Aceh Kembali Digugat
`
Pemekaran Provinsi Aceh menjadi dua provinsi lainnya, yaitu Provinsi Aceh Lauser Antara (ALA) dan Provinsi Aceh Barat Selatan (Abas) mencuat lagi. Hal ini merupakan rencana Forum Bersama (Forbes) anggota Dewan Pimpinan Rakyat dan Dewan Pimpinan Daerah RI asal Aceh untuk mengagendakan usulan pemekaran kepada legislatif dan eksekutif di pusat. Forbes yang diketuai Muhammad Nasir Jamil, politisi dari praksi PKS ini beralasan bahwa pemekaran ALA dan ABAS di samping menyahuti aspirasi masyarakat yang sudah massif tersebut juga untuk mempercepat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sekadar kilas balik, isu pemekaran terakhir digemakan ketika tokoh-tokoh masyarakat dari enam kabupaten/kota di Aceh, yaitu Aceh Tenggara, Gayo Lues, Subulussalam, Aceh Singkil, Bener Meriah dan Aceh Tengah menghadiri satu seminar di Medan pada sabtu 12 Januari 2013 yang diselenggarakan oleh Komisi Perencanaan Pemekaran Provinsi Aceh Lauser Antara (KP3ALA). Sebelumnya juga usaha para tokoh dari wilayah itu untuk menggugat pemekaran Aceh ketika menjelang Pemilu 2009 lalu pun, pernah puluhan tokoh dari wilayah Abas dan ALA berbarengan datang ke Jakarta dengan hajatan mengawal pembahasan RUU pemekaran dalam sidang paripurna DPR-RI. Padahal, saat itu pemerintah Aceh di bawah pimpinan Gubernur Irwandi Yusuf, baru saja melantik seorang tokoh sentral pemekaran ALA Iwan Gayo sebagai Ketua Komite Percepatan Pembangunan daerah Tertinggal (KP2DT).
Semangat otonomi yang digulir sejak reformasi, memang sangat memungkinkan mewacanakan pemekaran. Landasan hukum untuk pemekaran daerah di Indonesia adalah UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2007 yang mengatur tentang pemekaran wilayah, maka lahirnya provinsi seperti ALA dan Abas sebagai satu keniscayaan dan legitimate. Hingga Desember 2008 telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 173 kabupaten, dan 35 kota. Dengan demikian, kini ada 524 daerah otonom di Indonesia, yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Hanya dalam konteks Aceh, pemekaran ini telah melahirkan pro-kontra. Sebab selain bertentangan Pasal 3 UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) mengenai batas wilayah Aceh, juga bertentangan dengan semangat damai yang sedang berlangsung. Malah untuk melahirkan sebuah wilayah baru di Aceh dengan UU, prosesnya sangat berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, sebab dalan Pasal 8 UUPA dijelaskan bahwa apabila ada usulan sebuah UU baru yang ingin dibahas di DPR RI, terutama terkait masalah Aceh maka DPR RI harus berkonsultasi dulu dengan DPRA. Termasuk jika ada usulan inisiatif dari anggota DPR RI yang akan membahas UU pemekaran wilayah ALA maka harus berkonsultasi dan harus mendapat pertimbangan dari DPRA, hal itulah yang akan menjadi kendala bagi kelompok pengusul pembentukan ALA melalui jalur inisiatif DPR RI.
Bagi yang pro, pemekaran provinsi Aceh merupakan harapan masyarakat dari kedua wilayah ini yang sudah lama diperjuangkan. Perjuangan ini menjadi amat relevan dengan kondisi masyarakat saat ini, dirasakan masih berlanjutnya ketimpangan pembangunan dan kesejahteraan rakyat di wilayah ini dibanding daerah-daerah lain di Aceh. Namun upaya pemekaran wilayah itu juga tidak akan bisa menjamin kesejahteraan bagi masyarakatnya melainkan akan lahir raja-raja baru yang akan bertakhta di sana. Menurut mereka pemekaran Aceh bukanlah kata mati. Alasan yang dimunculkan masih juga alasan-alasan klasik seperti karena faktor geografis, karena letaknya jauh dari ibukota provinsi sehingga membuat kedua wilayah itu memiliki keterbelakangan, prasarana yang tidak memadai, diskriminasi, buruknya pelayanan, dan kompetensi pejabat dan lain-lain. Menurut saya, alasan-alasan tersebut tidak semua bisa dipertanggungjawabkan. Sebab secara kasat mata saya melihat bahwa pembangunan infrastruktur di wilayah ini begitu menonjol dibandingkan dengan beberapa wilayah bagian utara dan timur Aceh. Mengenai kompetensi pejabat, di jajaran pemerintah Aceh juga banyak pejabat eselon dari kedua wilayah ini.
Menurut saya jumlah pejabat dari wilayah tersebut di jajaran Pemerintah Aceh jauh lebih banyak dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Terkait dengan diskriminasi, pemerintah sekarang mempunyai visi dan misi mewujudkan rakyat Aceh yang berkeadilan. Kehadiran pemerintahan Aceh baru bukan untuk melanggengkan ketimpangan pembangunan masa lalu di Aceh, justru akan memperbaiki situasi timpang itu sesuai dengan visi Aceh baru dalam keadilan. Ada alasan yang sangat mengkhawatirkan di awal-awal ide pemekaran dicetuskan, yaitu kecendrungan memekarkan Aceh karena perbedaan etnis dan kultur. Beberapa daerah di wilayah ini harus diakui memang memiliki etnis dan kultur berbeda, sehingga menjadi spirit untuk sebuah daerah otonom. Kalau alasan ini juga menjadi satu dorongan pemekaran, maka diyakini konflik horizontal akan terjadi di bumi Aceh. Tanpa bermaksud menghambat, tuntutan pemekaran ALA dan Abas saat ini belum tepat waktunya, karena Aceh baru saja keluar dari konflik panjang. Suasana damai baru saja dinikmati rakyat, maka percepatan pembangunan di wilayah ini sejatinya mesti mendapat prioritas demi untuk meredam gejolak pemekaran. Melibatkan masyarakat dalam pembangunan memang tidak dapat dinafikan, dan merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk membangkitkan rasa memiliki rakyat terhadap segala aspek kebijakan dari pemerintah aceh.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf fokus utamanya adalah pembangunan infrastruktur termasuk jalan wilayah ALA. Sementara di wilayah Abas, soal pembangunan infrastrukturnya sudah tuntas yang ditandai dengan diresmikannya penggunaan Jembatan Kuala Bubon oleh Gubernur Aceh pada 7 Januari 2013 lalu yang dibangun Multi-Donor Funds bersama tiga paket proyek pelebaran jalan dari Teunom-Meulaboh sepanjang 50 Km. Dalam kaitan itu, pemerintah sudah seharusnya melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan. Penglibatan rakyat merupakan suatu proses kesadaran untuk pembangunan sehingga masalah mereka akan disesuaikan dengan kebijakan pembangunan. Dan fokus pembangunan wilayah ALA dan Abas yang tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah menjadi satu solusi untuk meredam gejolak pemekaran. Walaupun pemekaran wilayah adalah aspirasi masyarakat dan mendapat legitimasi, pertanyaannya adalah; Apakah memang tuntutan pemekaran ALA dan Abas itu juga merupakan aspirasi keseluruhan rakyat dari wilayah itu atau hanya segelintir petualang politik saja? Sebab, selama ini rakyat selalu menjadi tumbal bagi segolongan elite politik yang ada di aceh.
Banda Aceh, 16 Oktober 2014
RAHMATSYAH
Sumber : http://ift.tt/1rfjvPe
Pemekaran Provinsi Aceh menjadi dua provinsi lainnya, yaitu Provinsi Aceh Lauser Antara (ALA) dan Provinsi Aceh Barat Selatan (Abas) mencuat lagi. Hal ini merupakan rencana Forum Bersama (Forbes) anggota Dewan Pimpinan Rakyat dan Dewan Pimpinan Daerah RI asal Aceh untuk mengagendakan usulan pemekaran kepada legislatif dan eksekutif di pusat. Forbes yang diketuai Muhammad Nasir Jamil, politisi dari praksi PKS ini beralasan bahwa pemekaran ALA dan ABAS di samping menyahuti aspirasi masyarakat yang sudah massif tersebut juga untuk mempercepat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sekadar kilas balik, isu pemekaran terakhir digemakan ketika tokoh-tokoh masyarakat dari enam kabupaten/kota di Aceh, yaitu Aceh Tenggara, Gayo Lues, Subulussalam, Aceh Singkil, Bener Meriah dan Aceh Tengah menghadiri satu seminar di Medan pada sabtu 12 Januari 2013 yang diselenggarakan oleh Komisi Perencanaan Pemekaran Provinsi Aceh Lauser Antara (KP3ALA). Sebelumnya juga usaha para tokoh dari wilayah itu untuk menggugat pemekaran Aceh ketika menjelang Pemilu 2009 lalu pun, pernah puluhan tokoh dari wilayah Abas dan ALA berbarengan datang ke Jakarta dengan hajatan mengawal pembahasan RUU pemekaran dalam sidang paripurna DPR-RI. Padahal, saat itu pemerintah Aceh di bawah pimpinan Gubernur Irwandi Yusuf, baru saja melantik seorang tokoh sentral pemekaran ALA Iwan Gayo sebagai Ketua Komite Percepatan Pembangunan daerah Tertinggal (KP2DT).
Semangat otonomi yang digulir sejak reformasi, memang sangat memungkinkan mewacanakan pemekaran. Landasan hukum untuk pemekaran daerah di Indonesia adalah UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2007 yang mengatur tentang pemekaran wilayah, maka lahirnya provinsi seperti ALA dan Abas sebagai satu keniscayaan dan legitimate. Hingga Desember 2008 telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 173 kabupaten, dan 35 kota. Dengan demikian, kini ada 524 daerah otonom di Indonesia, yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Hanya dalam konteks Aceh, pemekaran ini telah melahirkan pro-kontra. Sebab selain bertentangan Pasal 3 UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) mengenai batas wilayah Aceh, juga bertentangan dengan semangat damai yang sedang berlangsung. Malah untuk melahirkan sebuah wilayah baru di Aceh dengan UU, prosesnya sangat berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, sebab dalan Pasal 8 UUPA dijelaskan bahwa apabila ada usulan sebuah UU baru yang ingin dibahas di DPR RI, terutama terkait masalah Aceh maka DPR RI harus berkonsultasi dulu dengan DPRA. Termasuk jika ada usulan inisiatif dari anggota DPR RI yang akan membahas UU pemekaran wilayah ALA maka harus berkonsultasi dan harus mendapat pertimbangan dari DPRA, hal itulah yang akan menjadi kendala bagi kelompok pengusul pembentukan ALA melalui jalur inisiatif DPR RI.
Bagi yang pro, pemekaran provinsi Aceh merupakan harapan masyarakat dari kedua wilayah ini yang sudah lama diperjuangkan. Perjuangan ini menjadi amat relevan dengan kondisi masyarakat saat ini, dirasakan masih berlanjutnya ketimpangan pembangunan dan kesejahteraan rakyat di wilayah ini dibanding daerah-daerah lain di Aceh. Namun upaya pemekaran wilayah itu juga tidak akan bisa menjamin kesejahteraan bagi masyarakatnya melainkan akan lahir raja-raja baru yang akan bertakhta di sana. Menurut mereka pemekaran Aceh bukanlah kata mati. Alasan yang dimunculkan masih juga alasan-alasan klasik seperti karena faktor geografis, karena letaknya jauh dari ibukota provinsi sehingga membuat kedua wilayah itu memiliki keterbelakangan, prasarana yang tidak memadai, diskriminasi, buruknya pelayanan, dan kompetensi pejabat dan lain-lain. Menurut saya, alasan-alasan tersebut tidak semua bisa dipertanggungjawabkan. Sebab secara kasat mata saya melihat bahwa pembangunan infrastruktur di wilayah ini begitu menonjol dibandingkan dengan beberapa wilayah bagian utara dan timur Aceh. Mengenai kompetensi pejabat, di jajaran pemerintah Aceh juga banyak pejabat eselon dari kedua wilayah ini.
Menurut saya jumlah pejabat dari wilayah tersebut di jajaran Pemerintah Aceh jauh lebih banyak dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Terkait dengan diskriminasi, pemerintah sekarang mempunyai visi dan misi mewujudkan rakyat Aceh yang berkeadilan. Kehadiran pemerintahan Aceh baru bukan untuk melanggengkan ketimpangan pembangunan masa lalu di Aceh, justru akan memperbaiki situasi timpang itu sesuai dengan visi Aceh baru dalam keadilan. Ada alasan yang sangat mengkhawatirkan di awal-awal ide pemekaran dicetuskan, yaitu kecendrungan memekarkan Aceh karena perbedaan etnis dan kultur. Beberapa daerah di wilayah ini harus diakui memang memiliki etnis dan kultur berbeda, sehingga menjadi spirit untuk sebuah daerah otonom. Kalau alasan ini juga menjadi satu dorongan pemekaran, maka diyakini konflik horizontal akan terjadi di bumi Aceh. Tanpa bermaksud menghambat, tuntutan pemekaran ALA dan Abas saat ini belum tepat waktunya, karena Aceh baru saja keluar dari konflik panjang. Suasana damai baru saja dinikmati rakyat, maka percepatan pembangunan di wilayah ini sejatinya mesti mendapat prioritas demi untuk meredam gejolak pemekaran. Melibatkan masyarakat dalam pembangunan memang tidak dapat dinafikan, dan merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk membangkitkan rasa memiliki rakyat terhadap segala aspek kebijakan dari pemerintah aceh.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf fokus utamanya adalah pembangunan infrastruktur termasuk jalan wilayah ALA. Sementara di wilayah Abas, soal pembangunan infrastrukturnya sudah tuntas yang ditandai dengan diresmikannya penggunaan Jembatan Kuala Bubon oleh Gubernur Aceh pada 7 Januari 2013 lalu yang dibangun Multi-Donor Funds bersama tiga paket proyek pelebaran jalan dari Teunom-Meulaboh sepanjang 50 Km. Dalam kaitan itu, pemerintah sudah seharusnya melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan. Penglibatan rakyat merupakan suatu proses kesadaran untuk pembangunan sehingga masalah mereka akan disesuaikan dengan kebijakan pembangunan. Dan fokus pembangunan wilayah ALA dan Abas yang tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah menjadi satu solusi untuk meredam gejolak pemekaran. Walaupun pemekaran wilayah adalah aspirasi masyarakat dan mendapat legitimasi, pertanyaannya adalah; Apakah memang tuntutan pemekaran ALA dan Abas itu juga merupakan aspirasi keseluruhan rakyat dari wilayah itu atau hanya segelintir petualang politik saja? Sebab, selama ini rakyat selalu menjadi tumbal bagi segolongan elite politik yang ada di aceh.
Banda Aceh, 16 Oktober 2014
RAHMATSYAH
Sumber : http://ift.tt/1rfjvPe