Suara Warga

Perithanatik Kementerian Desa

Artikel terkait : Perithanatik Kementerian Desa


Perithanatik adalah istilah untuk menerangkan pengalaman-pengalaman menjelang ajal. Dr. Ioanes Rakhmat (2014) menyebutnya dengan istilah pengalaman dekat kematian (PDK) sebagai terjemahan dari istilah Inggris Near-Death Experience. Disebutkan Rakhmat, ada orang-orang tertentu yang datang dari latar kebudayaan dan keagamaan dengan keyakinan bahwa perithanatik merupakan hal niscaya. Terdapat 7 (tujuh) ciri umum dari perithanatik atau pengalaman dekat kematian. Pertama, muncul cahaya terang yang kuat. Suatu pengalaman dimana subjek merasa memasuki “surga”. Kedua, keluar dari tubuh (out-of-body experience). Subjek merasa bahwa ia telah meninggalkan tubuhnya, melayang, dan dari ketinggian melihat tubuhnya. Ketiga, memasuki suatu kawasan lain. Subjek merasa menemui dunia yang lain yang lebih teduh.


Keempat, melihat mahluk-mahluk rohani. Subjek bertemu dengan tokoh-tokoh yang dipandang suci. Kelima, memasuki lorong lurus atau jalan berpilin. Subjek merasa berjalan melalui lorong berpilin dengan cahaya terang di ujung jalan. Keenam, berkomunikasi dengan roh. Subjek merasa berbicara dengan mereka yang telah mati terlebih dahulu atau dengan seseorang yang tidak dikenal tetapi diyakini pernah hidup sebelumnya. Ketujuh, kehidupan selama dibumi ditinjau. Subjek merasa berhadapan dengan monitor raksasa dimana perjalanan hidupnya terekam dan dapat disaksikan ulang. Pengalaman itu dapat linear dari masa bayi hingga dewasa, atau sebaliknya dari dewasa hingga bayi. Pengalaman dapat juga lateral atau hanya situasi-situasi khusus.



Campuran bukan Larutan


Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi adalah kementerian baru dalam kabinet kerja Presiden. Manakala kementerian ini lahir, maka nomenklatur kementerian disematkan pada kementerian pembangunan daerah tertinggal. Tetapi fungsi desa dan fungsi ketransmigrasian tidak ada dalam kementerian ini. Fungsi dan tugas desa ada pada Kementerian Dalam Negeri. Fungsi ketransmigrasian belum lepas dari kementerian ketenagakerjaan.



Entah terburu-buru atau berpendekatan makro, istilah kementerian desa, PDT dan transmigrasi dalam sekejap menempel pada kementerian PDT yang sebenarnya sudah harus ditutup setelah sekian tahun berdiri. Kesan terburu-buru tidak dapat dihindari manakala disadari bahwa desa, daerah tertinggal dan transmigrasi bukanlah pekerjaan dengan fungsi serumpun.



Urusan desa bukan urusan masyarakat terasing atau masyarakat tertinggal. Urusan desa adalah urusan entitas berpemerintah yang kompleks luar biasa. Urusan daerah tertinggal lain lagi. Urusan ini semestinya ada dalam urusan otonomi daerah di Kementerian Dalam Negeri. Hanya karena tugas ad-hock dan khusus yaitu mempercepat laju pembangunan daerah tertinggal, kementerian ini lahir dari rahim reformasi. Logika dasarnya adalah, kementerian ini membantu pemerintah mendorong daerah tertinggal berpacu mencapai kemajuan pembangunan. Manakala daerah ada pada posisi saling mendekat dalam jarak pembangunan, tugas ini selesai, dan dikembalikan pada fungsi aslinya. Dengan kata lain dibubarkan. Lucunya, setelah sekian tahun berdiri, jumlah daerah tertinggal bukan berkurang, tetapi sebaliknya menjadi bertambah. Lebih ironis lagi bahwa jumlah daerah tertinggal yang bertambah ini hanya dihubungkan dengan jumlah daerah yang mendaftar sebagai pasien penerima bantuan dari kementerian ini.



Urusan transmigrasi lebih menarik lagi. Jika membuka dokumen sejarah, nampak jelas bahwa transmigrasi merupakan kebijakan penting negara Hindia Belanda, sebuah negara yang dulu pernah ada, dan wilayahnya kini menjadi wilayah NKRI. Apa dasar kebijakan transmigrasi dahulu? Penyebaran penduduk dan pembangunan daerah baru. Hindia Belanda tahu bahwa hanya dengan transmigrasi, pembangunan dapat disebar di area luas nusantara. Kebijakan itu masih dilanjutkan oleh pemerintah orde baru, namun dimasa reformasi, ketransmigrasian digabungkan dengan ketenagakerjaan dari perspektif yang sesungguhnya membingungkan. Problem lokalitas yang menjadi tantangan ketransmigrasian sama sekali belum terselesaikan hingga pemindahan fungsi ini ke dalam kementerian baru.



Faktanya, kementerian ini adalah campuran dan bukan larutan. Ia adalah pengelompokan dari tugas fungsi yang tidak padu. Bukan larutan dari fungsi sejenis. Dapat dibayangkan kemudian proses pembauran budaya kerja manusia aparatusnya.



Pengalaman Dekat Kematian


Di masa pemerintahan Presiden Abdulrrahman Wahid, tepat 26 Oktober 1999, kementerian negara otonomi daerah dibentuk. Agenda kerja utama kementerian ini adalah percepatan implementasi otonomi daerah yang menjadi agenda reformasi. Tetapi hanya dalam usia 10 bulan, kementerian itu dibubarkan. Persoalannya sederhana. Fungsi tugas kementerian itu tidak dapat lepas dari fungsi utama kementerian dalam negeri di bidang pemerintahan dalam negeri.



Pada akhirnya, tugas fungsi otonomi daerah kembali masuk ke dalam Kementerian Dalam Negeri, dan organisasi kementerian negara berubah menjadi organisasi setingkat direktorat jenderal yang dipimpin oleh seorang pejabat eselon I.



Desa, dalam kabinet kerja, nampaknya akan bernasib sama. Desa bukan soal udik. Bukan soal bagian wilayah yang terletak di luar kota. Juga bukan tempat hunian para petani dan orang terbelakang. Desa adalah negara. Negara kecil. Dari asal katanya, desa merupakan ganti rupa dari kata swadesi. Swadesi dapat bermakna negeri sendiri. Katakanlah negeri dengan pemerintahan sendiri.



Desa, dengan demikian, bukan sekedar petani-petani sederhana atau nelayan-nelayan semenjana. Desa adalah kesatuan yang utuh antara pemerintah, rakyat, pembangunan, dan segala kehidupannya. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa mengkonstruksikan desa persis seperti makna asli desa. Desa, demikian bunyi Pasal 1 angka 1 UU 6 Tahun 2014 adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian desa ini memiliki tiga dimensi pemaknaan. Pertama, desa adalah kesatuan masyarakat hukum. Kedua, desa memiliki kewenangan mengurus dan mengatur kepentingan sendiri. Ketiga, desa merupakan bagian dari sistem pemerintahan negara.



Ketika desa disebut dalam nomenklatur gado-gado “desa, daerah tertinggal dan transmigarasi” maka jelas itu bukan desa yang disebut dalam Undang-Undang 6 Tahun 2014. Karena desa yang disebut dalam undang-undang adalah desa sebagai komunitas yang berpemerintah. Sementara desa yang disebut dalam nomenklatur kementerian baru adalah desa yang entah apa. Katakanlah, nomenklatur itu memiliki makna, maka makna yang ada di sana adalah “pembangunan desa”.



Persoalannya kini, apakah desa sebagai komunitas berpemerintah dapat dipisahkan dari pemerintahan dalam negeri? Tidak usah repot untuk berpikir. Jawabannya jelas tidak. Sebagai komunitas berpemerintah, desa berada dalam wilayah kabupaten/kota untuk kemudian menyelenggarakan urusan. Penyelenggaraan urusan adalah penyelenggaraan pemerintahan juga. Urusan desa meliputi urusan asli desa, urusan kabupaten/kota yang diserahkan kepada desa, urusan lain yang oleh ketentuan perundangan diberikan kepada desa, dan kewenangan lokal skala desa.



Urusan asli desa adalah urusan yang sejak semula dimiliki oleh desa seperti urusan jaga baya, ulu-ulu, jaga wana, subak, perayaan hari keagamaan, perayaan adat istiadat, dan sebagainya. Urusan pemerintah kabupaten/kota yang diberikan kepada desa antara lain urusan kebersihan lingkungan atau urusan penerangan jalan. Urusan pemerintah yang diberikan kepada desa antara lain urusan penciptaan ketertiban lingkungan dan urusan pemilihan umum. Urusan skala desa antara lain pengawasan IMB, pendataan penduduk, dan pengawasan orang asing.



Menurut konstruksi Undang-Undang Dasar 1945, semua urusan itu tidak berada pada kementerian teknis. Kewenangan dan urusan daerah serta desa berada dalam lingkup kementerian yang membidangi pemerintahan dalam negeri. Maka sebelum menyelam dan bertarung dalam isi peraturan presiden tentang tugas kementerian, dapatlah dikatakan bahwa kementerian desa sudah menghadapi pengalaman dekat kematian.



Bayangan nasib Kementerian Negara Otonomi Daerah sudah di depan mata. Boleh juga pengalaman dekat kematian itu disikapi apa adanya. Merasakan adanya cahaya terang harapan, merasakan pengalaman terbang meninggalkan tubuh, berjalan memasuki dunia lain, bertemu mahluk rohani, masuk melalui lorong berpilin dengan cahaya terang di ujung lorong, berkomunikasi dengan arwah, semua tentu menyenangkan. Tetapi begitu memasuki kilas balik kisah kehidupan, rasanya hanya ada kehampaan. Uji materi atas produk hukum kementerian baru itu, jika dilakukan, akan dengan segera menggerus jiwanya.





Kalah segalanya


Masalah paling utama adalah kementerian desa, daerah tertinggal dan transmigrasi tidak memiliki dasar untuk berdiri selain peraturan presiden. Layaknya kementerian, dasar yang dibutuhkan adalah undang-undang. Undang-undang desa bukan produk buatan kementerian PDT. Ia adalah produk yang dilahirkan dari konsep bersama DPR dan pemerintah, dalam hal ini kementerian dalam negeri. Kementerian PDT bahkan tidak terlibat sama sekali dalam pembuatan undang-undang itu. Bahkan mengikuti logika UU itu, penangan masyarakat miskin yang ada di desa sama sekali bukan tugas sebuah kementerian tertentu, tetapi tugas seluruh kementerian lembaga.



Dari titik start itu, agak lucu jika kementerian Desa, PDT dan transmigrasi mengklaim berdiri di atas UU Nomor 6 Tahun 2014. Bahwa Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menyatakan : Menteri adalah menteri yang menangani desa” tidak serta merta diartikan bahwa menteri itu adalah Menteri Desa, PDT dan transmigrasi. Karena Pasal 1 angka 16 berhubungan dengan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 3, Pasal 1 angka 13, Pasal 1 angka 14 dan Pasal 1 angka 15. Intinya, desa bukan soal orang miskin yang ditangani. Desa adalah soal komunitas yang berpemerintah, dan itu bukan urusan Menteri Desa, PDT, dan transmigrasi.



