Terbukti, Pertemuan Jokowi-Prabowo Hanya Basa-Basi Politik
Pertemuan Jokowi dan Prabowo sebelum pelantikan presiden terpilih oleh MPR, dipuji banyak pihak dan mampu meredakan ketegangan politik. Di sisi lain, pertemuan yang fenomenal itu dipertanyakan momennya karena boleh dibilang cukup terlambat. Jokowi menemui Prabowo setelah KIH koalisi pendukungnya mengalami kekalahan beruntun tanpa balas terhadap KMP. Walhasil silaturahmi yang dilakukan Jokowi tersebut ditenggarai sebagai sebuah “keterpaksaan”. Jokowi lebih tepatnya sedang melakukan lobi politik agar pemerintahannya tidak “terkunci” jika terus bersikap frontal dalam menghadapi Prabowo dan KMP.
Imbas dari pertemuan itu, harus diakui ada manfaatnya. Paling tidak pelantikan presiden menorehkan sejarah baru, terlaksana dengan lancar dan dihadiri pihak kompetitor. Kehadiran Prabowo di acara pelantikan presiden Jokowi dan salam hormat ala militer yang beliau berikan, menegaskan pengakuannya terhadap presiden terpilih dan panglima tertinggi itu.
Tak hanya itu, dalam salah satu wawancara di TV One, Prabowo berjanji akan memberikan tempat terhormat bagi partai PDIP di DPR sebagai partai besar. Janji yang diucapkan Prabowo bukan janji kosong. Sejalan dengan sikap Prabowo, KMP juga melunak dan mau melakukan musyawarah mufakat untuk berbagi jabatan ketua komisi dan alat kelengkapan dewan. Posisi itu yang masih tersisa bagi KIH setelah pimpinan DPR dan MPR selesai ditetapkan.
Sayangnya ketulusan Prabowo dan KMP diciderai oleh manuver-manuver Jokowi dan KIH yang mengusik “kemesraan” yang baru terbentuk itu. Jokowi terus “merayu” satu-dua partai di KMP untuk masuk ke koalisinya. Bahkan Jokowi menjalankan politik “belah bambu” untuk memecah PPP salah satu partai di KMP. Beberapa petinggi dari KIH hadir pada saat pembukaan muktamar PPP versi Romy di Surabaya yang tidak diakui kubu SDA. Beberapa jam setelah kepengurusan partai kubu Romy terbentuk, malam itu juga mereka “berlari” menemui Jokowi. Usai pertemuan, Romy Cs mengklaim sudah diterima bergabung di koalisi Jokowi. Jokowi kemudian mengganjar PPP Romi dengan satu kursi menteri.
Tak cukup di situ, pemerintahan Jokowi melalui Menkum HAM yang baru sehari bertugas, langsung mengesahkan kepengurusan PPP versi Romi. Yasona Laoly Menkum HAM diduga telah melakukan “abuse of power” dan langsung digugat secara hukum oleh kubu SDA. DPR juga berencana menggunakan hak interpelasi terhadap menteri baru dari PDIP tersebut. Intervensi yang dilakukan pemerintahan Jokowi mengingatkan publik terhadap kasus PDI di masa Orde Baru dulu. Soeharto juga merekayasa konflik partai oposisi, lalu mengesahkan PDI kubu Soeryadi. Walhasil PDI kubu Mega tersingkir dan berubah nama menjadi PDIP.
Sementara itu kubu KIH di DPR juga tidak bersikap kooperatif. Pada musyawarah penentuan ketua komisi dan alat kelengkapan dewan, mereka memaksakan pendapat, yakni pembagian jabatan harus proporsional sesuai dengan jumlah perolehan kursi partainya. Padahal UU MD3 sudah melepas sekat-sekat partai dalam penentuan jabatan pimpinan.
Prabowo dan KMP sudah memberikan “hatinya” namun KIH meminta lagi “jantung”. Walhasil beginilah jadinya, KIH gigit jari dan bertindak aneh-aneh dengan membentuk kepemimpinan DPR versi mereka, minta Presiden terbitkan Perppu UU MD3, dll.
Semoga saja negeri ini tidak hancur.
Sumber : http://ift.tt/13gBkcG
Imbas dari pertemuan itu, harus diakui ada manfaatnya. Paling tidak pelantikan presiden menorehkan sejarah baru, terlaksana dengan lancar dan dihadiri pihak kompetitor. Kehadiran Prabowo di acara pelantikan presiden Jokowi dan salam hormat ala militer yang beliau berikan, menegaskan pengakuannya terhadap presiden terpilih dan panglima tertinggi itu.
Tak hanya itu, dalam salah satu wawancara di TV One, Prabowo berjanji akan memberikan tempat terhormat bagi partai PDIP di DPR sebagai partai besar. Janji yang diucapkan Prabowo bukan janji kosong. Sejalan dengan sikap Prabowo, KMP juga melunak dan mau melakukan musyawarah mufakat untuk berbagi jabatan ketua komisi dan alat kelengkapan dewan. Posisi itu yang masih tersisa bagi KIH setelah pimpinan DPR dan MPR selesai ditetapkan.
Sayangnya ketulusan Prabowo dan KMP diciderai oleh manuver-manuver Jokowi dan KIH yang mengusik “kemesraan” yang baru terbentuk itu. Jokowi terus “merayu” satu-dua partai di KMP untuk masuk ke koalisinya. Bahkan Jokowi menjalankan politik “belah bambu” untuk memecah PPP salah satu partai di KMP. Beberapa petinggi dari KIH hadir pada saat pembukaan muktamar PPP versi Romy di Surabaya yang tidak diakui kubu SDA. Beberapa jam setelah kepengurusan partai kubu Romy terbentuk, malam itu juga mereka “berlari” menemui Jokowi. Usai pertemuan, Romy Cs mengklaim sudah diterima bergabung di koalisi Jokowi. Jokowi kemudian mengganjar PPP Romi dengan satu kursi menteri.
Tak cukup di situ, pemerintahan Jokowi melalui Menkum HAM yang baru sehari bertugas, langsung mengesahkan kepengurusan PPP versi Romi. Yasona Laoly Menkum HAM diduga telah melakukan “abuse of power” dan langsung digugat secara hukum oleh kubu SDA. DPR juga berencana menggunakan hak interpelasi terhadap menteri baru dari PDIP tersebut. Intervensi yang dilakukan pemerintahan Jokowi mengingatkan publik terhadap kasus PDI di masa Orde Baru dulu. Soeharto juga merekayasa konflik partai oposisi, lalu mengesahkan PDI kubu Soeryadi. Walhasil PDI kubu Mega tersingkir dan berubah nama menjadi PDIP.
Sementara itu kubu KIH di DPR juga tidak bersikap kooperatif. Pada musyawarah penentuan ketua komisi dan alat kelengkapan dewan, mereka memaksakan pendapat, yakni pembagian jabatan harus proporsional sesuai dengan jumlah perolehan kursi partainya. Padahal UU MD3 sudah melepas sekat-sekat partai dalam penentuan jabatan pimpinan.
Prabowo dan KMP sudah memberikan “hatinya” namun KIH meminta lagi “jantung”. Walhasil beginilah jadinya, KIH gigit jari dan bertindak aneh-aneh dengan membentuk kepemimpinan DPR versi mereka, minta Presiden terbitkan Perppu UU MD3, dll.
Semoga saja negeri ini tidak hancur.
Sumber : http://ift.tt/13gBkcG