Suara Warga

Serius! Semoga Agama Tidak Ikut Tergadai

Artikel terkait : Serius! Semoga Agama Tidak Ikut Tergadai

Beberapa hari yang lalu saya sempat menulis opini yang berjudul “Formalitas Pendidikan yang Tergadai!”. Di situ saya membahas mengenai tindakan Presiden Jokowi dalam memilih Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Saya sangat apresiasi terhadap tindakan-tindakan yang merupakan trobosan terbaru dari Susi. Saya pun menganggap bahwa mungkin terpilihnya Susi sebagai menteri adalah bagian dari gerakan revolusi mental.

Kali ini, sebuah isu yang menimbulkan pro-kontra kembali terjadi di tanah air. Isu yang menurut saya adalah sangat mendasar. Sepintas, masalahnya memang kelihatan sepele. Hanya persoalan dicantumkan atau tidaknya agama seseorang di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena sebenarnya, dicantumkan ataupun tidak maka tidak akan mengurangi rasa beragama seseorang. Bukankah ketika hendak menghadap ke Tuhan tidak perlu menunjukkan KTP?

Namun, hal itu justru menjadi polemik yang kelihatan sangat rumit. Yang pro terhadap kebijakan menteri dalam negeri untuk menghapus status agama di KTP mengatakan bahwa hal itu biasa-biasa saja. Misalnya wali Kristen mengatakan, itu adalah KTP bukan KTA (Kartu Tanda Agama). Jadi, dicantumkannya agama bukan tuntutan. Sementara kelompok yang tidak setuju mengatakan bahwa agama merupakan bagian dari dasar Indonesia. Bahkan dalam pancasila pun, agama menempati urutan pertama.

Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan disebutkan, agama yang dicantumkan dalam e-KTP adalah agama resmi yang diakui Pemerintah. Yakni, Islam, Hindu, Buddha, Kristen, dan Konghucu. Sedangkan selain enam agama tersebut, menurut Mendagri, boleh tidak diisi.

Membahas mengenai kasus agama, saya jadi teringat pada masa pemerintahan Gus Dur. Pada tahun 2006, Gus Dur meresmikan pengakuan atas agama Konghucu. Saat itu, pro-kontra juga bermunculan. Akan tetapi, apa yang menjadi pro-kontra tersebut tampak percuma. Agama Konghucu tetap diresmikan dan selama ini saya belum mendengar agama tersebut menuai masalah, baik dalam pemerintahan maupun dalam konflik-konflik di masyarakat.

Dari situ barangkali kita bisa belajar. Seorang Gus Dur yang merupakan ulama ternama dapat menerima agama lain dan bahkan beliau pun pernah datang ke gereja. Tak peduli berbagai cacian menghantam dirinya, selama hal itu benar, Gus Dur tetap maju. Tak heran jika kematian Gus Dur menjadi pukulan bagi seluruh warga Indonesia, tidak hanya bagi umat Islam melainkan juga dari umat-umat agama lain.

Hal yang paling jelas untuk diambil pelajaran dari seorang Gus Dur adalah jiwa terbuka. Bahkan karena jiwa terbuka itulah akhirnya Gus Dur pun sering disebut sebagai orang yang pluralis. Terbuka bukan berarti mengikuti. Melainkan lebih menitikberatkan pada menghormati dan toleransi.

Polemik agama yang terjadi saat ini pun sebenarnya ditumpangi oleh unsur-unsur minimnya pluralisme. Ada yang setuju dan ada yang tidak karena mereka hanya melihat dari satu sisi saja. Padahal, masing-masing dari keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dan kedunya merupakan opsi-opsi yang harus dipilih oleh Mendagri selaku pihak yang berwenang.

Akan tetapi, ada beberapa catatan yang mungkin dapat dipertimbangkan jika Mendagri memang memilih untuk menghapus gama di KTP. Jika Mendagri memberikan kebebasan, apakah mau ditulis kolom agamanya atau tidak bagi orang yang menganut agama selain dari enam agama yang diakui maka tentu ini juga memiliki efek negatif. Di antaranya adalah munculnya perbedaan dalam tatanan administrasi setiap orang padahal satu negara. Sehingga kelengkapan KTP yang merupakan tanda penduduk yang sangat penting itu menjadi rumpang.

Selain itu, perlakuan seperti ini juga akan mudah diselewengkan oleh orang-orang tertentu. Memang, agama urusan pribadi, akan tetapi pencantuman agama dalam KTP juga sangat penting dalam negara Pancasila. Penyelewengan yang saya maksud adalah orang-orang yang hidup di daerah minoritas akan dengan mudah memilih untuk tidak mencantumkan agamanya meskipun orang tersebut memiliki agama yang diakui pemerintah.

Oleh karena itu, kalau memang Mendagri akan memilih untuk tidak mencantumkan status agama maka sebaiknya hal itu diberikan kepada seluruh warga negara, tidak hanya berlaku pada kelompok minoritas. Teknisnya adalah pemberlakuan kebijakan itu dimulai pada pembuatan KTP priode sekarang dan seterusnya. Sehingga dalam pembuata KTP tahun 2015 ke belakang, setiap KTP sudah tidak mencantumkan agama, baik mayoritas maupun minoritas.

Konsekuensinya, pemerintah harus siap untuk menghadapi masuknya aliran-aliran baru. Sebab, dengan tidak adanya status agama maka ini juga akan menjadi peluang bagi aliran baru untuk masuk. Dan yang juga harus dicatat adalah tolok ukur kesesatan sehingga suatu agama dilarang masuk ke Indonesia itu juga harus semakin diperjelas. Hal-hal seperti ini sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk mengobrak-abrik persatuan bangsa Indonesia.

Di samping itu, jika dalam KTP sudah tidak dicantumkan agama maka permasalahan mengenai hukum menikah beda agama juga tampak tidak berguna. Bagaimanapun, KTP sebagai tanda utama seorang warga negera Indonesia itu sudah tidak informatif lagi dari sisi agama. Karena yang menjadi dasaran dalam pendataan surat nikah adalah KTP dan KK, sedangkan keduanya tidak lagi mencantumkan status agama.

Karena itu, Mendagri mesti lebih hati-hati dalam mengambil keputusan di tengah arus politik yang carut-marut ini. Bisa-bisa sepanjang pemrintahan Jokowi akan dinilai buruk jika ampai salah langkah. Semoga sukses!




Sumber : http://ift.tt/1tn0Ly0

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz