Suara Warga

Memaknai Simbolisme Presiden Jokowi

Artikel terkait : Memaknai Simbolisme Presiden Jokowi

1414466098498231339

Banyak hal baru yang ditorehkan dalam sejarah bangsa saat Joko Widodo terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia. Tidak terkecuali saat pengumuman siapa saja yang akan duduk di kabinet. Saya yang sudah siap mandi, dengan kaos yang sudah ditanggalkan, memilih untuk keluar dari kamar mandi. Duduk manis di depan televisi, yang masih bertabung.

Ada rasa optimisme yang terekspresikan saat para menteri yang dipanggil, berlari membuat formasi sejajar dengan Presiden. Lari memang simbol dari Presiden untuk menunjukkan gerak cepat, kerja cepat, dan optimisme yang tinggi. Namun, simbol itu tidak dimiliki Presiden sendiri. Saat pengumuman, ia menstransformasikan simbol itu kepada para menterinya.

Ini penting, karena para menteri adalah perpanjangan tangan dari Presiden. Simbol itu harus menjadi milik para menteri untuk dapat ditransformasikan kembali ke orang-orang di bawah kementeriannya. Supaya impian rakyat Indonesia yang dititipkan kepada Presiden dapat diwujudkan secara konkret.

Simbol tidak sama dengan tanda, walau banyak orang tidak berusaha untuk membedakan keduanya. Tanda berkaitan langsung dengan objek, sedangkan simbol memerlukan proses pemaknaan mendalam dan substantif setelah menghubungkan dia dengan objek. Contohnya: Kalau kita melihat ada gedung dengan salib, kontan kita berkesimpulan gedung itu adalah gereja. Di sini, salib berdiri sebagai tanda. Namun, bagi orang kristen, salib sangat dihormati karena menjadi simbol dari keyakinan mereka.

Dengan kata lain, simbol menghadirkan secara nyata apa yang disimbolkan. Simbol mempunyai makna menghadirkan sesuatu yang ditunjuk oleh simbol itu, sesuatu yang melampaui pemikiran empiris. Ada “roh” pembawa simbol yang hadir nyata dalam apa yang disimbolkannya.

Kembali ke sosok Presiden kita, relevansinya simbol lari yang ditunjukkan oleh Jokowi menjadi jelas. Melalui simbol lari, Presiden Jokowi menghadirkan dirinya atau mengkomunikasikan dirinya yang bergerak cepat, kerja cepat, dan penuh optimisme. Simbol lain, misalnya kemeja putih, maka Presiden Jokowi menghadirkan dirinya yang bersih dan transparan. Nah, simbol ini sudah hadir sangat nyata. Maka para menteri yang ditunjuk harus menginternalisasi dan mentransformasikan simbol tersebut.

Dalam konteks inilah maka di mata saya, tidak relevan ada orang yang meminta Presiden Jokowi untuk berhenti bermain dengan simbol-simbol. Orang tersebut bilang, kalau rakyat akan bosan dan menganggap Presiden hanya melakukan pencitraan. Kritik ini tidak relevan, karena simbol adalah kebutuhan manusia. Presiden dan rakyat, termasuk yang mengkritik, adalah manusia yang butuh simbol untuk mengkomunikasi dirinya.

Bagi saya, persoalan terpenting adalah kejujuran bagi mereka yang menggunakan simbol. Kejujuran dari Presiden Jokowi dalam menghadirkan dirinya dalam simbol yang ia ekspresikan. Kejujuran dari para pembantu Presiden untuk menerima simbol dan melaksanakannya. Simbolisme Presiden harus dibarengai dengan kejujuran dan keterbukaan.

Fenomena Puan Maharani

Kaos yang awalnya melingkar di pundak, saya empaskan ke lantai. Tidak terima melihat cara berjalan Puan Maharani saat dipanggil Presiden Joko Widodo. Saat menteri lain bergegas, ada yang lari lumayan kencang, lari santai, sampai paling tidak jalan cepat. Tapi, yang diperlihatkan Puan kepada publik, adalah ekspresi jalan santai untuk tidak mengatakan amat sangat santai.

Padahal, perempuan yang dipercaya menjadi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia itu didapuk sebagai menteri termuda. Ia lahir di Jakarta 6 September 1973, atau baru 41 tahun.

Ekspresi senada diperlihatkan Puan sesaat sebelum foto bersama pada hari Senin, 27 Oktober 2014. Saat para menteri lainnya berjalan kaki menuju tempat foto bersama, Puan memilih untuk naik mobil golf. Mereka yang naik mobil ada Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla dan para istri, Ketum Megawati Soekarnoputri, dan Ketum Partai NasDem Surya Paloh.

Sekadar info, ia adalah cucu dari Presiden Pertama RI Soekarno dan anak dari Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri. Apakah info ini ada hubungannya dengan sikap Puan di atas?

Bagi saya, sikap jalan santai atau keputusan naik mobil golf yang dilakukan Puan Maharani tidak harus dijadikan bahan tulisan reflektif, sejauh diletakkan di luar simbolisme Presiden Jokowi. Misalnya, Puan jalan santai dari rumahnya menuju warung. Atau Puan suka naik mobil golf saat bermain golf di akhir pekan. Namun, hal ini menjadi mengganjal saat Puan mengkomunikasikan dirinya dalam rangkaian simbolisme Presiden Jokowi yang menjadi sorotan publik.

Nah…mungkin kritik “jangan bermain-main dengan simbol-simbol” cocok dialamatkan kepada Puan Maharani. Karena dia menjadi orang pertama yang akan menjadi simbol Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia.








Sumber : http://ift.tt/1v7DT76

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz