Suara Warga

Gagal Pahami Jokowi, Kapolri Dicopot

Artikel terkait : Gagal Pahami Jokowi, Kapolri Dicopot

Tidak hanya kader Demokrat keliru memahami instruksi all out dari SBY yang disikapi dengan walk out. Kapolri Jenderal Polisi Sutarman juga gagal memahami atasannya, Presiden Jokowi. Tentunya tidak segampang bedakan all out dan walk out ataupun log out, tapi ini menyangkut visi dan misi serta semangat reformasi birokrasi.

Gagal paham ala Kapolri ini harus dibayar mahal, Sutarman segera dicopot dan pensiun dini. Padahal masa pensiunnya masih cukup lama (oktober 2015). Jokowi tidak menemukan sosok Polri yang diinginkannya pada figur dan kepemimpinan Sutarman.

Dibawah komando Sutarman, Polri tidak menunjukkan semangat reformasi birokrasi dan revolusi mental ala Jokowi. Polri masih menunjukkan karakter polisi yang selama ini dikeluhkan masyarakat yakni polisi yang bekerja berdasarkan uang. Kapolri seperti kurang memahami pandangan masyarakat tentang berurusan dengan polisi sama dengan uang keluar. Atau stigma ‘ada uang, urusan lancar’ yang telah melekat di masyarakat.

Kegagalan Kapolri memahami Jokowi ini terlihat saat pertemuan Presiden dengan Kapolri, Kapolda dan Kapolres di Akpol Semarang pada 2 Desember 2014 lalu. Kapolri meminta ‘uang’ ke Jokowi agar penangan kasus menjadi lancar. Kapolri juga tidak menunjukkan semangat reformasi kepolisian dengan melakukan pembiaran dan pembenaran atas pungutan liar (Pungli) yang dilakukan oknum polisi di lapangan.

“Kami hanya diberi anggaran Rp 904 miliar. Idealnya membutuhkan anggaran sampai Rp 2,5 triliun,” kata Sutarman. Kekurangan anggaran itu menyebabkan anggota polisi melakukan pungli. “Padahal kami wajib bergerak sehingga terkadang terjadi pungutan liar di jalanan,” kata Sutarman seusai rapat pertemuan itu. (tempo.co)

Berhasilkah upaya Kapolri meminta tambahan anggaran Polri tahun 2015? Dua pekan setelah ‘curhat’ Kapolri itu, Jokowi langsung merencanakan mencopot Sutarman dan saat ini penggantinya sedang digodok. Diperkirakan Januari atau Februari 2015, Kapolri baru sudah dilantik.

Kapolri seperti tidak memahami ‘mimpi’ Presiden Jokowi selaku atasannya. Berikut pernyataan Jokowi dibidang supremasi hukum yang gagal dipahami Kapolri sehingga berujung pencopotannya sebagai orang nomor satu di Polri.

1. Merosotnya wibawa negara.

Dalam pemaparan visi misi saat pencapresan, Jokowi menyebutkan ada 3 persoalan bangsa. Poin pertama, merosotnya wibawa negara. Dalam pertemuan dengan Kapolri di Semarang, Jokowi menekankan hal ini. “Kami ingin menaikkan kewibawaan negara. Itu bisa dicapai kalau institusi negara bisa dipercaya masyarakat,” katanya.

Kalimat itu jelas menyatakan merosotnya wibawa negara karena tingkah polah aparatur negara. Dan polisi adalah salah satu aparat negara yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Dengan alasan apapun, Jokowi tidak bisa menerima pembenaran pungli oleh aparat kepada masyarakat. Kasarnya, dengan anggaran Polri yang minim Jokowi lebih memilih penanganan kasus mandek dari pada aparat lakukan pungli.

Tapi, kenyataan di lapangan, penanganan kasus banyak yang tidak jalan, pungli merebak, gratifikasi dan kasus simulator SIM mencuat. Kasus yang melibatkan Irjen Djoko Susilo itu tentu bukan satu-satunya di Polri, kebetulan hanya itu yang bisa dibongkar. Itupun KPK mendapat perlawanan dari Polri yang mendatangi KPK dan juga mengkriminalisasi penyidik Novel Baswedan.

2. Sadar Hukum.

“Kesadaran hukum itu nomor satu. Masyarakat harus tahu hak dan kewajiban,” kata Jokowi saat memaparkan visi misinya.

Dalam pernyataan ini, Jokowi menginginkan penegak hukum (dalam hal ini Polri) tidak hanya langsung fokus ke penindakan tetapi diawali dengan pencegahan. Polri diharapkan untuk lebih menumbuhkan kesadaran hukum ke masyarakat dengan cara sosialisi atau kampanye-kampanye hukum.

Bisa juga dimaknai, polisi harus tampil sebagai penengah dan ‘pencerah’ saat ada konflik kecil antar warga yang dilaporkan ke polisi. Sebelum masuk ke ranah hukum, polisi berusaha semaksimal mungkin agar pihak yang bersengketa berdamai dengan musyawarah. Seperti penyelesaian konflik di meja makan yang selalu ‘dibanggakan’ Jokowi. Sehingga kasus-kasus kecil tidak selalu harus diselesaikan dengan vonis pengadilan.

3. Negara Hadir

Pada Sembilan Agenda Prioritas (Nawa Cita) Jokowi-JK, poin pertamanya menyatakan “Kami akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara”.

Dalam ilmu Tata Negara, tugas negara seperti diatas disebut sebagai ‘Penjaga Malam’. Untuk Polri, Jokowi menginginkan polisi melaksanakan peran itu dengan baik. Polisi ada di tengah masyarakat sebagai penjaga keamanan, bukan menakuti apalagi memeras.

Dalam hal ini, yang ingin didengar dan dilihat Jokowi adalah rencana atau kendala Polri dalam membentuk masyarakat sadar hukum. Atau rencana polisi yang siap meluncur saat ada panggilan dari masyarakat. Bisa juga rencana polisi melibatkan masyarakat untuk menciptakan rasa aman. Bukan soal anggaran minim yang ingin didengar Jokowi.

Itulah sekelumit pernyataan Jokowi yang menurut penulis gagal dipahami Kapolri Sutarman sehingga sebentar lagi akan dicopot. Pernyataan yang seharusnya dicerna dan dijalankan tanpa harus diperintahkan, karena Polri langsung berada dibawah presiden dan bertanggungjawab kepada presiden.

Prestasi Sutarman menjabat Kapolri juga diganjar dengan ‘rapor merah’ oleh Indonesian Police Watch (IPW). Lagi-lagi, Kapolri Sutarman menjadikan anggaran sebagai indikator penilaian prestasi Polri.

“Itu (raport merah) ukurannya apa? Kita dari aspek keuangan pertanggungjawabannya baik. Reformasi birokrasi juga ada peningkatan,” kata Sutarman, Selasa (23/12/2014) usai Apel Gelar Pasukan Operasi Lilin 2014 di Polda Metro Jaya.(tribunnews.com)

Hal menarik yang patut ditunggu, apakah ada sosok calon pengganti Sutarman yang bisa mewujudkan ‘mimpi’ Jokowi? Atau Kapolri baru tetap mempertahankan tradisi ‘Ada uang, urusan lancar’ atau ‘polisi datang terlambat’ yang menjadi keyakinan masyarakat.




Sumber : http://ift.tt/1CKwTpn

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz