Kontroversi Pertama Presiden Jokowi dan Masalah Sudut Pandang

Apa yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, terbilang ganjil, terutama di mata rival-rival politiknya. Selain juga lantaran faktanya, langkah yang ia tempuh memang terbilang baru, dan nyaris bisa dikatakan belum pernah dilakukan oleh pendahulunya. Tak pelak keputusan-keputusannya yang ibarat jurus pembuka dalam silat yang dilakukan di masa-masa awal kepemimpinannya dinilai kontroversial oleh lawan politiknya. Lalu, apa masalahnya?
Sudut pandang. Ya, itulah yang membuat langkah-langkah Jokowi di awal kepemimpinannya di tampuk kekuasaannya, terlihat oleh sebagian kalangan, utamanya rivalnya sebagai kontroversi. Tak heran tudingan demi tudingan pun seperti peluru yang tak pernah berhenti diberondong ke arahnya.
Syukuran rakyat diterjemahkan oleh kalangan anti-Jokowi sebagai pesta pora di tengah beberapa daerah dalam kekalutan akibat bencana, seperti dialami penduduk sekitar Sinabung, Sumatra Utara. Membaurnya Jokowi dengan ribuan rakyat yang sejenak ingin bergembira di tengah kepenatan mereka atas gonjang-ganjing politik dan masalah hidup mereka sendiri, dinilai sebagai menghabiskan waktu.
Lucunya salah satu media ternama pun memuat pernyataan dari pengamat politik yang entah berasal dari mana, menyebut keputusan Jokowi meneruskan nama-nama calon menteri ke Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai sebagai pelanggaran hukum. Hingga muncul kalimat, belum apa-apa sudah melangkahi hukum.
Pengamat tersebut sama sekali tak melihat iktikad baik dari satu keputusan Jokowi itu. Seakan tak terpikir olehnya, bahwa negeri ini benar-benar sudah sangat dahaga atas kehadiran pejabat pemerintah yang sangat menentukan sekelas menteri, yang bersih, tidak rakus, dan kelak tidak membuta-tuli atas persoalan masyarakat di negerinya.
Entah mereka lupa, atau mereka jarang membaca berita. Masalah listrik saja menjadi persoalan yang seakan tak pernah klimaks. Di banyak daerah, aliran listrik masih menjadi masalah, dan kerap menjadi masalah. Lampu yang nyalanya sangat bergantung kepada energi listrik, mengalami mati-nyala sesuka BUMN yang menanganinya. Sementara komplain menguap begitu saja.
Begitu juga dengan berbagai hal yang berbau administrasi, pengurusan proyek semisal tender, dan berbagai hal sejenisnya, cenderung rumit alih-alih berharap bisa berjalan cepat. Banyak waktu mengurus berbagai hal seperti urusan izin, tersendat-sendat. Belum lagi berlakunya prinsip, ada uang urusan lancar.
Fenomena-fenomena itu terang saja, adalah bagian dari pejabat yang bertanggung jawab di bidangnya, namun kerap dinafikan. Cenderung diremehkan. Masyarakat hanya bisa mengeluh masygul di depan semua keruwetan itu, yang semestinya tak perlu ruwet, agar mereka bisa melakukan berbagai hal lebih cepat.
Di sini Jokowi menginginkan agar pejabat yang ia pilih bukanlah figur yang oportunis, yang menjadikan jabatan sebagai jembatan–untuk berbagai kepentingan pribadi, dan mempersetankan kepentingan khalayak.
Kebencian mendalam, memang layak diumpamakan laiknya kabut yang membuat jalan yang sebenarnya jelas menuju ke mana, tapi seakan hanya bertujuan membawa mereka ke jurang. Sehingga kecurigaan-kecurigaan pun bermunculan.
Sudut pandang itu juga yang membuat mereka–para rival sang presiden–gagal melihat pertemuan Jokowi dengan rakyatnya sebagai bagian apresiasinya terhadap rakyat. Mereka justru menerjemahkan hal itu dengan nada-nada, “Belum apa-apa sudah berpesta”.
Sinisme lantas mengental, merambat, memengaruhi alam pikiran banyak masyarakat, baik yang sebenarnya memahami masalah hingga yang tidak tahu apa-apa.
Sikap sinis dengan kritis dikesankan seolah-olah sama. Padahal kedua hal itu, meski memiliki kesamaan dalam beberapa hal, tapi tentunya terdapat perbedaan yang cukup terang. Jika kritis cenderung objektif dalam melihat berbagai hal, kelebihan dan kekurangan, maka sinis terang saja adalah kebalikan dari itu.
Maka itu, di depan pemerintahan yang baru ini, memang sikap kritis dibutuhkan tak terkecuali bagi para pemilihnya. Agar kelak roda pemerintahan di bawah Jokowi benar-benar tetap berada pada jalur yang mengarah pada tercapainya kepentingan rakyat yang dipimpinnya.
Sementara untuk sikap sinis bukan tak mungkin hanya akan membuat mata merabun untuk melihat jalan mana yang harus ditempuh bersama menuju ke tujuan.
Sinisme kerap memiliki keterkaitan dengan kedengkian. Sementara kedengkian cenderung membuat penderita masalah kejiwaan ini baru akan tersenyum lebar jika yang didengki jatuh atau lenyap sama sekali. Alih-alih ia bisa fokus apa yang menjadi pekerjaan, ia justru dirisaukan dengan orang yang didengki. Lazimnya, pendengki hanya duduk diam terpaku, tak bergairah melakukan apa-apa. Jika begini, yang sedang dijatuhkan bukanlah orang yang dibenci, melainkan menjatuhkan diri ke kuburan ketika napas dirinya sendiri sebenarnya masih berembus. Inilah sebenar-benar kontroversi akibat akal sehat dan nurani lebih dulu dibiarkan mati. (Twitter: @zoelfick)
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/10/23/kontroversi-pertama-presiden-jokowi-dan-masalah-sudut-pandang-697498.html