Titik lemah kedua adalah persoalan anggaran. Anggaran kementerian PDT Tahun 2014 tidak mencapai sepertiga dari anggaran kementerian dalam negeri dalam menangani desa. Anggaran penanganan desa mencapai 70 persen dari keseluruhan total uang dalam kementerian yang dipimpin Tjahjo Kumolo ini. Sulit dibayangkan bahwa anggaran itu akan dilepas begitu saja kepada sebuah kementerian baru yang sama sekali belum jelas pekerjaannya.



Anggaran besar penanganan desa di lingkungan kementerian dalam negeri tidak berurusan dengan ego sektoral kementerian. Ia berhubungan dengan tugas yang tidak lain adalah urusan. Urusan pemerintahan dalam negeri selaku pembina pemerintahan desa memungkinkan kementerian ini masuk hingga struktur anggaran pendapatan dan belanja desa yang disusun dalam musyawarah pembangunan desa. Masuknya urusan itu tidak dalam konteks mengatur belanja desa, tetapi berkenan dengan prinsip rekognisi dan pembinaan yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.



Apakah kementerian desa, PDT dan transmigrasi dapat melakukannya? Jawabannya tidak. Kementerian desa, PDT dan transmigrasi adalah kementerian teknis yang tugas pembinaan atas objek program di daerah sudah diserahkan kepada pemerintah daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kementerian teknis tidak lagi dapat memberikan bantuan uang langsung kepada masyarakat desa menurut konstruksi Undang-Undang 6 Tahun 2014. Semua bantuan, baik uang maupun program harus melalui pemerintah kabupaten/kota untuk masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebelum diserahkan kepada desa melalui pos bantuan pemerintah.



Solusi


Ada dua tawaran untuk mencegah pengalaman dekat kematian dari Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi. Pertama, nomenklatur kementerian dirubah menjadi Kementerian Pembangunan Perdesaan, Daerah tertinggal dan Transmigrasi. Kedua, memindahkan tugas-tugas pembangunan desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menjadi tugas kementerian itu.



Jika nomenklatur kementerian menjadi Kementerian Pembangunan Perdesaan, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, maka konsentrasi kementerian menjadi jelas yaitu pembangunan pada lokus daerah dan perdesaan tertinggal. Pemetaan daerah dan perdesaan tertinggal ada pada institusi pengelola statistik negara serta institusi perencanaan pembangunan negara. Pekerjaan kementerian menjadi jelas yaitu (1) merancang pembentukan kawasan perdesaan, (2) merancang pembangunan kawasan perdesaan, (3) merancang pembangunan daerah tertinggal, (4) merancang sinkronisasi antar kementerian dalam penanganan daerah tertiggal, (5) merancang pembangunan kawasan transmigrasi, dan (6) merancang pengembangan kawasan transmigrasi.



Tugas itu dapat ditambah menjadi tugas pelayanan dan pengembangan organisasi yang meliputi (1) tugas kesekretariatan kementerian, (2) tugas pendidikan dan pelatihan, (3) tugas pengawasan internal, dan (4) tugas penelitian dan pengembangan.



Dalam hal pembangunan desa, maka tugas yang dipindahkan adalah tugas pembangunan kawasan perdesaan. Pembangunan kawasan perdesaan adalah pembangunan desa yang dilakukan dalam kawasan tertentu. Pemerintah merancang pembentukan kawasan. Pemerintah daerah menentukan lokasi kawasan di daerah. Perencanaan pembangunan kawasan dilakukan oleh kementerian lembaga yang memiliki tugas dan keterlibatan dalam kawasan.



Tugas kementerian baru dengan demikian, adalah mengkoordinir kementerian lembaga yang bekerja dalam kawasan pembangunan yang dirancangnya. Sementara perencanaan pembangunan desa, karena dikerjakan oleh pemerintah desa, tetap berada dalam lingkup pembinaan kementerian dalam negeri.






Sumber : http://ift.tt/1DZmuEd

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz