Walkout Tematik, Permainan Partai Mercy di Tikungan Akhir
Etape akhir dalam penyusunan RUU Pilkada, berakhir anti klimaks dengan voting. Penentu kemenangan dalam pengambilan keputusan tersebut adalah Partai Biru besutan SBY. Berkat dukungan melalui mekanisme walkout yang dilakukan, dengan berbekal alasan tidak diakomodirnya opsi ketiga atas usulan untuk melakukan 10 perubahan mendasar dari pelaksanaan Pilkada langsung, anggota dewan dari Partai Demokrat pun melenggang keluar arena.
Arah angin yang sempat dihembuskan dengan memberikan ilustrasi bahwa SBY adalah produk dari hasil Pilpres langsung ternyata nihil, membalikan posisi yang kemudian memenangkan opsi Pilkada melalui DPRD. Sesungguhnya hal ini merupakan bentuk dari permainan terakhir dimana partai ini menjadi penentu kemenangan karena kuantitasnya yang besar direpresentasi kursi legislative.
Rapat yang berlangsung hingga lewat tengah malam itu, menuai hasil yang berbeda dengan harapan banyak pihak, dari 550 anggota dewan, sebanyak 486 yang hadir, menhasilkan voting dengan komposisi Pilkada langsung 135, via DPRD 226, dan abstain 0 sehingga bertotal 361 suara untuk keputusan Pilkada menggunakan restu DPRD.
Sesungguhnya esensi pilihan langsung maupun tidak, tetap tidak memberikan jaminan akan kualitas kepemimpinan, namun ruang tersebut dapat direduksi dengan melibatkan partisipasi public sebagai upaya memangkas jarak kesenjangan antara pemimpin dengan yang dipimpinnya. Maklum saja, persepsi public tidak dapat dibohongi, lembaga legislative merupakan sarang multikepentingan yang terkadang tidak mengutamakan kehendak masyarakat.
Ibarat kata, Anda adalah gambaran dari siapa teman Anda, maka pilihan yang dapat dihasilkan melalui pemilihan kepala daerah lewat restu DPRD jelas memberikan gambaran suram akan kualitas kepemimpinan. Padahal, prinsip pemilihan telah diperluas, dalam aspek pemilih dapat dipermudah dengan basis kartu identitas, sementara pada aspek subjek yang dipilih diakseptasi opsi jalur independen, jadi bila proses pemilihan dikembalikan ke DPRD, tentu pasal-pasal tersebut menjadi mubazir.
Benar bahwa banyak kasus yang terjadai berkenaan dengan pimpinan hasil Pilkada langsung, tetapi tidak serta merta hal tersebut membuktikan kegagalan system tersebut, karena kita perlu mengapresiasi kerja keras KPK dan pada hasil akhirnya kita perlu bertanya seleksi kader dalam partai politik yang memajukan kandidat pasangan calon.
Bila melalui pemilihan langsung, kasus korupsi begitu banyak dan disebut menyebabkan anggaran Pilkada menjadi tidak efisien, maka format pemilihan sebaiknya dievaluasi bukan menghilangkan prinsip dasar pemilihan yang disepakati. Harapan akan pemilihan langsung kepala daerah adalah memberikan kesempatan kepada calon yang berkualitas untuk berkarya bagi kepentingan masyarakat didaerah, karena itu prinsip popularitas dan electabilitas menjadi ukuran pun termasuk visi kepemimpinan.
Karena sekali lagi, pemimpin yang tidak berjarak membentuk kebersamaan, menjalin persepsi akan perasaan yang senasib sepenanggungan, dan hal tersebut menjadi penting dalam memajukan pembangunan secara bersama antar seluruh elemen daerah yang berkepentingan bagi kemajuan local itu sendiri. Kali ini kita melihat drama sad-ending ditikungan akhir dari permainan politik yang mengatas-namakan kepentingan public.
Sumber : http://ift.tt/YebBOH
Arah angin yang sempat dihembuskan dengan memberikan ilustrasi bahwa SBY adalah produk dari hasil Pilpres langsung ternyata nihil, membalikan posisi yang kemudian memenangkan opsi Pilkada melalui DPRD. Sesungguhnya hal ini merupakan bentuk dari permainan terakhir dimana partai ini menjadi penentu kemenangan karena kuantitasnya yang besar direpresentasi kursi legislative.
Rapat yang berlangsung hingga lewat tengah malam itu, menuai hasil yang berbeda dengan harapan banyak pihak, dari 550 anggota dewan, sebanyak 486 yang hadir, menhasilkan voting dengan komposisi Pilkada langsung 135, via DPRD 226, dan abstain 0 sehingga bertotal 361 suara untuk keputusan Pilkada menggunakan restu DPRD.
Sesungguhnya esensi pilihan langsung maupun tidak, tetap tidak memberikan jaminan akan kualitas kepemimpinan, namun ruang tersebut dapat direduksi dengan melibatkan partisipasi public sebagai upaya memangkas jarak kesenjangan antara pemimpin dengan yang dipimpinnya. Maklum saja, persepsi public tidak dapat dibohongi, lembaga legislative merupakan sarang multikepentingan yang terkadang tidak mengutamakan kehendak masyarakat.
Ibarat kata, Anda adalah gambaran dari siapa teman Anda, maka pilihan yang dapat dihasilkan melalui pemilihan kepala daerah lewat restu DPRD jelas memberikan gambaran suram akan kualitas kepemimpinan. Padahal, prinsip pemilihan telah diperluas, dalam aspek pemilih dapat dipermudah dengan basis kartu identitas, sementara pada aspek subjek yang dipilih diakseptasi opsi jalur independen, jadi bila proses pemilihan dikembalikan ke DPRD, tentu pasal-pasal tersebut menjadi mubazir.
Benar bahwa banyak kasus yang terjadai berkenaan dengan pimpinan hasil Pilkada langsung, tetapi tidak serta merta hal tersebut membuktikan kegagalan system tersebut, karena kita perlu mengapresiasi kerja keras KPK dan pada hasil akhirnya kita perlu bertanya seleksi kader dalam partai politik yang memajukan kandidat pasangan calon.
Bila melalui pemilihan langsung, kasus korupsi begitu banyak dan disebut menyebabkan anggaran Pilkada menjadi tidak efisien, maka format pemilihan sebaiknya dievaluasi bukan menghilangkan prinsip dasar pemilihan yang disepakati. Harapan akan pemilihan langsung kepala daerah adalah memberikan kesempatan kepada calon yang berkualitas untuk berkarya bagi kepentingan masyarakat didaerah, karena itu prinsip popularitas dan electabilitas menjadi ukuran pun termasuk visi kepemimpinan.
Karena sekali lagi, pemimpin yang tidak berjarak membentuk kebersamaan, menjalin persepsi akan perasaan yang senasib sepenanggungan, dan hal tersebut menjadi penting dalam memajukan pembangunan secara bersama antar seluruh elemen daerah yang berkepentingan bagi kemajuan local itu sendiri. Kali ini kita melihat drama sad-ending ditikungan akhir dari permainan politik yang mengatas-namakan kepentingan public.
Sumber : http://ift.tt/YebBOH