Suara Warga

Misi Jokowi: Kartu Indonesia Pintar

Artikel terkait : Misi Jokowi: Kartu Indonesia Pintar

Setelah sepekan Kabinet Kerja bekerja, hari ini (3/11) Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan program unggulannya, yaitu; Kartu Indonesia Sehat (KIH), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Langkah yang sama dilakukan saat Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta (2012) dengan KJS dan KJP.

Fase pertama program KIP akan dilaksanakan di 18 provinsi dengan sasaran 152.434 siswa. Rencana anggarannya akan dialokasikan dari bantuan sosial di Kemensos. Ini langkah yang berani dan strategis bagi pemerintahan Jokowi-JK, karena bisa merealisasikan kebijakan baru dengan ABPN yang sudah disahkan pada pemerintahan sebelumnya.

Tidak bisa kita pungkiri, bahwa wajah pendidikan di Indonesia sampai saat ini, masih menjadi permasalah yang serius. Mulai dari permasalahan yang berbasis moral, kesajhteraan tenaga pendidik, biaya pendidikan, infrastruktur dan seterusnya. Padahal dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1-5) menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayai.

Langkah untuk mewujudkan negara maju, pertama yang dipersiapkan dan ditata adalah sektor pendidikan. Cita-cita memajukan pembangunan sebuah negara, tidak bisa dikesampingkan dari ikut campur peran pendidikan yang baik pula. Mengutip data ICAN Education and Consultan, semua negara yang dinobatkan sebagai negara dengan sistem pendidikan yang maju dan kooperatif, pasti dibarengi dengan kebijakan beasiswa dan kesejahteraan tenaga pengajar, baik untuk siswa dalam negeri maupun pendatang pendatang.

Oleh karena itu, program KIP yang diresmikan pemerintahan Jokowi-JK merupakan langkah awal etikad baik pemerintah untuk membangun sebuah peradaban yang kompetitif yang kearah negara berkembang. Karena untuk menjadi negara yang berkembang, diperlukan wawasan, skil dan moral yang cukup untuk membuka wawasan sebagai modal persaingan dengan bangsa-bangsa lain. Mengutip perkataan Malcolm S. Forbes; “education’s purpose is to replace an empty mind with an open one

Dalam sejarah bangsa Indonesia, para pendiri negara (fothing father) sebelum menemukan konsep negara-bangsa yang seperti saat ini, adalah membentuk lembaga pendidikan, antara lain: Tasjwiroel Afkar oleh kelompok Islamis yang menjadi cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), Islamic Studies Club bersama dokter Soetomo (pendiri Boedi Otomo). Bahkan ada cabang Boedi Oetomo Surabaya yang mengikuti Tasjwiroel Afkar, dengan nama “Suryo Sumirat afdeeling [cabang] Tasjwiroel Afkar”. Suryo Sumirat adalah nama satu perhimpunan yang dibentuk oleh orang-orang Boedi Oetomo di Surabaya.

Dua lembaga pendidikan ini aktif dengan diskusi para tokoh-tokoh nasional dalam rangka merumuskan konsep sebuah negara dengan tokoh penggagasnya K.H Wahab Hasbullah, K.H As’ad Syamsul Arifin, K.H Hasyim Asy’ari dan tokoh-tokoh Islam lainya. Semua kegiatan pendidikan dan diskusi intelektual terpusat di masjid, mushalla, bahkan pondok pesantren.

Pondok pesantren [tempat bergumul Kiai Wahab Chasbullah] lahirlah ide-ide yang komprehensif, terkini, dan aktual sekaligus mendapat sambutan antusias dari masyarakat. Bukan hanya ide-ide teoritis yang mati yang kadang kalau salah menempatkan sering bertentangan dengan realita lapangan. Ide kebangkitan kaum ulama, ide pentingnya pengorganisasian perjuangan, ide pendekatan golongan-golongan Islam-Nasional, ide perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, ide mencetuskan kemerdekaan dan mempertahankannya, ide mengisi kemerdekaan, ide mempertemukan antara cita-cita dan kenyataan, dan tentu saja ide pembangunan di segala bidang, membangun karakter bangsa, membangun taraf hidup dan membangun prestasi nasional untuk kepentingan seluruh warga negara Republik Indonesia.

Ini misalnya ditunjukkan pada pendirian Nahdlatul Wathan. Kiai Wahab Chasbullah mendirikan organisasi pemuda ini untuk menggelorakan semangat nasionalisme di kalangan umat Islam. Ia bertemu dengan KH Mas Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, dan sepakat dengan gagasan tersebut. Juga disambut baik oleh HOS Tjokroaminoto, Raden Pandji Soeroso, Soendjoto, dan KH Abdul Kahar, seorang saudagar terkemuka yang kemudian membantu pendanaannya.

Maka, berdirilah sebuah gedung bertingkat di Kampung Kawatan Gang IV, Surabaya, yang kemudian dikenal dengan perguruan Nahdlatul Wathan (Pergerakan Tanah Air). Tujuannya, untuk mendidik kader-kader muda dan membangunkan semangat nasionalisme mereka. Pada 1916, perguruan ini mendapat Rechtsperson (resmi berbadan hukum) dari pemerintahan Hindia-Belanda, dengan susunan pengurus: KH Abdul Kahar sebagai Direkur, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai pimpinan Dewan Guru dan Keulamaan dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah.

Tantangan Pendidikan Ke Depan

Setiap ada gagasan tentang evolusi, revolusi bahkan reformasi untuk ke arah yang lebih baik, dihadapannya pasti ada sebuah tantangan (defiance). Tantangan pendidikan di era globalisasi adalah pendidikan moral atau dalam istilah Jokowi dinamakan “revolusi mental”.

Terbukti dengan masih ditemukannya beberapa kasus yang langsung bersentuhan dengan lembaga pendidikan, di antaranya; kekerasan seks pada anak, pembangunan infrastruktur, ketimpangan pendidikan, kesejahteraan guru, korupsi di internal lembaga, dll.

Namun semua ini bisa diatasi dengan meningkatkan sistem pengawasan yang berkesinambungan (integrated). Artinya, cita-cita Jokowi membangun insan yang bermoral melalui peningkatan mutu pendidikan, harus benar-benar tersosialisasikan sampai pada pemerintah yang paling bawah. Karena setiap upaya membangun negara, negara harus selalu hadir di tengah-tengah masyarakat.

Kehadiran negara dalam memajukan sistem pendidikan harus dimulai dari semangat yang sama oleh lembaga negara. Lembaga negara di tingkat yang paling bawah bisa dipersepsikan kelurahan/desa atau pemerintahan kabupaten untuk selalu memperhatikan keberlangsungan lembaga pendidikan. Baik dalam pembangunan dan pengembangan infrastruktur maupun kesejahteraan tenaga pengajar.

Sudah saatnya menafsirkan ulang guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” atau dengan istilah lain “Oemar Bakri” yang selalu menaiki sepeda kumbang melaju di atas jalan yang berlubang. Pembangunan infrastruktur penunjang kegiatan pendidikan harus berjalan dan kesejahteraan guru harus diperioritaskan.

Di beberapa negara maju seperti Amerka Serikat, Jepang, Australia bahkan negara sekecil Brunei Darussalam, kesejahteraan guru mnerupakan program prioritas. Gaji guru sejajar dengan karyawan swasta setingkat manager perusahaan di Indonesia, dengan fasilitas penunjangn lainnya; mobil dinas dan rumah dinas.

Semua rakyat Indonesia berharap, semua lembaga pemerintahan eksekutif maupun legislatif mendukung program KIP untuk Indonesia yang bermartabat. Pesan Plato; martabat sebuah bangsa dilihat dari sejauhmana bangsa itu hadir dalam setiap lembaga pendidikan. Karena dengan pendidikan yang maju, akan melahirkan kelompok-kelompok intelektual yang akan menjadi benteng hidup bagi pembangunan negaranya.

Mengutip perkataan politisi Autralia, Bill Beattie (1946-2006), “The aim of education should be to teach us rather how to think, than what to think - rather to improve our minds, so as to enable us to think for ourselves, than to load the memory with thoughts of other men” (tujuan pendidikan harusnya untuk mengajarkan kita cara bagaimana berpikir, daripada mengajarkan apa yang harus dipikirkan – mengajarkan memperbaiki otak kita sehingga membuat kita bisa berpikir untuk diri sendiri, daripada membebani memori otak kita dengan pemikiran orang lain). []





Moch. Supriyadi

Direktur Riset ConcerN (Research and Consulting)




Sumber : http://ift.tt/1utvpwR

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz