Suara Warga

Politik Indonesia: Dua Sisi yang Berbeda

Artikel terkait : Politik Indonesia: Dua Sisi yang Berbeda

Mendengar kata politik hampir sama dengan mendengar kotoran di tong sampah. Yang muncul dalam benak adalah perebutan kekuasaan di mana sikut sana-sikut sini, lawan bisa jadi kawan, dan kawan bisa jadi lawan. Mengingat itu membuat perut terasa mual dan ingin rasanya segera menghapus politik dan menggantinya dengan bahasa yang lebih halus. Entah apa saya belum menemukan padanannya yang lebih halus itu!

Akan tetapi, sebenarnya kehidupan ini tidak bisa terhindar dari politik. Bahkan terhadap diri kita sendiri pun kita harus berpolitik. Sebab pada kenyataannya, diri manusia terdapat dualisme yang kokoh. Misalnya, secara analisis dokter, rokok tidak baik bagi tubuh manusia. Tapi, keinginan kita untuk merokok sangat kuat. Sehingga kita pun harus mampu memilih apakah mau menyelamatkan tubuh atau menyelamatkan keinginan. Kemudian kita dituntut berpolitik untuk memenangkan salah satunya.

Jika kita ingin menyelamatkan tubuh mungkin kita akan menyiasatinya dengan memakan permen setiap hari. Atau kalau kita ingin memenangkan keinginan kita, kita akan membangun mindset bahwa mati, sakit, jodoh, dan rezeki adalah urusan Tuhan. Sehingga muncullah statement: “Merokok mati, tidak merokok mati. Lebih baik merokok sampai mati.”

Dalam dunia perpolitikan Indonesia atau bahkan di seluruh dunia juga mengalami hal seperti itu. Ada banyak opsi yang saling bertentangan. Ironisnya, pertentangan yang ada sulit untuk disatukan. Terkadang saya mengimpikan dunia perpolitikan Indonesia menjadi seperti dua sisi mata uang saja. Di mana meskipun keduanya berbeda namun tetap satu dan kesatuannya sangat rekat. Tapi, seperti yang pepatah katakan, ingin hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.

Untuk lebih jelasnya, bisa kita lihat bagaimana respon masyarakat atau bahkan di tubuh birokrasi sendiri ketika pemerintah dituntut untuk mengambil keputusan. Di satu sisi pemerintah dituntut untuk mengambil keputusan dengan cepat. Di sisi lain, respon negatif terhadap keputusan pemerintah bermunculan dan menghambat keputusan pemerintah. Bukan maksud saya pro kepada pemerintah dan kontra kepada yang tidak setuju kepada pemerintah. Tapi, saya ingin mencoba memahami perbedaan-perbedaan itu ke dalam sebuah jangkauan kehidupan manusia normal.

Saya ingat sabda Nabi Muhammad SAW yang seringkali dijadikan pedoman untuk membina persatuan. Sabda tersebut kurang lebih begini: “Perbedaan itu adalah rahmat sedangkan perpecahan itu adalah laknat.” Hal itu bisa dilihat contoh konkretnya ketika Nabi hendak mengambil keputusan dalam perang Uhud (22 Maret 625 M/7 Syawal 3 H). Sebelum perang, terjadi perbedaan pendapat antara Nabi dengan sahabat mengenai strategi perang. Akan tetapi, karena pendapat sahabat dianggap baik, meskipun rasul Allah, Nabi tetap mengambil pendapat sahabatnya.

Namun, ternyata terjadi kesalahan teknis pada kelompok pemanah sehingga kekalahan pun tidak dapat dihindari. Lantas apakah Nabi ngambek dan tidak mau lagi bermusyawarah atau menerima pendapat sahabatnya? Tentu saja tidak. Allah tetap memerintahkan Nabi untuk bermusayawarah dan mengambil pendapat yang terbaik dan lebih disetujui.

Pelajaran dari Nabi itu sebenarnya merupakan pelajaran yang seharusnya. Artinya, mestinya perbedaan tidak menjadikan perpecahan melainkan menjadikannya sebagai rahmat yang mempersatukan. Akan tetapi, hal itu berbeda dengan kondisi perpolitikan di Indonesia. Ketika ada perbedaan pendapat antara dua belah pihak yang muncul justru perseturuan dan perpecahan. Salah satu bukti konkret perpecahan yang hingga kini masih berlangsung adalah perpecahan di tubuh DPR. Sebegitu lemahkah pengetahuan para anggota DPR dalam menghadapi perbedaan?

Terkadang saya merasa psimis kepada pemerintahan Indonesia saat ini. Gejolak yang terjadi di pemerintahan tidak terjadi secara bergiliran, selesai satu kemudian muncul satu. Justru gejolak yang terjadi saat ini secara bersamaan. Mungkin yang paling hangat dalam ingatan kita mengenai gejolak itu adalah perpecahan di tubuh DPR, permasalahan mengenai kolom agama pada e-KTP, kenaikan harga BBM, dan dana kartu rakyat yang dipermasalahkan oleh DPR.

Selain itu, saya mulai memprediksi akan kemunculan masalah baru ketika presiden nanti kembali dari luar negeri. Ucapan presiden yang akan memecat menteri jika ada menteri yang bekerja tidak sesuai target tampaknya akan menjadi modal baru untuk lahirnya gejolak baru. Yang jelas, dengan bermodalkan ucapan presiden maka kinerja menteri akan terus-menerus disorot. Sehingga jika nanti kepeleset sedikit saja, perseturuan pun akan bermunculan mengiringi gejolak kenaikan harga BBM.

Kondisi-kondisi yang demikian, dualisme yang berakibat pada perpecahan membuat Indonesia terlihat miris. Indonesia serasa sedang dilanda penyakit kronis yang pengobatannya tidak cukup dengan obat biasa. Indonesia perlu dioperasi, dibedah untuk dibuang semua penyakitnya.

Namun, meskipun sulit, optimisme tetap harus dimunculkan untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik. Baik dari pemerintah maupun masyarakat harus berupaya untuk bersama-sama membangun Indonesia yang maju. Tanpa ada gerak seirama maka hanya akan membuat semuanya menjadi lebih rumit dan membawa Indonesia ke ambang kehancuran. Kontrol dari masyarakat sebagai penyeimbang serta solusi dan dukungan harus berjalan serentak. Dua sisi yang berbeda itu harus segera dirapatkan. Semoga sukses!




Sumber : http://ift.tt/1uMplQj

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz