Suara Warga

Operasi Senyap Pembentukan Kabinet Jokowi

Artikel terkait : Operasi Senyap Pembentukan Kabinet Jokowi

Jokowi sudah resmi jadi presiden RI ke-7 pasca diambil sumpahnya di sidang paripurna MPR hari ini (Senin, 20/10/2014). Salah satu tugas yang harus segera diselesaikannya adalah pembentukan susunan kabinet yang akan menyokong pemerintahannya.

Proses perekrutan kabinet saat ini sedang berlangsung. Jokowi bahkan telah melibatkan KPK dan PPATK. Sejumlah nama sudah diserahkan kepada kedua lembaga ini untuk ditelisik dan hasilnya sudah diterima oleh Jokowi.

Yang menarik, proses perekrutan jajaran kabinet Jokowi ini tidak sepi dari kritik. Ada dua komentar yang barangkali patut kita diskusikan. Pertama, komentar dari Donal Fariz, peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW). Ia menilai proses pembentukan kabinet pada masa pemerintahan SBY lebih baik dibanding presiden terpilih Jokowi (baca linknya di sini) Pertanyaanya, apakah benar begitu?

Sepintas lalu, penilaian Fariz ini memang tidak keliru. Sebab ia menilai dari perspektif transparansi proses pembentukan kabinet Jokowi. Pada saat membentuk postur kabinetnya, SBY secara terbuka memanggil para calon menterinya ke kediamannya di Cikeas, Bogor. Jokowi tidak melakukan hal yang serupa. Wong Solo ini terkesan melakukan “operasi senyap.” Padahal, Jokowi pernah berjanji untuk melakukan seleksi menteri secara terbuka dan partisipatif.

Menurut saya, Fariz terlalu serampangan menilai pembentukan kabinet SBY lebih baik dari Jokowi. Mengapa? Proses rekrutmen ala SBY sebetulnya tidak partisipatif dan melibatkan publik. Fariz mengartikan transparansi itu dalam perspektif yang sempit, bukan substansial. Kalau prosesnya diliput media, dan diketahui oleh publik, lantas itu dinilai transparan. Untuk apa transparan kalau pendapat publik tidak dilibatkan dan jadi bahan pertimbangan?

Proses yang dilakukan Jokowi memang terkesan tertutup. Tetapi, saya kira kita tidak perlu takut. Jokowi sudah melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri rekam jejak 43 calon menterinya. Keterlibatan kedua lembaga yang relatif kredibel ini cukup memberi garansi kualitas anggota kabinet Jokowi nantinya.

Kedua, komentar Wakil Ketua DPR dari Gerindra, Fadli Zon (baca linknya di sini). Ia mengkritik langkah Jokowi melibatkan KPK dan PPATK. “Calon menteri kan hak Presiden. Tidak perlu menunggu KPK lah seharusnya. Itu hak prerogatif Presiden,” ucapnya. Lucunya, iya malah menyebut pelibatan KPK dan PPATK dapat merusak sistem ketatanegaraan. Ini argumen konyol, bukan?

Menurut saya, langkah Jokowi melibatkan KPK dan PPATK patut diapresiasi. Dan yang paling penting, Jokowi benar-benar menggunakan data dan masukan dari kedua lembaga tersebut saat memilih anggota kabinet definitif. Rakyat pasti mengharapkan Jokowi melakukan hal ini. Tetapi, kalau Jokowi mengabaikannya, maka sebenarnya ia sedang menggali kuburannya sendiri. Maukah Jokowi jasdi seperti ini? Mudah-mudahan tidak.




Sumber : http://ift.tt/1ybbqRc

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz