Menyongsong “Wajah Baru” KMSGD JABODETABEK (Jilid 1)
Istilah “Wajah Baru” di sini bisa dimaknai secara harfiah maupun metaforis. Keduanya sama-sama benar. Secara harfiah, Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD) JABODETABEK akan melangsungkan kongres ke-III, di dalamnya ada pemilihan Ketua Umum yang baru (periode 2014-2016), sehingga, muncul wajah baru (sosok baru) yang memimpin KMSGD pada periode selanjutnya. Secara metaforis, melalui sosok Ketua Umum yang baru, KMSGD JABODETABEK memiliki kesempatan untuk melakukan terbosan-terobosan baru guna menciptakan kondisi yang lebih baik lagi, sehingga akan nampak wajah baru KMSGD JABODETABEK.
Hasrat untuk melakukan terobosan-terobosan baru bukan berarti membuang seluruh tradisi lama. Pembaharuan hanya dilakukan pada aspek-aspek yang memang perlu untuk diperbaharui saja dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada saat ini. Oleh karena itu, sosok Ketua Umum yang baru harus mampu menganalisa secara jeli persoalan-persoalan yang ada di dalam KMSGD JABODETABEK agar mampu melakukan pembaharuan secara proporsional. Tentu saja, syarat yang paling utama bagi seorang Ketua Umum untuk menciptakan wajah baru KMSGD JABODETABEK adalah memiliki keberanian untuk melakukan terbosan baru. Sosok Ketua Umum bukan orang yang suka “membebek”/patuh/taklid secara buta kepada orang lain. Ia harus mampu menjadi dirinya sendiri. Ia harus berani mewujudkan ide-ide konstruktif untuk KMSGD JABODETABEK. Ketua Umum harus berjiwa manusia merdeka, bukan wayang atau boneka yang mudah dikendalikan.
Manusia merdeka sama sekali bukan manusia yang tidak mau menerima kritik, saran, masukan, dll. Sama sekali bukan!!! Manusia merdeka adalah manusia yang memiliki idealisme tinggi. Ia akan menerima kritik, saran, masukan, dll. setelah ia mengetahui bahwa itu semua baik bagi organisasi. Jadi, ia memiliki kesadaran terhadap kebijakan-kebijakan yang ia tetapkan. Ia tidak akan bisa didikte oleh orang lain.
Kalau kita mengambil pesan dari syair “Ilir-Ilir” karya Sunan Ampel, maka kita mendapati bahwa seorang pemimpin disimbolkan sebagai “bocah angon” (anak gembala). Artinya, seorang pemimpin harus mampu merangkul dan mengayomi masyarakatnya. Ia harus mengabdikan diri untuk organisasinya, bukan mengabdi untuk dirinya sendiri, bukan mengabdi untuk kelompoknya sendiri. Itu semua akan tercapai hanya ketika seorang pemimpin itu adalah orang yang merdeka, bukan wayang atau boneka yang sudah tentu dimiliki oleh salah satu pihak saja. Mampukan kita menghadirkan sosok yang demikian itu? [ ]
Sumber : http://ift.tt/1ofS516
Hasrat untuk melakukan terobosan-terobosan baru bukan berarti membuang seluruh tradisi lama. Pembaharuan hanya dilakukan pada aspek-aspek yang memang perlu untuk diperbaharui saja dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada saat ini. Oleh karena itu, sosok Ketua Umum yang baru harus mampu menganalisa secara jeli persoalan-persoalan yang ada di dalam KMSGD JABODETABEK agar mampu melakukan pembaharuan secara proporsional. Tentu saja, syarat yang paling utama bagi seorang Ketua Umum untuk menciptakan wajah baru KMSGD JABODETABEK adalah memiliki keberanian untuk melakukan terbosan baru. Sosok Ketua Umum bukan orang yang suka “membebek”/patuh/taklid secara buta kepada orang lain. Ia harus mampu menjadi dirinya sendiri. Ia harus berani mewujudkan ide-ide konstruktif untuk KMSGD JABODETABEK. Ketua Umum harus berjiwa manusia merdeka, bukan wayang atau boneka yang mudah dikendalikan.
Manusia merdeka sama sekali bukan manusia yang tidak mau menerima kritik, saran, masukan, dll. Sama sekali bukan!!! Manusia merdeka adalah manusia yang memiliki idealisme tinggi. Ia akan menerima kritik, saran, masukan, dll. setelah ia mengetahui bahwa itu semua baik bagi organisasi. Jadi, ia memiliki kesadaran terhadap kebijakan-kebijakan yang ia tetapkan. Ia tidak akan bisa didikte oleh orang lain.
Kalau kita mengambil pesan dari syair “Ilir-Ilir” karya Sunan Ampel, maka kita mendapati bahwa seorang pemimpin disimbolkan sebagai “bocah angon” (anak gembala). Artinya, seorang pemimpin harus mampu merangkul dan mengayomi masyarakatnya. Ia harus mengabdikan diri untuk organisasinya, bukan mengabdi untuk dirinya sendiri, bukan mengabdi untuk kelompoknya sendiri. Itu semua akan tercapai hanya ketika seorang pemimpin itu adalah orang yang merdeka, bukan wayang atau boneka yang sudah tentu dimiliki oleh salah satu pihak saja. Mampukan kita menghadirkan sosok yang demikian itu? [ ]
Sumber : http://ift.tt/1ofS516