Susi Pujiastuti dalam Kabinet Kerja Jokowi
gambar kreasi dari sumber yang jelas.
Susi Pujiastuti dalam Kabinet Kerja Jokowi
Pertama kali mendengar, siapapun pasti akan tertarik siapa Susi Pujiastusi, yang tidak tamat SMA bisa dipilih jadi Menteri. Baru berikutnya media akan mencari-cari dari a sampai z kekurangan Bu Menteri.
Dari tertangkap basah merokok diistana sampai tattoo di kaki Bu Menteri semua sudah dibelejeti media. Bahkan bila mungkin Media akan mengejar tattoo bu Mentri ditempat yang lain disekujur tubuh Bu Menteri.
Apapun itu adalah sekedar ulah Media.
Dari sumber yag lain walaupun tidak sevulgar yang diberitakan media tentang rokok dan tattoo, ternyata memang ada yang lain dari seorang Susi Pujiastuti yang sangat jarang dimilki oleh seorang Perempuan Indonesia. Tahu dan menghargai aturan akan tetapi tidak peduli akan formalitas tidak perlu, yang membatasi aktualisasi diri dan menjadi penghalang kemampuan.Bahkan sampai ke pendidikan formalpun tidak dipedulikan.
Susi Pujiastuti mungkin adalah satu-satunya Menteri dalam Kabinet Kerja Jokowi yang lugas tanpa beban, apa lagi beban politik dan pencitraan. Itulah yang tidak dimiliki oleh hampir semua anggota Kabinet Kerja Jokowi.
Bila kemudian pada dua puluh hari kerja Presiden Jokowi ternyata baru ada dua orang Menteri yang memulai langkahnya dengan sangat positif, maka orang pertama adalah Susi Pujiastuti. Kebijakannya mantap melakukan moratorium terhadap kapal besar yang menangkap ikan diperairan Indonesia. Langkahnyapun benar yaitu meminta adanya payung hukum untuk kebijakan yang akan diluncurkannya.
Selamat untuk Menteri Susi Pujiastuti.
Yang kedua dilakukan oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dengan sigap menggiring setiap pelanggar wilayah udara Indonesia, sayang dalam hal ini belum diimbangi dengan keberanian Menteri Luar Negeri atau siapapun untuk memberikan sanksi yang sepadan, sebagai kompensasi atas besarnya biaya operasional Sukhoi, agar besarnya pembiayaan operasional sukhoi tidak akan menjadi beban tersendiri.
Selain dua menteri tersebut, yang lain hanya blunder semata.
Ternyata gelar Prof.dan DR. belum jadi ukuran untuk layak menjadi Menteri dan belum tentu akan lebih baik dibanding seorang yang tidak tamat SMA.
Salam prihatin untuk penyandang gelar.
Sumber : http://ift.tt/1ueoHJ3