Ahok Ditolak FPI dan Refleksi Politik-Agama, antara Sheikh Siti Jenar dan Walisongo
Tolakan terhadap Ahok terus didengungkan oleh kalangan Islam seperti FPI, FUI, dan FBB. Ahok pun dipersulit oleh Haji Lulung dan Muhammad Taufik untuk (1) diangkat menjadi Gubernur DKI, (2) memilih calon Wakil Gubernur dengan berbagai alasan. Sesungguhnya yang dilakukan oleh para penentang Ahok adalah mewakili (minoritas) muslim. Kondisi perseteruan ini menggambarkan peristiwa tentang konflik politik-agama dan kekuasaan pada zaman Walisongo. Konflik antara Sheikh Siti Jenar dengan para Walisongo, dengan mengorbankan atau menempatkan ummat (baca: kepentingan umum) dan posisi penguasa Demak sebagai taruhan kepentingan. Bagaimana gambaran penolakan minoritas ummat Islam dan kalangan sempit di DPRD DKI (terhadap Ahok dan kepentingan sempit) persis mereflesikan tipe politik-agama Sheikh Siti Jenar dan Walisongo di depan penguasa Demak?
Terdapat benang merah yuridis-religius yang mendasari FPI dan Walisongo - penggiat perintis penyebaran agama Islam di Jawa - dalam menjalankan politik-agama demi kekuasaan (Sultan Demak, Pajang dan Mataram). Gambaran kekuasaan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta - yang ditentang dan diharapkan oleh publik, memiliki kesamaan persaingan paham Sheikh Siti Jenar yang demokratis, dengan konsep Walisongo.
Sheikh Siti Jenar dikenal memiliki konsep ketauhidan yang membumi. Konsep Rukun Islam yang dipaparkan olehnya lebih mudah diintegrasikan ke dalam kehidupan nyata. Tak heran Masjid yang dipimpinnya menarik perhatian rakyat kebanyakan. Walisongo pun gerah. Rukun Islam dipraktekkan dalam keseharian. Bagi Sheikh Siti Jenar, menjadi muslim bukan hanya kalimat sahadat, sholat, puasa, zakat dan haji. Iman harus ditransformasikan dalam kehidupan nyata.
Konsep tak adanya sekat antara (raja, rakyat, dan bawahan) membuat gerah kalangan Kerajaan Demak. Sementara Walisongo yang menjadi mitra kerja-sosial dengan agama sebagai alat pemersatu dan pembenaran atau justifikasi gerah pula karena posisi politik-kekuasaan-agama di mata Kerajaan Demak bakal tergerus.
Ahok yang demokratis mewakili peran Sheikh Siti Jenar yang dikafirkan oleh Walisongo. Hanya karena pemikiran dan paham kerakyatan dan demokratis maka Ahok mendapat tentangan dari kalangan yang mengaku mewakili seluruh umat Islam dengan membawa nama Islam. FPI yang selama ini menjadi perantara sosial-politik-agama demi kekuasaan dan kue ekonomi di DKI jelas gerah dengan peran Ahok (baca: seperti Sheikh Siti Jenar yang menghapus peran perantara yakni Walisongo) yang menghapus banyak perantara dalam politik-agama dan kekuasaan.
Maka tak pelak seperti Walisongo yang menentang Sheikh Siti Jenar, FPI pun atas nama agama-politik untuk kekuasaan menentang konsep Ahok yang meluruskan dan membenarkan pembangunan. Desakraliasasi dan desentralisasi pembangunan yang berpusat di kelurahan telah menggerus peran berbagai lembaga sosial-ekonomi politik partikelir dan preman.
Di zaman Walisongo di Kerajaan Demak, akibat pemahaman masyarakat yang tercerahkan oleh Shekh Siti Jenar dan mendelegitimasi penguasan Kerajaan Demak yang korup dan peran perantara Walisongo dalam struktut Raja-Walisongo-Rakyat, maka rakyat menjadi kritis dan menentang korupsi. Penguasa Demak gerah.
Maka Walisongo yang terancam posisi strategisnya memusuhi Sheikh Siti Jenar yang dituduh akidahnya sesat dan kafir. Pengafiran terhadap Sheikh Siti Jenar ini menjadi senjata mematikan dan legitimate bagi Walisongo. Padahal sesungguhnya Walisongo (dan Kerajaan Demak) terancam dengan sikap egaliter dan demokratis Sheikh Siti Jenar. Maka agama dijadikan alasan pembenaran untuk menyingkirkan Sheikh Siti Jenar.
Kini, terhadap Ahok, adanya ancaman kehilangan potensi dan kesempatan ekonomi dengan cara korupsi, juga penyederhanaan dan keterbukaan menjadi ancaman berbagai pihak. Maka atas nama agama-politik dan politik-agama demi kekuasaan, minoritas yang menganggap berkuasa dan merepresentasikan ummat Islam seperti FPI dan FUI (baca: seperti Walisongo menentang Sheikh Siti Jenar) menentang Ahok.
Agama dibawa-bawa sebagai tameng (seperti Walisongo yang mencap Sheikh Siti Jenar kafir) oleh FPI untuk menentang reformasi birokrasi (yang sebelumnya penuh perantaraan) yang merugikan berbagai kelompok bisnis dan penguasa (seperti Raja Demak yang gerah dengan pencerahan sosial-agama politik yang dilakukan oleh Sheikh Siti Jenar).
Jadi, sebenarnya sejak zaman dahulu selalu saja ada intervensi dan penentangan ketika perbaikan kehidupan secara demokratis berhadapan dengan penguasan status quo. Jika dahulu pembaharu itu adalah Sheikh Siti Jenar yang dikafirkan, maka sekarang Ahok sang pencerah kesejahteraan rakyat pun dianggap kafir (baca: persepsi kafir tak bisa dipakai inter-relasi keagaamaan dan hanya bisa dipahami dan disimpan di dalam jiwa dan hati, dan tidak bisa menuduh demikian kepada umat beragama lain dalam: lakum dienukum waliyaddien - agamamu agamamu agamaku agamaku yang cocok dengan konsep Pancasila dalam NKRI).
Karenanya seperti halnya Walisongo yang membela Raja Demak - dan atas pesanan politiknya memerintahkan atau meminjam tangan atau kaki-tangan Walisongo - FPI merepresentasikan kelompok agama-politik kekuasaan dan ekonomi. Banyak kelompok minoritas (yang memiliki kepentingan ekonomi dan korupsi) yang senang dengan langkah FPI menentang Ahok menjadi Gubernur.
Jadi, tarik menarik itu adalah wujud politik-agama dan agama-politik untuk kekuasaan yang sedang berlangsung. Dipastikan, kali ini manusia modern di Jawa dan Jakarta tidak berpandangan seperti zaman Kerajaan Demak yang mudah dikendalikan oleh Walisongo dengan menjerumuskan dan menghukum Sheikh Siti Jenar, dengan parallel FPI yang menentang Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Rakyat di DKI berpihak di Ahok, bukan seperti zaman Raja Demak yang menghukum Sheikh Siti Jenar karena takut demokratisasi dan pemberantasan korupsi berlangsung di Demak dengan meminjam tangan Walisongo.
Salam bahagia ala saya.
Sumber : http://ift.tt/1usx85D
Terdapat benang merah yuridis-religius yang mendasari FPI dan Walisongo - penggiat perintis penyebaran agama Islam di Jawa - dalam menjalankan politik-agama demi kekuasaan (Sultan Demak, Pajang dan Mataram). Gambaran kekuasaan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta - yang ditentang dan diharapkan oleh publik, memiliki kesamaan persaingan paham Sheikh Siti Jenar yang demokratis, dengan konsep Walisongo.
Sheikh Siti Jenar dikenal memiliki konsep ketauhidan yang membumi. Konsep Rukun Islam yang dipaparkan olehnya lebih mudah diintegrasikan ke dalam kehidupan nyata. Tak heran Masjid yang dipimpinnya menarik perhatian rakyat kebanyakan. Walisongo pun gerah. Rukun Islam dipraktekkan dalam keseharian. Bagi Sheikh Siti Jenar, menjadi muslim bukan hanya kalimat sahadat, sholat, puasa, zakat dan haji. Iman harus ditransformasikan dalam kehidupan nyata.
Konsep tak adanya sekat antara (raja, rakyat, dan bawahan) membuat gerah kalangan Kerajaan Demak. Sementara Walisongo yang menjadi mitra kerja-sosial dengan agama sebagai alat pemersatu dan pembenaran atau justifikasi gerah pula karena posisi politik-kekuasaan-agama di mata Kerajaan Demak bakal tergerus.
Ahok yang demokratis mewakili peran Sheikh Siti Jenar yang dikafirkan oleh Walisongo. Hanya karena pemikiran dan paham kerakyatan dan demokratis maka Ahok mendapat tentangan dari kalangan yang mengaku mewakili seluruh umat Islam dengan membawa nama Islam. FPI yang selama ini menjadi perantara sosial-politik-agama demi kekuasaan dan kue ekonomi di DKI jelas gerah dengan peran Ahok (baca: seperti Sheikh Siti Jenar yang menghapus peran perantara yakni Walisongo) yang menghapus banyak perantara dalam politik-agama dan kekuasaan.
Maka tak pelak seperti Walisongo yang menentang Sheikh Siti Jenar, FPI pun atas nama agama-politik untuk kekuasaan menentang konsep Ahok yang meluruskan dan membenarkan pembangunan. Desakraliasasi dan desentralisasi pembangunan yang berpusat di kelurahan telah menggerus peran berbagai lembaga sosial-ekonomi politik partikelir dan preman.
Di zaman Walisongo di Kerajaan Demak, akibat pemahaman masyarakat yang tercerahkan oleh Shekh Siti Jenar dan mendelegitimasi penguasan Kerajaan Demak yang korup dan peran perantara Walisongo dalam struktut Raja-Walisongo-Rakyat, maka rakyat menjadi kritis dan menentang korupsi. Penguasa Demak gerah.
Maka Walisongo yang terancam posisi strategisnya memusuhi Sheikh Siti Jenar yang dituduh akidahnya sesat dan kafir. Pengafiran terhadap Sheikh Siti Jenar ini menjadi senjata mematikan dan legitimate bagi Walisongo. Padahal sesungguhnya Walisongo (dan Kerajaan Demak) terancam dengan sikap egaliter dan demokratis Sheikh Siti Jenar. Maka agama dijadikan alasan pembenaran untuk menyingkirkan Sheikh Siti Jenar.
Kini, terhadap Ahok, adanya ancaman kehilangan potensi dan kesempatan ekonomi dengan cara korupsi, juga penyederhanaan dan keterbukaan menjadi ancaman berbagai pihak. Maka atas nama agama-politik dan politik-agama demi kekuasaan, minoritas yang menganggap berkuasa dan merepresentasikan ummat Islam seperti FPI dan FUI (baca: seperti Walisongo menentang Sheikh Siti Jenar) menentang Ahok.
Agama dibawa-bawa sebagai tameng (seperti Walisongo yang mencap Sheikh Siti Jenar kafir) oleh FPI untuk menentang reformasi birokrasi (yang sebelumnya penuh perantaraan) yang merugikan berbagai kelompok bisnis dan penguasa (seperti Raja Demak yang gerah dengan pencerahan sosial-agama politik yang dilakukan oleh Sheikh Siti Jenar).
Jadi, sebenarnya sejak zaman dahulu selalu saja ada intervensi dan penentangan ketika perbaikan kehidupan secara demokratis berhadapan dengan penguasan status quo. Jika dahulu pembaharu itu adalah Sheikh Siti Jenar yang dikafirkan, maka sekarang Ahok sang pencerah kesejahteraan rakyat pun dianggap kafir (baca: persepsi kafir tak bisa dipakai inter-relasi keagaamaan dan hanya bisa dipahami dan disimpan di dalam jiwa dan hati, dan tidak bisa menuduh demikian kepada umat beragama lain dalam: lakum dienukum waliyaddien - agamamu agamamu agamaku agamaku yang cocok dengan konsep Pancasila dalam NKRI).
Karenanya seperti halnya Walisongo yang membela Raja Demak - dan atas pesanan politiknya memerintahkan atau meminjam tangan atau kaki-tangan Walisongo - FPI merepresentasikan kelompok agama-politik kekuasaan dan ekonomi. Banyak kelompok minoritas (yang memiliki kepentingan ekonomi dan korupsi) yang senang dengan langkah FPI menentang Ahok menjadi Gubernur.
Jadi, tarik menarik itu adalah wujud politik-agama dan agama-politik untuk kekuasaan yang sedang berlangsung. Dipastikan, kali ini manusia modern di Jawa dan Jakarta tidak berpandangan seperti zaman Kerajaan Demak yang mudah dikendalikan oleh Walisongo dengan menjerumuskan dan menghukum Sheikh Siti Jenar, dengan parallel FPI yang menentang Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Rakyat di DKI berpihak di Ahok, bukan seperti zaman Raja Demak yang menghukum Sheikh Siti Jenar karena takut demokratisasi dan pemberantasan korupsi berlangsung di Demak dengan meminjam tangan Walisongo.
Salam bahagia ala saya.
Sumber : http://ift.tt/1usx85D