Suara Warga

Menanti Janji Politik Jokowi

Artikel terkait : Menanti Janji Politik Jokowi

Dalam sistem pemerintahan ember kita, pengingkaran janji politik oleh presiden, gubernur, walikota atau bupati sah-sah saja. Setidaknya itu yang terjadi pasca amandemen UUD 1945. Setinggi apa pun janji yang dibuat, semanis apa pun harapan yang dilontar, terutama pada saat kampanye pilpres/pilkada, di atas kertas tak punya pengaruh apa-apa. Tak ada sanksi embe. Dipenuhi atau diingkari, ditunaikan atau diabaikan, undang-undang memilih diam.

Lihat saja, pada pilpres beberapa waktu lalu, pada saat kampanye Pasangan Jokowi-JK berjanji tidak akan menerapkan Politik Transaksional alias bagi-bagi porsi menteri untuk partai koalisi. Namun, ketika telah ditetapkan menjadi Presiden terpilih, Tim Transisi Pemerintahan Jokowi-JK merekomendasikan sebagian besar nama untuk cabinet Indonesia Hebat berasal dari partai-partai pengusungnya.

Padahal dalam sistem demokrasi langsung, jabatan tersebut merupakan ember dari rakyat. Lewat kontrak politik pemilu, rakyat memberikan haknya untuk menjadi memimpin mereka. Tentu dalam melakukan itu rakyat tak ‘sepenuhnya’ asal-asalan. Segenap janji, pandangan, dan visi-misi yang membangkitkan harapan selalu jadi bahan pertimbangan.

Namun apa yang terjadi tatkala undang-undang tak melindungi kontrak itu? Haruskah rakyat ikhlas menelan pil pahit ketika merasa dikhianati pemerintah? Bagaimana dan dengan cara apa rakyat menagih janji-janji politik? Inilah persoalan yang mesti segera diatasi. Memang terkesan klasik dan sepele. Tetapi dari sinilah kualitas demokrasi, salah satunya, ditentukan.

Pertama, tanpa jaminan undang-undang, kontrak itu sebenarnya tidak benar-benar nyata. Sebatas ember al, tidak substansial. Ini sama saja dengan mengatakan: “bicaralah sepuasnya, berjanjilah sekenanya, lalu tidurlah tanpa beban.” Dengan kata lain, “ ember ” yang diberikan rakyat hanya dijadikan alat pengantar kekuasaan. Sehingga, manifestasi pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat dianggap cerita masa lalu belaka.

Kedua, sebagai konsekuensi dari yang pertama, konsep kedaulatan menjadi kabur (jika tidak ingin dikatakan buyar). Menurut UUD 1945 tentang Kedaulatan, Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan ketentuan ini, berarti pemerintah harus bertanggung jawab kepada rakyat. Namun karena tidak dilengkapi mekanisme pertanggung jawaban, maka kedaulatan rakyat sulit diwujudkan

Apalagi saat ini, telah disyahkan UU Pilkada, yang menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Untuk bagi sebagian kalangan merasa sangat ironis ketika pemilihan langsung oleh dan untuk rakyat menuai banyak masalah, sehingga pemilihan Kepala Daerah harus dikembalikan kepada wakil-wakil rakyat di DPRD. Tapi bagi sebagian besar masyarakat dan kelompok yang merasa menjadi aspirator rakyat, pasal-pasal dalam UU ini dianggap telah mencederai hak konstitusional rakyat.

Perencanaan Pembangunan

Ketidak berdayaan rakyat menuntut penunaian janji pemerintah ternyata berlaku dalam konteks lebih luas. Misalnya, terhadap rencana tindakan pemerintah yang tertuang dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Andai dokumen tersebut diabaikan, terdapat inkonsistensi mencolok, rakyat tak punya hak kecuali meratap saja. Selebihnya ember mustahil.

Disebut ember mustahil karena satu-satunya cara hanyalah meminta pemerintah mundur dari jabatannya. Sementara dari aspek embe perundang-undangan, peng-abai-an tersebut tidak menimbulkan akibat embe. Pertanyaannya: bersediakah seorang pejabat mundur tanpa terjerat masalah embe?

Pemberhentian pejabat pemerintah, seperti presiden dan wakil presiden, diatur dalam undang-undang dasar. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 7A UUD 1945, terdapat enam ember presiden atau wakil presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Yakni: (1) terbukti melakukan pengkhianatan terhadap ember (2) korupsi (3) penyuapan (4) tindak pidana berat lainnya (5) terbukti melakukan perbuatan tercela, dan (6) terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden.

Dari enam ember itu, tak ada satu pun yang menyebut bahwa presiden diberhentikan karena tidak memenuhi janji politik atau tidak menjalankan RPJP dan RPJM. Kondisi ini jelas berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen. Dengan meletakkan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka mekanisme pertanggungjawaban tampak lebih jelas.

MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat punya otoritas meminta pertanggung jawaban presiden selaku mandataris. Kemudian melalui TAP MPR No.III/MPR/1978 khususnya Pasal 4 diatur soal sanksi bagi presiden apabila melanggar Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sanksi tersebut ialah diberhentikan dalam masa jabatannya. Tegas dan committed.

Oleh karena itu, upaya memberi ruang bagi MPR dalam meminta pertanggung jawaban Janji-janji kampanye yang dituangkan dalam visi-misi harus dicatat baik-baik. MPR juga perlu terlibat perumusan perencanaan pembangunan sehingga segenap kebijakan bisa diawasi dan dimintai pertanggungjawaban dilengkap sanksi-sanksi yang tegas.

Ade Budiman

Peneliti Candidate Center




Sumber : http://ift.tt/ZOD77e

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz