Suara Warga

Saat Hukum menjadi rimba belantara bagi masyarakat yang awam Hukum.

Artikel terkait : Saat Hukum menjadi rimba belantara bagi masyarakat yang awam Hukum.

14129900131609854126Gambar kreasi dari sumber yang jelas.

Saat Hukum menjadi rimba belantara bagi masyarakat yang awam Hukum.

Kala Hukum menjadi rimba belantara, dengan para Praktisi hukum menjadi predator hukum dan adu kekuatan berebut makanan, maka masyarakat awam hukum akan menjadi korban dan santapan harian para Predator.

Adalah Singarimbun yang menyela diantara Nurhasim dengan Nenek Fatimah dan membidani lahirnya tuntutan Rp.1 Milyar juga menggiring seorang Nenek Tua renta ke pintu gerbang penjara oleh menantu atas mertuanya sendiri.

Liputan6.com, Tangerang - Sidang lanjutan kasus seorang ibu digugat anak dan menantunya Rp 1 miliar kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Selasa (30/9). Pada sidang kali ini, sang menantu Nurhakim mengajak mertuanya berdamai.

Dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi tersebut, majelis hakim meminta kepada kedua pihak agar melakukan perundingan.

“Kita berharap kedua pihak ini berembuk, cari kesepakatan yang menguntungkan, bagaimana pun juga penggugat dan tergugat ini kan masih satu keluarga,” ujar Ketua Majelis Hakim Bambang Krisna, kepada penggugat dan tergugat.

Mendengar arahan tersebut, di luar persidangan, Nurhakim mencoba mengajak damai sang mertua. “Saya pada prinsipnya mau saja, bagaimana damainya tergantung hasil kesepakatan,” ujarnya.

Dari pengakuan dua pihak yang terkait, maka pengakuan Nurhana ketika diwawancarai TV One dapat dijadikan pintu masuk untuk mengurai permasalahan yang sebenarnya. Tampak sekali seorang Nurhana yang terjepit antara kesetiaan pada suaminya dengan baktinya pada orang tua. Nurhana yakin benar bahwa suaminya belum menerima pembayaran dari ayahnya dan ia harus percaya itu. Tapi dilain fihak dia juga tampak tidak berkehendak mencelakakan ibu dan saudari-saudarinya.

Akan tetapi berbeda dengan Nurhakim sang suami, kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak tulus, itu tampak sekali. Ini dapat diartikan bahwa adanya ketidak jujuran dalam keluarga, menjadi awal malapetaka itu.

Dari pandangan mata Nenek Fatimah dan dari gerak bibirnya dapat diyakini bahwa jual beli itu memang sudah terjadi dalam sebuah kesepakatan antar anggota keluarga besar walaupun tanpa kehadiran anaknya Nurhana.

Bila kemudian Nurhana dengan sangat meyakinkan pada saat diwawancarai TV One mengaku tidak pernah menuntut ibunya sampai sebesar Rp.1 M bahkan dalam penjelasannya menyadari harga tanah nya saja tidak akan pernah sampai Rp. 1 M.

Dari wawancara jarak jauh baru diketahui bahwa nilai Rp. 1 M itu diakui diajukan oleh seorang bermarga Singarimbun sebagai Pengacara Nurhakim. Nilai Rp.1 M. dijelaskan sebagai ganti rugi atas dikuasainya tanah oleh nenek Fatimah sejak th. 1987.

Dari apa yang disampaikan Nurhakim, tampak sekali bahwa sebetulnya Nurhakim hanya ingin meyakinkan istrinya Nurhana bahwa ia belum pernah menerima pembayaran dari Almarhum ayah mertuanya. Sementara dari fihak nenek Fatimah dan anak-anaknya yang lain meyakini benar bahwa harga tanah sebesar Rp. 10 juta sudah dibayar pada th 1987. Bersamaan dengan uang senilai Rp. 1 Juta yang deberikan Abdurrahman Alm. ( Suami nenek Fatimah ) kepada Nurhana yang Nurhana juga mengakui telah menerima uang pemberian almarhum ayahnya itu.

Dari pengamatan hasil wawancara yang kemudian banyak disiarkan media Televisi tampak sekali bahwa :

Dari pengakuan Nurhana :

Bahwa atas pengakuan Nurhakim, Nurhakim belum pernah menerima uang pembayaran dari ayahnya, tapi mengakui menerima uang Rp.1 Juta pemberian ayahnya yang diserahkan Nurhakim kepada Nurhana.

Bahwa Nurhana tidak pernah menuntut ibunya Rp. 1 Milyar. Bahkan menurut Nurhana harga tanahnya saja tidak mempunyai nilai sampai satu milyar.

Peluang Hukum :

Nenek Fatimah dan keluarga sama sekali tidak memiliki bukti telah adanya pembayaran atas jual beli tanah senilai Rp. 10 Juta yang diakui Nenek Fatimah telah dilakukan antara suaminya Abdurahman Alm dengan menantunya Hurhasim.

Saksi-saksi keluarga yang utama ( menantu ) telah meninggal dunia.

Maka pengacara Nurhasim yang bermarga Singarimbun itu, melihat peluang untuk menang dalam sengketa hukum. Siapapun pengacaranya akan melihat bahwa :

Untuk menang dalam berperkara akan bergantung pada “bukti“ dan “ saksi” maka setelah Nenek Fatimah dipaksa tidak memiliki bukti pembayaran, langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah menghilangkan saksi.

Maka tuduhan “Persekongkolan” antara Nenek Fatimah dengan ketiga anaknyapun dilayangkan. Bila ketiganya telah dijadikan terdakwa dalam satu persekongkolan untuk menguasai tanah Nurhasim, maka tidak seorangpun yang layak menjadi saksi.

Nenek Fatimah dan tiga anaknya yang awam hukum, sama sekali tidak sadar bahwa kasus perdata yang terjadi dalam sengketa antara keluarga telah dibawa keranah hukum pidana oleh “kepiwaian” seorang Singarimbun sang pengacara yang bahkan kalau Nurhana tahu, tidak akan pernah menyetujuinya.

Semua ini terjadi, bila HUKUM yang seharusnya menjadi tempat berlindung telah berubah menjadi hutan belantara yang mengancam kehidupan manusia yang awam hukum.

Biaya Pengacara itu memang mahal, tapi biarlah bila dibayar oleh para koruptor dan pengusaha busuk tapi alangkah memprihatinkan bila korbannya adalah seorang nenek Tua renta yang awam hukum tanpa pendamping.

Salam Prihatin untuk Hukum di Indonesia.




Sumber : http://ift.tt/1soGCgq

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz