Indonesia Perlu Densus Antimafia Migas
KARENA ideologinya berbahaya dan aktivitasnya mengancam keselamatan masyarakat, pemerintah kemudian mati-matian memerangi terorisme. Densus 88 Antiteror dibentuk dan digelontorkan dana cukup besar. Satuan pemburu teroris itu dilengkapi SDM terlatih dan peralatan canggih agar mampu mengendus lokasi-lokasi persembunyian para teroris, menangkap para terduga, hingga kewenangan untuk “bertindak tegas”.
Ya, sejak kasus Bom Bali 1, Bom Bali 2, bom bunuh diri di JW Mariott, dan sejumlah kebrutalan lainnya oleh para teroris, isu terorisme merebak “meriah” dalam perbincangan. Aksi-aksi penggerebekan dan bakutembak antara Densus 88 dengan para pelaku teror menjadi laporan utama media massa cetak, senantiasa ter-update di situs-situs berita internet, dan laporan langsung reporter televisi dan radio dari lokasi-lokasi penggerebekan. Sejumlah pelaku hingga terduga terorisme ditangkapi dan dijebloskan ke Nusakambangan.
Dengan segala upaya itu, hingga kini tidak ada jaminan terorisme sudah punah sampai ke akar-akarnya di Indonesia. Tapi setidaknya upaya-upaya yang dilakukan Densus 88 berhasil menekan pergerakan para teroris dan beberapa kali sukses mencegah rencana jahat dan brutal oleh kelompok-kelompok aliran keras tersebut. Terorisme memang harus diberantas tuntas karena ulah mereka menimbulkan ketakutan, cacat permanen, dan trauma mendalam bagi para korban selamat, melukai hati keluarga korban, merampas ketenteraman masyarakat, hingga merusak stabilitas dan perekonomian sebuah daerah hingga negara. Sampai sekarang Densus 88 tetap bekerja secara diam-diam dan sigap memantau sekecil apapun aktivitas teror di berbagai wilayah seantero negeri ini.
Densus antimafia Migas
Tak hanya bahaya terorisme, Indonesia juga berhadapan dengan kejahatan terorganisir lainnya, yakni para mafia. Ada banyak mafia di negeri ini, seperti mafia hukum dan peradilan, mafia lahan, mafia narkoba, mafia perdagangan orang (human trafficking) hingga mafia minyak dan gas (Migas).
Kelompok mafia yang disebutkan terakhir adalah yang harus diperangi pemerintah secara lebih serius dibanding memerangi terorisme. Ya, dalam aksinya, para bandit Migas tidak kejam seperti teroris, tapi sesungguhnya mereka memiliki daya rusak lebih hebat dan lebih luas. Dampaknya menembus menghancurkan masa depan generasi kita.
Selama puluhan tahun para bandit Migas itu mengobok-obok eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara. Ratusan juta penduduk Republik ini menderita oleh rusaknya sendi-sendi perekonomian yang ditimbulkan oleh mafia Migas bersama kaki tangannya. Secara sistematis mereka menyedot ratusan hingga ribuan triliun rupiah uang negara. Bangsa ini dibikin terseok-seok terbelit utang, tak mampu memberikan layanan kesehatan memadai bagi rakyat, tak bisa membiayai pendidikan berkualitas bagi generasi penerus, kesulitan membangun infrastruktur pendukung perekonomian, dan sebagainya.
Fakta tersaji di depan mata kita; masyarakat Indonesia harus hidup melarat di tanah kaya raya, ibu-ibu pergi menjadi buruh migran dan terpaksa meninggalkan keluarga dan anak-anak mereka; anak-anak menjadi generasi bodoh karena tak bisa mengakses pendidikan, orang sakit takut ke pusat-pusat layanan medis karena tak sanggup membayar. Singkatnya, hampir semua kebutuhan dasar tak mampu tercukupi kendati rakyat negeri ini telah bekerja keras jungkir balik sampai nungging sekalipun.
Itu semua tidak akan terjadi bila tidak ada mafia Migas yang berkolaborasi dengan politisi dan pejabat brengsek dan korup, mencuri hak rakyat negeri ini. Bayangkan saja, menurut data yang dipaparkan Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Studies (IMES), Erwin Usman, sebagaimana dilaporkan Kompas.com, para bandit Migas itu mencuri uang negara sedikitnya Rp 37 triliun setahun atau Rp 370 triliun dalam sepuluh tahun terakhir! Itu baru perkiraan minimum.
Maka, belajar dari sukses Densus 88, tampaknya bagus juga kalau ada semacam Densus untuk memerangi para mafia Migas. Berbeda dari Densus 88 Antiteror yang hanya dipercayakan kepada Polri, Densus Antimafia Migas harus melibatkan banyak institusi. Menggabungkan personel dari semua unsur TNI (AD, AU, dan AL), KPK, PPATK, intelijen negara, hingga ahli-ahli Migas. Densus Antimafia ini langsung berada di bawah kendali presiden. Operasional lapangan dipimpin bersama (kolektif) oleh Panglima TNI, Kapolri, Ketua KPK, Ketua PPATK, dan Kepala BIN.
Mengapa harus melibatkan alat-alat negara tersebut. Pertama, mafia Migas memiliki kekuatan sangat besar dan dukungan finansial tak terbatas. Kedua, “daerah operasi” mereka berlangsung dari hulu sampai hilir pada proses produksi Migas, serta ada juga maling “kecil-kecilan” yang beroperasi di tengah laut. Ketiga, bukan tak mungkin jaringan mafia yang telah membentuk kartel itu juga punya pasukan dan persenjataan. Keempat, KPK dan PPATK sebagai pemasok data dan informasi mengenai orang-orang yang patut dicurigai serta aliran dana para anggota hingga dedengkot mafia Migas. Kelima, pelibatan ahli-ahli Migas untuk mengkaji ulang regulasi-regulasi mengenai tata kelola dan tata niaga Migas. Dari sana bisa diketahui regulasi mana saja yang telah tersusupi kepentingan para mafia Migas dan melalui siapa mereka bisa menembus sistem negara, seperti siapa saja anggota legislatif yang disusupkan ke parlemen, siapa saja pejabat eksekutif hasil pengkaderan bandit yang telah (dan akan) disusupkan masuk ke kementerian-kementerian terkait energi dan sumber daya mineral.
Para personel Densus Antimafia Migas ditempatkan di seluruh kilang minyak yang ada dan dirotasi setiap tiga bulan, ditempatkan di atas kapal-kapal pengangkut Migas, dan berpatroli di jalur-jalur yang dilalui kapal-kapal pengangkut Migas. Patroli di lautan, selain oleh TNI AL dan TNI AU, dibantu juga dengan drone (pesawat tanpa awak) yang rencananya akan dibeli Presiden Jokowi untuk memantau seluruh wilayah Indonesia.
Seperti halnya Kehadiran Densus 88 Antiteror, pembentukan Densus Antimafia Migas pun belum tentu mampu membersihkan para bandit itu dari negeri ini. Namun, minimal bisa menekan aktivitas jahat mereka sehingga negara tidak kehilangan lebih banyak seperti yang terjadi saat ini.
Tapi sejujurnya saya sedikit skeptis soal kemauan pemerintah membentuk Densus Antimafia Migas. (*)
Sumber : http://ift.tt/12pfd3b