Suara Warga

Creeping Neoliberalization of the Politics and the State

Artikel terkait : Creeping Neoliberalization of the Politics and the State

Kalau ada bahaya yang kini tengah merangkak di hadapan kita pastilah bukan creeping coup d’êtat (kudeta merangkak), sebab kudeta tertuju kepada pemerintah yang tengah berkuasa. Pemerintah yang kini tengah berkuasa akan segera berakhir dalam hitungan hari, sehingga tiada guna untuk mengkudetanya. Pasangan Capres-Cawapres Terpilih 2014-2019 belum juga berkuasa, sehingga tidak mungkin dikudeta. Kalau ada bahaya yang kini tengah merangkak di hadapan kita, maka itu adalah neoliberalisasi yang tengah merangkak ke dalam arena politik dan ke dalam tubuh negara (creeping neoliberalization the politics and of the state).

Neoliberalisme adalah seperangkat sistem gagasan sekaligus agenda kebijakan yang pada intinya ditandai dengan kepercayaan yang amat kuat terhadap pasar sebagai institusi yang paling efisien dalam pengalokasian sumber-sumber daya ekonomi, di mana individu-individu dipandang sebagai aktor yang rasional pemaksimalisasi kepentingan pribadi dalam suatu arena kompetisi bernama pasar yang diwasiti oleh negara. Sebagai suatu sistem gagasan, neoliberalisme diprakarsai oleh sekelompok ekonom dan ahli hukum Jerman yang disebut sebagai kaum Ordoliberalen pada dekade 1940an. Berbeda dengan liberalisme-klasik yang memandang pasar sebagai institusi yang perkasa dan niscaya, ordoliberalen memandang pasar sebagai “an artificial game of competitive liberty” yang harus dipelihara dan dikawal oleh negara dengan mengerahkan segenap institusi sosial, budaya, dan politik untuk memfasilitasi bekerjanya pasar. Gagasan-gagasan kaum Ordoliberalen kemudian dikembangkan oleh sekelompok akademisi, sosiolog dan ekonom, di University of Chicago sehingga disebut sebagai Chicago School (Gavin Kendall, “From Liberalism to Neoliberalism”, School of Humanities and Human Services, Queensland University of Technology, 2003, hal. 6-8).

Sebagai agenda kebijakan, neoliberalisme mendapatkan momen implementasinya ketika Margaret Thatcher menjadi Perdana Menteri Inggris yang disusul oleh Ronald Reagan di Amerika Serikat, Helmut Kohl di Jerman Barat dan kemudian menyebar ke negara-negara industri maju lainnya. Neoliberalisme menemukan relevansinya tatkala welfare-state dihadapkan pada krisis dalam bentuk beban yang dirasakan makin berat pada sisi pengeluaran anggaran negara (James O’Connor, Fiscal Crisis of the State. New Brunswick, NJ.: Transaction Publishers, 2002). Melambungnya harga minyak pasca-pembentukan OPEC serta arus imigran yang harus dibiayai oleh negara dalam rangka welfare-state adalah pemicu krisis ekonomi riel yang dihadapi oleh negara-negara industri maju ketika itu. There Is No Alternative (TINA)! Demikian semboyan yang dikumandangkan oleh Perdana Menteri Thatcher. Yang dimaksudkan oleh Perdana Menteri Thatcher tentu saja adalah: Tiada pilihan lain selain dari neoliberalisme!

Sesungguhnya, neoliberalisme juga menyangkut format hubungan antara negara, warga-negara, dan perekonomian. Betapa tidak?

Ketika neoliberalisme menggeser welfare-state, hubungan antara negara dan warga-negara pun mengalami reformulasi. Negara tak lagi terlibat aktif dalam mewujudkan kesejahteraan warga-nya. Rolling back of the state adalah salah satu premis dasar dari neoliberalisme. Negara lebih difungsikan sebagai penyedia pra-kondisi yang dibutuhkan oleh pasar untuk bekerja secara optimal. Adapun warga-negara dilihat sebagai individu-individu yang rasional pemaksimalisasi keuntungan pribadi di dalam suatu arena kompetisi bernama pasar yang dikawal dan dipelihara oleh negara.

Dalam rangka rolling back of the state, neoliberalisme memperkenalkan governance yang mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dengan Government. Kalau government ditandai dengan pemisahan yang tegas antara sektor publik dengan sektor privat di mana keduanya berhubungan secara hirarkis dengan supremasi sektor publik; maka governance ditandai dengan meleburnya batas-batas antara sektor publik dan sektor privat di mana keduanya terhubung secara horisontal dalam pola hubungan kontraktual. Dalam konteks government, sektor publik menjalankan fungsi-fungsi alokatif secara imperatif atas jasa-jasa pelayanan publik; sedangkan dalam konteks governance, alokasi jasa-jasa pelayanan publik berlangsung dalam mekanisme public-private partnership dalam pola hubungan kontraktual (Jan Kooiman, Governing as Governance. Thousand Oaks, CA.: Sage Publications, 2003, hal. 4; lihat juga, Gerry Stoker, Governance as Theory: Five Propositions. Malden, MA.: Unesco, 1998).

Governance dikenal di Indonesia dalam rangka good-governance yang diterjemahkan sebagai “tata-kelola yang baik”, suatu terjemahan yang terasa ideologis mengingat adanya unsur yang hilangnya dalam terjermahan itu. Unsur yang hilang itu akan terlihat dengan jelas jika kita menyimak Michael D. Mehta ketika mengatakan: “Good governance is a tool for making organization work more effectively in a world where trust is declining in government, industry, science, and other institutions.” (Michael D. Mehta, “Good Governance”, dalam Mark Bevir, (ed)., Encyclopedia of Governance I. Thousand Oaks, CA.: Sage Publications Inc., 2007, hal. 361). Bahkan, Mark Bevir mencatat betapa: “The new governance seriously questions and erodes representative ideals and institutions” (Mark Bevir, Democratic Governance. Princeton, NJ.: Princeton University Press, 2010, hal. 17).

Pada titik ini kita dapat melihat betapa sinisme bahkan serangan terhadap lembaga-lembaga perwakilan rakyat tampaknya tidak hanya disebabkan oleh buruknya kinerja lembaga-lembaga itu, tetapi juga oleh corak ideologi yang menyertai arus dinamika ekonomi-politik yang tengah mengalir di tengah-tengah kita. Ideologi di sini diartikan sebagai seperangkat sistem gagasan yang membentuk kesadaran individu-individu sehingga menjadi aktor yang sadar dalam suatu tatanan sosial tertentu tentang apa yang ada, apa yang baik, dan apa yang mungkin (Göran Therborn, The Ideology of Power and the Power of Ideology. London: Verso, 1980, hal. 18). Menyangkut konflik antara neoliberalisme dengan demokrasi perwakilan, Mark Bevir lebih jauh menandaskan betapa: “There is no consensus on how to reconcile representative democracy with the new governance”, demikian Mark Bevir (Mark Bevir, Democratic Governance. Princeton, NJ.: Princeton University Press, 2010, hal. 96).

Dalam rangka good-governance, neoliberalisme juga memperkenalkan public-private partnership di mana pihak swasta, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta berbagai segmen civil-society lainnya terlibat dalam pengelolaan sektor-sektor publik dalam pola hubungan yang bercorak kontraktual dengan birokrasi-pemerintahan. Pengelolaan sektor-sektor publik pun diukur dengan logika pasar dan enterpreneurship. Adapun warga-negara dipandang sebagai konsumen jasa-jasa publik yang senantiasa bertindak sebagai individu-individu yang rasional dalam memaksimalkan keuntungan pribadi dalam suatu arena persaingan dalam suasana informasi yang simetris. Hal itu secara gamblang dikemukakan oleh David Osborne & Ted Gaebler dalam buku Reinventing Government: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector (Reading, MA.: Addison-Wesley, 1992), suatu buku yang populer di kalangan eksekutif di negeri ini pada dekade 1990an bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1996).

Sangat menarik betapa desentralisasi, otonomi daerah serta pemilihan kepala-kepala daerah secara langsung oleh warga-negara ternyata adalah necessary conditions bagi suksesnya neoliberalisasi. Rentang jarak yang sedekat mungkin antara warga-negara konsumen jasa-jasan publik dengan sentra decision-making serta partisipasi langsung warga-negara sebagai individu-individu rasional yang paling mengetahui maksimalisasi keuntungan pribadi dipandang sebagai faktor-faktor kunci dalam keberhasilan good-governance dalam konteks hubungan antara negara dan warga-negara (Merilee S. Grindle, Going Local: Decentralization, Democratization and the Promise of Good Governance. Princeton, NJ.: Princeton University Press, 2009). Pada titik ini, kita dapat melihat logika yang mendasari meluasnya resistensi terhadap pilkada oleh DPRD yang kini tengah terjadi di negeri ini.

Adakah neoliberalisasi merupakan kebutuhan dalam konteks hubungan antara negara, warga-negara, dan pengelolaan perekonomian di negeri ini? Pertanyaan ini hendaknya kita jawab dengan mengarahkan perhatian pada dua tingkatan analisis: empiris dan konstitutional

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, neoliberalisasi di negara-negara industri maju adalah reaksi terhadap krisis fiskal yang dihadapi oleh negara sebagai akibat dari implementasi welfare-state. Artinya, keterlibatan negara dalam kehidupan warga-negara dan dalam perekonomian negara-negara industri maju tampaknya telah mencapai titik jenuh, sehingga intervensi tersebut lebih dipahami sebagai masalah dari pada solusi. Tidak demikian halnya yang terjadi di Indonesia, dan barangkali juga di sebagian besar negara-negara berkembang.

Fakta-fakta historis-empiris menyadarkan kita betapa problem mendasar yang dihadapi oleh sebagian terbesar warga-negara di negeri ini sejak dahulu hingga kini adalah minimnya kehadiran institusi negara dalam realitas kehidupan warga-negara, kecuali dalam bentuk kekuasaan berwajah represif. Sementara warga-negara sibuk berkelahi dengan kerasnya kehidupan, negara lebih sibuk melayani dirinya sendiri dan kepentingan para penyelenggara negara sendiri beserta segelintir elit burjuasi yang menjadi kroni-nya. Di antara negara dan warga-negara terdapat jurang yang menganga yang tak kunjung terjembatani hingga kini. Demikian pula, keragaman kondisi sosial-ekonomi, tingkat pendidikan, serta variasi geografis sangat layak diduga betapa kompetisi akan berlangsung dalam suasana asymetric-informations yang pada gilirannya akan menghadirkan unfairness.

Barangkali pertanyaan yang mengemuka adalah: bukankah mekanisme public-private partnership membuka peluang yang seluas-luasnya bagi warga-negara untuk mengambil manfaat? Rumusan yuridis-formal adalah satu hal, sedangkan realitas obyektif adalah hal lain lagi. Dalam kenyataannya, kemampuan berkompetisi sangat bergantung tidak saja pada modal finansial, tetapi juga apa yang disebut sebagai social capital, seperti tingkat pendidikan, akses terhadap jaringan dan informasi, serta sistem nilai dan kerangka kelembagaan. Oleh karena itu, jika kita memahami kompetisi pada aras realitas obyektif, hampir dapat dipastikan betapa sebagian terbesar warga-negara tidak mempunyai modal sosial yang cukup untuk melibatkan diri ke dalam public-private partnership! Pihak-pihak yang mampu melibatkan diri dalam mekanisme public-private partnership terbatas pada kaum burjuasi pemilik perusahaan dan kaum elit terdidik, yakni para aktivis LSM, para akademisi, dan para peneliti baik di lembaga-lembaga riset pemerintah maupun lembaga-lembaga riset swasta.

Bukankah sebagian dari mekanisme public-private partnership ditujukan untuk memberdayakan segmen masyarakat yang lemah? Barangkali secara metaforis dapat digambarkan betapa pemberdayaan masyarakat dalam kerangka public-private partnership bagai mengajari anak itik untuk berenang di tengah kolam berisi air panas. Persoalan yang dihadapi oleh anak itik dalam situasi seperti itu bukanlah bagaimana caranya berenang, melainkan lebih pada air panas di dalam kolam yang membahayakan tubuh dan kehidupannya. Demikian pula, persoalan riel yang dihadapi oleh masyarakat bawah tidaklah terutama soal bagaimana caranya melakukan pekerjaan, melainkan lebih pada iklim sosial-ekonomi yang tidak bersahabat.

Pada tingkatan konstitusional hendaknya kita ingat betapa the founding fathers kita merumuskan UUD 1945 dalam suasana pemihakan terhadap gagasan welfare-state. Betapa tidaka? Pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyatakan: “…untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, …………….., maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia…” Oleh karena itu, neoliberalisme adalah hal yang incompatible dengan gagasan bernegara yang dianut oleh Pembukaan UUD 1945. Jika demikian halnya, segala bentuk neoliberalisasi di Indonesia adalah hal yang inkonstitusional sehingga: hanya ada satu kata, LAWAN!




Sumber : http://ift.tt/1061ZHR

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz