Saya Tidak Akan Pernah Menyalahkan FPI
Alasan saya tidak akan pernah menyalahkan dan membernarkan FPI sederhana saja. Karena saya sendiri masih juga tidak jarang melakukan kesalahan dan masih saja sepenuhnya saya belum selalu benar. Saya juga tidak akan pernah menyalahkan polisi yang mengamankan demo FPI, karena sudah saya ketahui polisi sendiri sudah mempunyai standar pelaksanaan pengamanan terkait dengan demo, siapa pun yang melakukan demo.
Selain itu saya juga tidak mudah menyalahkan orang-orang yang marah dengan FPI dan berniat memboikot FPI, kemudian ramai-ramai mengusulkan FPI layak dibubarkan, karena merasa terganggu dan tidak nyaman melihat ulah gerakan FPI. Tetapi saya juga tidak menyalahkan petinggi FPI untuk mempertahankan organisasi tersebut, karena setiap warga negara pun mempunyai hak membentuk organisasi apa pun sepanjang mematuhi koridor organisasi berdasarkan ketentuan yang berlaku. Bukankah standar prosedur demo pun sudah disampaikan oleh petinggi mereka juga. Apa yang dilakukan mereka tentu menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing. Dan andai kata dibubarkan mereka juga punya hak untuk membentuk kembali organisasi serupa dengan nama lainnya sebagaimana yang diinginkannya. Dan keamanan pun akan semakin lebih kesulitan mengidentifikasi, apalagi gerakan akan dibangun dalam gerakan elastis, jelas yang demikian itu akan lebih menyulitkan lagi tugas pengamanannya.
Intinya, saya tidak akan pernah menyalahkan siapa pun, karena yang salah dan benar sudah jelas-jelas dapat diidentifikasi dengan berbagai perangkat alat ukur terkait dengan nilai, norma, hukum yuridis formal, adat, dan kebiasaan-kebiasaan, serta kearifan-kearifan lain yang berlaku pada suatu lingkungan. Salah dan benar dalam mencermati perspektif apa pun tergantung alat ukur yang dipakai untuk mengetahui itu semua. Bukan alat ukur saya atau mereka, tetapi akan lebih tepat sesuai alat ukur yang telah disepakati dalam suatu komunitas, masyarakat, bangsa dan negera. Alat ukur itulah kemudian yang akan dapat menempatkan siapa pun orangnya, apa pun organisasinya, dan keyakinannya terjerat-tidaknya mereka pada tataran ranah hukum itu. Jadi bukan saya, dia atau mereka yang dapat menghakiminya, di mana pun tempatnya tergantung pada ukuran tersebut yang mengaturnya.
Dan akan salah lagi, misalnya, dengan apa yang dilakukan FPI orang-per-orang kemudian meng-generalisasikan — itulah ulah suatu keyakinan, ajaran, syariat, atau apalah namanya yang bernada menyudutkan dan menyalahkan suatu kebenaran hakiki suatu ajaran tertentu. Fenomena semacam itu tidak jarang akan menyulut kemarahan yang lebih luas dan dapat menghipnotis kekuatan yang lebih besar lagi hanya gara-gara menempatkan sesuatu tidak sesuai dengan proporsi yang sesungguhnya.
Maka sesungguhnya akan lebih tepat manakala menghadapi suatu peristiwa yang melibatkan suatu keyakinan yang dilatarbelakangi suatu kebenaran absolut — kejernihan pemikiran, sikap, dan tindakan membutuhkan kedewasaan tersendiri untuk mensikapinya. Sedangkan yang lebih penting lagi adalah memahami tuntutan dan dapat mempetakan masalah yang disengketakan, yang semuanya dapat diselesaikan dengan baik apabila terjalin komunikasi yang efektif dan berjalan dua arah dan dapat menghindari komunikasi yang terjadi searah. Namun, kebanyakan yang terjadi komunikasi selalu berjalan searah melulu, apalagi jawaban disampaikan di media elektronik dan cetak.
Budaya komunikasi dari hati ke hati, dari jiwa ke jiwa terasa masih jauh di panggang api. Sehingga semakin banyak memunculkan pembenaran masing-masing dengan nada pembelaan dan pembenaran sendiri-sendiri pula. Maka tidak salah kiranya banyak masalah-masalah yang tidak pernah terselesaikan dengan baik, dan suatu saat seperti api yang ditimbun dalam sekam.
Konflik antara FPI dengan pengganti Gubernur DKI itu saya yakini masalah kesalahpahaman belaka. Anggota FPI, mudah-mudahan saya tidak salah, banyak diikuti oleh orang-orang yang mempunyai pegangan yang kokoh menyimak, menilai hakekat sesuatu yang seharusnya atau sebaliknya. Namun, perlu disadari pula, bahwa dalam suatu kerumunan berbagai macam karakter berkumpul di situ. Ada yang sudah matang berorganisasi dan ada pula yang ikut-ikutan. Tentu akan mempunyai sikap dan tindakan yang berbeda-beda pula.
Karena itu, pengganti Gubernur DKI tersebut memang harus banyak belajar menghadapi FPI yang sesungguhnya tidak memasalahkan siapa pun yang harus duduk atau yang menggantikannya. Lebih dari itu, sejauh mana dan seperti apa dengan kepemimpinan tersebut dapat menempatkan segala hal sesuai dengan proporsinya. Siapa pun Gubernur DKI harus pandai-pandai menempatkan diri sekaligus melindungi, manakala ingin disegani oleh semua kalangan, sebagaimana telah diketahui mayoritas penduduk DKI masih menggandrungi keyakinan, tradisi, dan harapan berbagai kebaikan pada tanah kelahiran mereka juga. Bali, 7 Oktober 2014. Imam Muhayat. Walllahu a’lam.
Sumber : http://ift.tt/1vKYIGZ
Selain itu saya juga tidak mudah menyalahkan orang-orang yang marah dengan FPI dan berniat memboikot FPI, kemudian ramai-ramai mengusulkan FPI layak dibubarkan, karena merasa terganggu dan tidak nyaman melihat ulah gerakan FPI. Tetapi saya juga tidak menyalahkan petinggi FPI untuk mempertahankan organisasi tersebut, karena setiap warga negara pun mempunyai hak membentuk organisasi apa pun sepanjang mematuhi koridor organisasi berdasarkan ketentuan yang berlaku. Bukankah standar prosedur demo pun sudah disampaikan oleh petinggi mereka juga. Apa yang dilakukan mereka tentu menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing. Dan andai kata dibubarkan mereka juga punya hak untuk membentuk kembali organisasi serupa dengan nama lainnya sebagaimana yang diinginkannya. Dan keamanan pun akan semakin lebih kesulitan mengidentifikasi, apalagi gerakan akan dibangun dalam gerakan elastis, jelas yang demikian itu akan lebih menyulitkan lagi tugas pengamanannya.
Intinya, saya tidak akan pernah menyalahkan siapa pun, karena yang salah dan benar sudah jelas-jelas dapat diidentifikasi dengan berbagai perangkat alat ukur terkait dengan nilai, norma, hukum yuridis formal, adat, dan kebiasaan-kebiasaan, serta kearifan-kearifan lain yang berlaku pada suatu lingkungan. Salah dan benar dalam mencermati perspektif apa pun tergantung alat ukur yang dipakai untuk mengetahui itu semua. Bukan alat ukur saya atau mereka, tetapi akan lebih tepat sesuai alat ukur yang telah disepakati dalam suatu komunitas, masyarakat, bangsa dan negera. Alat ukur itulah kemudian yang akan dapat menempatkan siapa pun orangnya, apa pun organisasinya, dan keyakinannya terjerat-tidaknya mereka pada tataran ranah hukum itu. Jadi bukan saya, dia atau mereka yang dapat menghakiminya, di mana pun tempatnya tergantung pada ukuran tersebut yang mengaturnya.
Dan akan salah lagi, misalnya, dengan apa yang dilakukan FPI orang-per-orang kemudian meng-generalisasikan — itulah ulah suatu keyakinan, ajaran, syariat, atau apalah namanya yang bernada menyudutkan dan menyalahkan suatu kebenaran hakiki suatu ajaran tertentu. Fenomena semacam itu tidak jarang akan menyulut kemarahan yang lebih luas dan dapat menghipnotis kekuatan yang lebih besar lagi hanya gara-gara menempatkan sesuatu tidak sesuai dengan proporsi yang sesungguhnya.
Maka sesungguhnya akan lebih tepat manakala menghadapi suatu peristiwa yang melibatkan suatu keyakinan yang dilatarbelakangi suatu kebenaran absolut — kejernihan pemikiran, sikap, dan tindakan membutuhkan kedewasaan tersendiri untuk mensikapinya. Sedangkan yang lebih penting lagi adalah memahami tuntutan dan dapat mempetakan masalah yang disengketakan, yang semuanya dapat diselesaikan dengan baik apabila terjalin komunikasi yang efektif dan berjalan dua arah dan dapat menghindari komunikasi yang terjadi searah. Namun, kebanyakan yang terjadi komunikasi selalu berjalan searah melulu, apalagi jawaban disampaikan di media elektronik dan cetak.
Budaya komunikasi dari hati ke hati, dari jiwa ke jiwa terasa masih jauh di panggang api. Sehingga semakin banyak memunculkan pembenaran masing-masing dengan nada pembelaan dan pembenaran sendiri-sendiri pula. Maka tidak salah kiranya banyak masalah-masalah yang tidak pernah terselesaikan dengan baik, dan suatu saat seperti api yang ditimbun dalam sekam.
Konflik antara FPI dengan pengganti Gubernur DKI itu saya yakini masalah kesalahpahaman belaka. Anggota FPI, mudah-mudahan saya tidak salah, banyak diikuti oleh orang-orang yang mempunyai pegangan yang kokoh menyimak, menilai hakekat sesuatu yang seharusnya atau sebaliknya. Namun, perlu disadari pula, bahwa dalam suatu kerumunan berbagai macam karakter berkumpul di situ. Ada yang sudah matang berorganisasi dan ada pula yang ikut-ikutan. Tentu akan mempunyai sikap dan tindakan yang berbeda-beda pula.
Karena itu, pengganti Gubernur DKI tersebut memang harus banyak belajar menghadapi FPI yang sesungguhnya tidak memasalahkan siapa pun yang harus duduk atau yang menggantikannya. Lebih dari itu, sejauh mana dan seperti apa dengan kepemimpinan tersebut dapat menempatkan segala hal sesuai dengan proporsinya. Siapa pun Gubernur DKI harus pandai-pandai menempatkan diri sekaligus melindungi, manakala ingin disegani oleh semua kalangan, sebagaimana telah diketahui mayoritas penduduk DKI masih menggandrungi keyakinan, tradisi, dan harapan berbagai kebaikan pada tanah kelahiran mereka juga. Bali, 7 Oktober 2014. Imam Muhayat. Walllahu a’lam.
Sumber : http://ift.tt/1vKYIGZ