan oleh Kompasianers pun harus memenuhi kepentingan para orang pintar. Karakter orang pintar paling mendasar adalah bisa bercanda dan berlogika dengan baik. Namun, di antara banyak orang pintar di Kompasiana itu ada yang namanya pintar atau cerdas keblinger.
Ini yang menjadikan interaksi antara Kompasiner pintar beneran dengan Kompasianer pintar atau cerdas keblinger. Di sinilah awal diskusi dan bahkan bully membully yang sangat menarik. Apa yang harus dilakukan oleh Kompasianers agar tetap menulis dengan koridor kebenaran di tengah bully-an akun palsu dan kebenaran kecerdasan Kompasianer?
Dalam menghadapi militansi di Kompasiana, dari segi tulisan, karena banyaknya orang pintar (baca: bener dan keblinger) di Kompasiana, maka konsekuensinya, setiap tulisan Kompasianer akan mengalami tiga nasib: (1) menjadi tulisan bermutu, (2) menjadi tulisan biasa-biasa saja, dan (2) menjadi tulisan sampah. Kenapa?
Karena peran alamiah Kompasianers sebagai penyeleksi tulisan Kompasianers lainnya. Dengan memahami kenyataan banyak orang pintar dan cerdas, maka tak ada jalan lain kecuali menelorkan artikel dengan kekuatan gaya orang pintar ala Kompasianers. Apa yang harus dilakukan? Anda mau contoh mengamati kecerdasan Kompasianers?
Contoh militansi kecerdasan Kompasianer cerdas bener itu muncul antara lain dalam komentar di dalam artikel. Contohnya komentar Mabate Wae berikut ini tanpa saya edit sesuai aslinya.
Tobat…. untuk berkomunikasi jelas dibutuhkan 1.Kerendahan hati dan kesadaran diri keinginan tahu. 2.Itikad, bahwa saya tidak tahu apa yang kamu tahu, karena itu saya ingin tahu apa yang kamu tahu.3.Kebenaran itu ada dimana mana, saya bisa benar dan anda bisa benar, artinya ada kesediaan/kerendahan hati menerima kebenaran pihak lain, alias kebenaran itu relatif bisa darimanapun dan dari siapapun.
Ketika seseorang mendalilkan dirinya, mengimani kebenaran mutlak ada pada dirinya sendiri, ia sudah menutup diri dari kebenaran orang lain, alias dead end, bakal sia sia berbicara dengan pemilik kebenaran mutlak. Kecuali ia sadar belum berhenti mencari kebenaran dan mencari tahu, bukan mencari pembenaran demi pembenaran dirinya sendiri.
Komentar Mabate Wae ini bukan main-main. Pilihan kata-katanya sangat berbeda dengan Kompasianer cerdas namun keblinger yang bergentanyangan di Kompasiana. Karena memang benar bahwa seorang penulis (baca: termasuk di Kompasiana) akan menghasilkan tulisan atau artikel benar dan dalam koridor kebenaran hanya jika mampu menerapkan dua paragraf komentar Mabate Wae.
Tanpa memiliki kemampuan keluar dari dalam dirinya, maka tulisan atau artikel hanya akan memerkuat diri sebagai seorang taklid buta kepada kebenaran dirinya sendiri. Padahal kebenaran (baca: agama, ilmu pengetahuan, dan sejarah) hanyalah tentang sudut pandang. Apa yang diyakini dan dipercaya sebagai kebenaran saat ini bisa jadi akan berubah menjadi ketidakbenaran hanya karena soal ruang dan waktu.
Contoh. Kebenaran tentang ilmu pengetahuan yang memercayai Bumi datar seperti piring bertahan selama ribuan tahun. Ketika Christopher Columbus mencapai India - padahal sebuah pulau di perairan Amerika - melalui Timur dan Ferdinand Magellan mencapai kepulauan Filipina dari arah Barat mengelilingi Bumi. Artinya, kebenaran tentang Bumi seperti piring dan adanya jurang di Barat Atlantik tak terbukti dan runtuh.
Dalam hal kebenaran agama dan ilmu pengetahuan dan sejarah pun sesungguhnya misteri kebenaran itu tersimpan di dalam setiap pesan kebenaran yang tersembunyi. Kebenaran yang disebut tersembunyi itu menjadi relatif. Relatif karena adanya kebenaran tentang agama didasarkan kepada apa yang disebut percaya, atau iman. Iman atau percaya ini mulanya berawal dari (1) karena kelahiran, dan (2) karena berpikir.
Iman yang karena (1) kelahiran bisa mengakibatkan apa yang disebut iman keturunan. Iman keturunan ini terkadang menimbulkan ketaklidan yang membabi buta. Dengan keyakinan seperti ini, maka tak ada ruang kebenaran sama sekali selain kebenaran dirinya. Di sisi lain, tak terkecuali pula, iman keturunan ini terkadang juga menimbulkan sikap cuek terhadap keimanan itu sendiri. Keimanan itu selalu terkait dengan agama, ilmu pengetahuan dan sejarah.
Iman atau percaya karena (2) berpikir - bisa juga berasal dari keturunan dan akhirnya berpirkir - akan menghasilkan catatan seperti yang ditulis dalam dua paragraph Mabate Wae.
Tak salah pula tak mengherankan jika ISIS melakukan praktek militansinya dengan melakukan ancaman terorisme terhadap TNI. Dalam level militansi di Kompasiana, Kompasianers baik yang bener maupun yang keblinger akan menyebabkan tulisan di Kompasiana dan komentar di Kompasianan semakin menarik. Jika TNI jelas tak akan menganggap ancaman ISIS tersebut seperti pepesan kosong, maka hal yang sama pun harus dilakukan jika menemui tulisan atau artikel di Kompasiana: abaikan. Namun, untuk tulisan, artikel dan komentar yang cerdas dan benar, maka menjadi pemicu untuk membuat tulisan dan artikel yang semakin membuat diri berkualitas dengan tingkat kebanaran yang bisa dipertanggungjawabkan, sekali lagi: kebenaran relatif bukan mutlak.
Salam bahagia ala saya.
Sumber : http://ift.tt/1zmdcO6