Suara Warga

Premanisme FPI dan Integritas NKRI

Artikel terkait : Premanisme FPI dan Integritas NKRI

PREMANISME FPI DAN INTEGRITAS NKRI

OLEH: ODORIKUS HOLANG

(SANG MUSAFIR PENCINTA DAMAI NAN TOLERAN)

Akhir-akhir seluruh media baik media lokal, regional maupun nasional memberitakan aksi-aksi demonstrasi dari Front Pembela Islam (FPI). Tujuan utama FPI berdemonstrasi adalah menentang pak Ahok Cahya Purnama untuk menduduki kursi gubernur DKI Jakarta setelah Joko Widodo mengundurkan diri oleh karena harus mengembankan tugas baru yaitu menakodai kursi kepresidenan Republik Indonesia untuk periode 2014/2019.

Aksi demonstrasi pada prinsipnya untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Hal ini dilakukan oleh karena keterbatasan sumber daya masyarakat untuk menyatakan pendapat secara personal. Tujuan dan orientasinya amat jelas yaitu untuk mengkritisi sepak terjang pemerintah yang salah kaprah dalam memobilisasi jalannya roda pemerintahan.

Namun, jalannya aksi demonstrasi FPI menuai fakta ironis. Mereka bukannya berdemonstrasi malahan melakukan tindakan anarkis dengan menghancurkan sarana dan prasarana publik serta mengganggunya keberlangsungan aktifitas orang lain. Pertanyaannya, apa modus dibalik sepak terjang FPI ini?. Apakah ada unsur politis yang membuat mereka secara tegas menolak Pak Ahok untuk menduduki kursi gubernur DKI Jakarta untuk menggantikan posisi pak Joko Widodo?.

Secara konstitusional, pak Ahok sah untuk menggantikan posisi pak Joko Widodo sebagai gubernur. Lalu, apa lagi yang dinginkan oleh FPI yang berusaha menurunkan posisinya sebagai gubernur?. Hemat saya dalam hal ini FPI secara tegas inkosntitusional atau FPI tidak memahami sistem ketatanegaraan negara kesatuan Republik Indonesia. FPI hanya berkoar untuk mencari popularitas diri laiknya jokowi dan ahok yang dikenal luas masyarkat umum.

Jika ditelaah secara intens bahwa FPI itu Fron Pembela Islam artinya apabila Islam diserang pihak ketiga maka FPI mempunyai peran untuk menghalau persoalan itu. Dalam hal ini, FPI mempunyai wewenang untuk mengusut tuntas modus yang mencoba mengganggu ketenangan Islam. Dengan demikian, sepak terjang FPI yang berujung pada fakta ironis terkait penolakan ahok sebagai gubernur bukanlah disebut pembela melainkan “preman” yang mengganggu ketenangan eksistensi negara dalam ruang privatnya.

Pertanyaannya, patutkah FPI dibanggakan sebagai warga negara?. Kiranya adagium klasik ini dapat menjawab problem akut ini yaitu “apa yang kita lakukan untuk negara, bukan apa yang negara lakukan untuk kita” (what we do for country, not what country do for us). Dalam artian bahwa kita sebagai warga negara harus memberikan sumbangsih positif untuk negara itu sendiri seperti menjamin keamanan atau stabilitas yang paten bukanlah memberikan sumbangsih negatif yang berujuang pada aksi anarkis. Oleh karena itu, patutkah dipuji?.

Premanisme

Sepak terjang FPI yang selalu mengandalkan aksi anarkisme merupakan salah satu ciri atau bentuk tindakan premanisme masif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, premanisme adalah sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras, dll.). Dengan demikian, FPI patut disematkan predikat sebagai preman yang mengacau keamanan negara yang diorganisir secara rapi dan terstruktur yang secara konsisten menolak peraturan perundang-undangan ketatanegaraan.

Sementara itu, aksi kelompok preman ini berjalan dan bernaung di bawah payung agama supaya bisa menegaskan eksistensi mereka di tengah publik. Tetapi pada hakekatnya, agama dalam dirinya sendiri (inse) secara tegas menolak anarkisme karena agama lahir ke dunia untuk mewartakan kedamaian bukan permusuhan yang bernuansa SARA (baca: semua agama). Sementara itu, FPI menggunakan ayat Alquran sebagai referensi untuk membuat pembenaran dan tolok ukur menolak Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta (vivanews.com Jumat, 10 Oktober).

Pertanyaannya, apakah negara Indonesia telah mengakui doktrin komprehensif dari komunitas privat tertentu (baca: FPI)?. Bukankah negara kesatuan Indonesia berparaskan pluralitas dan multikulturalitas yang mewarnai kebinekaan dalam perbedaan. Menerjemahkan doktrin tertentu dalam ruang publik berarti menafikan eksistensi kekokohan negara sebagai negara yang mengedepankan dan selalu merayakan persamaan dalam perbedaan.

Walaupun berbeda tapi tetap satu adalah filosofi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengakui perbedaan adalah bentuk pengakuan integritas bangsa. Dari Sabang sampai Merauke negara Indonesia diwarnai oleh aneka perbedaan baik suku, agama, ras maupun bahasa. Oleh karena itu, penolakan Ahok untuk menduduki kursi gubernur adalah penafian terhadap keanekaan Indonesia apabila hal ini bernuansa SARA. Namun, hemat saya disintegritas bangsa dan negara salah satu alasannya seperti tindak tanduk FPI ini.

Oleh karena itu, memupuk kedamaian dan mewartakan sikap terpuji terhadap segala aksi adalah modal utama membangun negara secara utuh dengan menolak atau menanggalkan baju pramanisme yang pada hakekatnya merugikan negara. Sumbangsi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak disarankan menggunakan cermin retak yang berujung pada parsialitas kepentingan melainkan memberi diri secara utuh atau secara filosofis bagaimana keterbukaan diri terhadap realitas.




Sumber : http://ift.tt/1qInwvd

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz