Suara Warga

Demokrasi bukan Democrazy

Artikel terkait : Demokrasi bukan Democrazy

Usai sudah pesta demokrasi pilpres, yang digantikan dengan pesta egoisme

elit partai yang berhasil memberangus peraturan pemilihan langsung kepala

daerah dan konon isunya peraturan tersebut akan dilanjutkan dengan pemi

lihan presiden periode 2019-2024 yang mungkin menjadi kewenangan MPR

seperti terjadi masa orde baru.

Sebagai seorang manusia yang “buta politik”, saya merasa trenyuh karena

sejak 1998 sampai penghujung tahun 2014 saya menikmati pemilihan lang-

sung oleh rakyat : memilih seorang walikota dengan wakilnya, memilih se -

orang gubernur dengan wakilnya dan puncaknya saya dua kali turut serta

memilih Presiden dan Wakil Presiden dan pilihan saya ternyata cocok.

Sebenarnya apa pun keputusan Koalisi(yang apa pun namanya) bagi saya

sama saja, kecuali mereka dapat membuktikan kesejahteraan menyeluruh

bagi seluruh bangsa Indonesia, bila sebaliknya tentu kurang cocok bila me

reka masih menamakan dirinya tergabung dalam Dewan Perwakilan Rakyat

dan Majelis Pemusyawaratan Rakyat.

Seandainya dengan perubahan iklim politik ternyata tidak membuat rakyat

sejahtera barangkali penamaan tersebut lebih cocok menjadi dewan perwa

kilan elit politik dan majelis permusyawaratan koalisi.

Mengapa demikian ?

Sebab untuk apa menamakan diri sebagai wakil rakyat yang bermusyawa-

rah tetapi sedikit pun tidak mencerminkan kehidupan demokrasi dan kese-

jahteraan bagi seluruh rakyat.

Semoga prediksi saya salah dan Koalisi apa pun sebutannya ternyata tidak

ingkar janji, mengesampingkan egoisme dan keuntungan pribadi, memeliha

ra kerukunan bangsa dan bukan fitnah bagi mereka yang berseberangan

haluan, dan sebaliknya bila demokrasi menjadi terpuruk, jangan-jangan ge

nerasi mendatang tidak akan menemukan istilah kerakyatan demokrasi te-

tapi demo “crazy” !




Sumber : http://ift.tt/1v5r3LP

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz