Permasalahan Kependudukan di Indonesia dan Pemecahannya
Penduduk Indonesia sebagaimana sering dikemukakan, menempati peringkat ke-4 di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat, dengan jumlah penduduk mencapai 253,60 juta jiwa (Detikfinance, Kamis, 06/03.2014).
Diprediksi, pada tahun 2020-2030, Indonesia akan mendapat bonus demografi, di mana penduduk dengan usia produktif sangat besar dibanding usia muda dan usia lanjut. Pada masa itu, jumlah angkatan kerja yang berusia antara 15-64 tahun diperkirakan mencapai 70 persen. Dilhat dari jumlah penduduk, usia produktif sekitar 180 juta, sementara usia nonproduktif sekitar 60 juta.
Permasalahan Penduduk
Permasalahan penduduk di Indonesia setidaknya terdapat 3 (tiga) faktor utama. Pertama, kualitas penduduk rendah. Kualitas penduduk yang rendah menimbulkan dampak negatif yang berantai. 1) Dunia usaha terpaksa menyerap tenaga kerja yang tidak berkualitas. Saat ini sekitar 70 persen angkatan kerja Indonesia hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan tidak tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dampaknya produktivitas rendah sehingga produk hasil industri Indonesia kurang bisa bisa bersaing di pasar global.
2) Pengangguran tinggi, karena penduduk tidak mempunyai pendididkan yang memadai dan tidak pula memiliki ketrampilan kerja, maka sulit diterima untuk bekerja di sektor formal, di pemerintah maupun di swasta. Satu-satunya jalan keluar bagi mereka untuk bertahan hidup adalah terjun ke sektor informal. Sektor ini hampir tidak ada prospeknya, karena tidak mendapat dukungan dari perbankan, tidak ada perlindungan hukum dari pemerintah, tidak ada tempat berusaha permanen, sehingga mereka berdagang dipinggir jalan atau di trotoar, yang setiap saat ditertibkan aparat. Dampak lanjutannya tidak bisa tidak, sulit dicegah terjadinya,
3) Kemiskinan masif. Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 berjumlah 28,28 juta orang, dengan garis kemiskinan sebesar Rp 302.732 perkapita (AntaraNews.com, Selasa, 01 Juli 2014). Jika batas garis kemiskinan tersebut dibagi 30 hari, maka penghasilan perkapita setiap hari sebesar Rp 10.091. Batas garis kemiskinan tersebut tidak masuk akal, karena ditengah tingginya inflasi sembilan bahan pokok yang dalam 5 tahun terakhir mencapai 60 persen, maka jumlah tersebut sangat kecil dan tidak ada orang yang bisa hidup dengan penghasilan sebesar itu. Dengan garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia sebesar US$ 2/hari dengan kurs rupiah 1 dolar Amerika Serikat sebesar Rp 12.000, berarti garis kemiskinan Rp 24.000/hari, maka masih sangat sulit hidup dengan penghasilan sebesar itu.
Kedua, kuantitas penduduk. Sejatinya jumlah penduduk yang besar bisa memberi dampak positif bagi kemajuan suatu bangsa seperti China, Amerika Serikat dan lain-lain. Akan tetapi, jumlah penduduk yang besar, jika tidak diimbangi dengan kualitas penduduk, maka akan menjadi beban bagi suatu bangsa dan negara. Indonesia sedang menghadapi masalah kependudukan karena mayoritas penduduknya tidak berkualitas. Dampak negatifnya antara lain,
1) Kesenjangan sosial ekonomi. Gini ratio Indonesia telah mencapai 0,43 persen. Ini amat membahayakan bagi stabilitas sosial politik dan keamanan.
2) kekerasan sosial mudah terjadi. Hal itu sudah terbukti dalam kehidupan sosial, karena persoalan kecil bisa meledak menjadi konflik sosial.
Ketiga, persebaran penduduk tidak merata. Sebagai gambaran, pulau Jawa jumlah persentase penduduk mencapai 57,49 %, sementara pulau Sulawesi hanya 7,31 %, pulau Kalimantan sebesar 5,80 %, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 5,50 persen, sedang Maluku dan Papua sebesar 2,60 persen.
Pemecahan Kependudukan
Bonus demografi Indonesia bisa berubah menjadi malapeta, jika tidak dilakukan secara cepat dan tepat. Setidaknya harus dilakukan 5 (lima) hal.
Pertama, mendirikan kementerian kependudukan dan BKKBN. Menurut berbagai pemberitaan media, Presiden terpilih Ir.H. Joko Widodo, dan Wakil Presiden terpilih Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla akan mendirikan satu kementerian baru yang akan menangani masalah kependudukan dan keluarga berencana. Langkah tersebut dianggap amat positif dan patut diapresiasi untuk mempersiapkan penduduk Indonesia dalam menyambut bonus demografi sehingga memberi berkah bukan malapetaka.
Kedua, perubahan kepemimpinan di kementerian dari tangan birokrat kepada ahlinya (pakar dalam bidang sosial) merupakan conditio sine quanon. Perubahan kepemimpinan harus pula disertai perubahan mindset, budaya kerja yang menganut prinsip “lebih cepat lebih baik“, dengan terjun langsung ke masyarakat (blusukan) untuk bekerja, mengecek pelaksanaan program dan mengajak masyarakat untuk ikut serta menyukseskan program kependudukan dan BKKBN.
Ketiga, fokus meningkatkan kualitas penduduk Indonesia dengan mendirikan pusat pelatihan kepakaran bagi mereka yang tidak bisa melanjutkan pendidikan formal untuk mempersiapkan tenaga kerja trampil dan pengusaha baru, dengan bekerjasama kementerian tenaga kerja, pemerintah daerah serta dunia usaha.
Keempat, fokus mengurangi pertumbuhan penduduk dengan target 1 persen dalam lima tahun ke depan. Pada saat yang sama memacu dan mendorong persebaran penduduk melalui transmigrasi swakarsa ke luar daerah dengan kemudahan investasi dan menyediakan sarana tol laut. Tumbuhnya sentra ekonomi di daerah akan berlaku teori semut di mana ada gula disitu banyak semut.
Kelima, bersinergi dengan parlemen, berbagai kementerian terkait dan pemerintah daerah dengan terjun langsung ke masyarakat, maka diyakini masalah kependudukan akan teratasi, sehingga bonus demografi bisa dinikmati untuk mewujudkan kemajuan Indonesia.
Semoga tulisan ini memberi sumbangsih bagi pemecahan masalah kependudukan di Indonesia.
Sumber : http://ift.tt/1C7gEhs