Sore tadi sepulang…
Sore tadi sepulang sholat jumat di masjid di kota Ames, Iowa, saya berjalan menyusuri rumah-rumah penduduk di kota kecil ini. Kebetulan cuaca sedang bagus, pikirku. Dalam perjalanan pulang itu, mataku tertuju pada tiga poster yang terpajang rapi didepan sebuah rumah. Awalnya saya mengira mungkin ini poster untuk mempromosikan rumah dibalakang poster itu. Ternyata bukan. Tiga gambar kecil itu adalah poster-poster kampanye calon anggota senat yang akan maju mewakili negara bagian Iowa ke gedung putih. Ya, sebentar lagi (November 2014) akan diadakan pemilihan anggota senat yang biasanya diadakan dua tahun sekali. Poster tersebut berukuran kecil, bahkan sangat kecil jika dibandingkan bagaimana caleg-caleg di Indonesia berkampanye hingga memasang baliho setinggi rumah. Mereka mendesain cukup dengan rwarna agak nyentrik agar bisa terbaca (eye-catching). Poster itupun cukup ringan untuk ditancapkan ditanah tanpa penyanggah, dan yang paling penting, tidak merusak baik tanaman maupun keindahan kota.
Selain itu, ada lagi yang menarik dari poster-poster tersebut. Nama Bbruce Braley’ di poster terdepan itu, tidak asing bagi kami mahasiswa Indonesia di Iowa ini. Hampir setiap kali membuka youtube, iklan yang paling sering muncul adalah tentang si Bruce Braley itu. Tapi jangan salah, iklan tersebut bukannya mempromosikan Bruce Braley, tetapi justru memojokkannya dengan membuka ‘aib-aib’nya selama menjadi anggota senat mewakili rakyat Iowa. Tujuan iklannya, mungkin agar masyarakat diberi informasi pembanding sebelum memilih dia di senat mendatang, atau agar sekedar membuka kran kritis masyarakat terhadap Braley. Dengan cara seperti itu, publik dapat berpartisipasi dalam menilai politisi yang akan dipilih. Tidak sekedar memilih kucing dalam karung.
Beberapa waktu lalu, RUU Pilkada akhirnya disahkan menjadi UU. Pemilihan kepala daerah tingkat gubernur hingga bupati kini dilakukan di DPRD, tidak lagi oleh masyarakat. Keputusan yang menuai cukup banyak pro-kontra. Kubu pro pilkada melalui Dewan (yang umumnya pendukung Prabowo di pilpres lalu), beralasan bahwa pemilihan dengan cara ini bisa menghemat anggaran pemilu yang semakin membengkak. Sementara kubu pro pemilihan langsung (utamanya pendukung Jokowi), berdalih bahwa UU Pilkada ini merampas hak politik rakyat. Saya secara pribadi, beranggapan bahwa sebenarnya rakyat tidak mempersoalkan sistem politik yang kita anut, mau itu pilkada langsung, tidak langsung, atau kalau mau kembali ke jaman kerajaan sekalian. Tapi tentu dengan satu catatan penting, sistem yang dianut mesti bisa membawa kesejahteraan bagi mereka. Sebab mustahil berdiskusi tentang politik jika perut sedang kosong. Memang, disatu sisi saya agak khawatir. Saya membayangkan bagaimana nasib pemimpin-pemimpin berprestasi yang lahir dari rahim ‘non-partai’ seperti Ridwan Kamil, Risma, Nurdin Abdullah, David Bobihue, dll, yang akan bersaing cukup ketat dengan calon yang merupakan anggota partai yang memiliki kendaraan politik. Tapi disatu sisi, saya juga mengakui bahwa pilkada selama ini juga tidak dapat dikatakan sempurna. Toh banyak juga produk-produk pemilihan langsung yang akhirnya ‘tewas’ di tangan KPK. Ibarat makan buah simalakama memang.
Membersihkan DPRD dari Luar
Namun, palu sudah diketuk. Kita kini memiliki dua opsi. Opsi pertama, turun kejalan sebagaimana gerakan-gerakan dahulu, melakukan protes, pressure, dan menghimpun people power, atau opsi lain, kita menerima dan mencoba memperbaiki dengan membersihkan DPRD. (belakangan ada opsi ketiga yaitu menggugat ke MK).
Ya, kita bisa melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang di Iowa seperti contoh diatas. Ada kawan saya yang berpendapat, bahwa DPRD diisi oleh orang-orang buruk itu karena kesalahan rakyat juga. Kenapa memilih yang buruk. Waktu itu saya hanya menjawab, rakyat tidak salah. Selama ini informasi mengenai mana caleg yang baik dan mana yang buruk, seringkali tidah utuh kepada mereka. Mereka seakan mesti memilih kucing dalam karung. Dan ketika mereka menolak memilih, mereka dipaksa dengan ancaman ‘golput haram’, tidak nasionalis, dsb. Padahal jika dilihat trennya, tingkat golput memang semakin menanjak. Oleh karena itu, kita bisa memperbaiki melalui titik ini. Yaitu dengan semangat spartan, kita mesti fokus untuk melacak keberadaan orang-orang baik di penjuru negeri, memotivasi mereka untuk mau maju mewakili kita, lalu sekuat tenaga memperkenalkan ke masyarakat seluas-luasnya. Hal terakhir ini perlu dilakukan, mengingat kebanyakan orang-orang baik tidak memiliki wadah untuk sosialisasi. Media-media besar dimiliki oleh orang-orang kaya. Namun, belajar dari pilpres kemarin, ternyata kekuatan sosial media yang dimotori relawan tidak kalah hebat dibanding media yang sudah punya nama. Bahkan, umumnya sosial media memiliki jangkauan yang lebih luas dibanding media lainnya. Di Amerika, popularitas Obama terdongkrak oleh sosial media, baik melalui facebook, twitter, hingga youtube. Relawan benar-benar memanfaatkan fasilitas yang tersedia untuk memperkenalkan calonnya.
Namun, mendapatkan orang saja tidak cukup. Sebab untuk maju, seseorang butuh kendaraan politik. Untuk itu memang dibutuhkan ‘political will’ dari partai. Sebab, gerakan orang-orang baik diluar partai mesti conncet dan berkesinambungan dengan orang-orang baik diinternal partai. Tidak semua orang dalam partai itu kotor. Tuhan itu Maha adil.
Membersihkan DPRD dari Dalam
Disisi lain, kita masih mengaharap pembersihan dapat dilakukan oleh kawan-kawan di partai yang masih berfikir jernih. Dapat dikatakan, salah satu faktor yang mengakibatkan kotornya DPRD itu disebabkan oleh internal partai yang masih sering gagal menghasilkan kader yang memang bermanfaat bagi rakyat. Kader-kader partai yang baik mesti kritis baik kepada partainya sendiri. Bahkan, jika bisa lebih keras kritisnya kepada sejawat partainya dibanding partai lainnya. Bukanklah Rasulullah pernah memberi contoh, “Jika Fatimah mencuri, saya sendiri yang akan memotong tangannya”. Orang-orang partai juga mesti seperti itu. Jika perlu, partai mesti memiliki sanksi tegas kepada anggotanya yang melanggar hukum. Bukan hanya sekedar dikeluarkan. Untuk kampanye hitam dan money politics misalnya, selama ini, partai begitu semangatnya mengawasi kecurangan yang dilakukan lawan-lawannya. Padahal, jika ingin menjadi partai yang baik, berilah contoh kepada masyarakat. Sosialisasikan bagaimana mekanisme partai dalam mengawasi kecurangan kampanye anggotanya sendiri.
Ringkasnya, harapan untuk mendapatkan anggota dewan yang bermutu tidak akan pupus hanya karena UU Pilkada ini. Yang paling penting adalah apa aksi kita kedepan dalam mengantisipasi dampak dari keputusan ini. Toh, ketika kita memiliki banyak anggota dewan yang bermutu dan benar-benar bertanggung jawab, kita tidak akan lagi mempermasalahkan siapa pemimpin kita. Karena dengan pemimpin yang baik, perut sudah kenyang.
Catatan:
Penulis bukan pengamat politik, bukan pula simpatisan salah satu partai politik. Sama sekali bukan. Penulis hanya masyarakat Indonesia biasa yang sedang menempuh studi di Iowa State University jurusan Pertanian.
Sumber : http://ift.tt/YnQg5w
Selain itu, ada lagi yang menarik dari poster-poster tersebut. Nama Bbruce Braley’ di poster terdepan itu, tidak asing bagi kami mahasiswa Indonesia di Iowa ini. Hampir setiap kali membuka youtube, iklan yang paling sering muncul adalah tentang si Bruce Braley itu. Tapi jangan salah, iklan tersebut bukannya mempromosikan Bruce Braley, tetapi justru memojokkannya dengan membuka ‘aib-aib’nya selama menjadi anggota senat mewakili rakyat Iowa. Tujuan iklannya, mungkin agar masyarakat diberi informasi pembanding sebelum memilih dia di senat mendatang, atau agar sekedar membuka kran kritis masyarakat terhadap Braley. Dengan cara seperti itu, publik dapat berpartisipasi dalam menilai politisi yang akan dipilih. Tidak sekedar memilih kucing dalam karung.
Beberapa waktu lalu, RUU Pilkada akhirnya disahkan menjadi UU. Pemilihan kepala daerah tingkat gubernur hingga bupati kini dilakukan di DPRD, tidak lagi oleh masyarakat. Keputusan yang menuai cukup banyak pro-kontra. Kubu pro pilkada melalui Dewan (yang umumnya pendukung Prabowo di pilpres lalu), beralasan bahwa pemilihan dengan cara ini bisa menghemat anggaran pemilu yang semakin membengkak. Sementara kubu pro pemilihan langsung (utamanya pendukung Jokowi), berdalih bahwa UU Pilkada ini merampas hak politik rakyat. Saya secara pribadi, beranggapan bahwa sebenarnya rakyat tidak mempersoalkan sistem politik yang kita anut, mau itu pilkada langsung, tidak langsung, atau kalau mau kembali ke jaman kerajaan sekalian. Tapi tentu dengan satu catatan penting, sistem yang dianut mesti bisa membawa kesejahteraan bagi mereka. Sebab mustahil berdiskusi tentang politik jika perut sedang kosong. Memang, disatu sisi saya agak khawatir. Saya membayangkan bagaimana nasib pemimpin-pemimpin berprestasi yang lahir dari rahim ‘non-partai’ seperti Ridwan Kamil, Risma, Nurdin Abdullah, David Bobihue, dll, yang akan bersaing cukup ketat dengan calon yang merupakan anggota partai yang memiliki kendaraan politik. Tapi disatu sisi, saya juga mengakui bahwa pilkada selama ini juga tidak dapat dikatakan sempurna. Toh banyak juga produk-produk pemilihan langsung yang akhirnya ‘tewas’ di tangan KPK. Ibarat makan buah simalakama memang.
Membersihkan DPRD dari Luar
Namun, palu sudah diketuk. Kita kini memiliki dua opsi. Opsi pertama, turun kejalan sebagaimana gerakan-gerakan dahulu, melakukan protes, pressure, dan menghimpun people power, atau opsi lain, kita menerima dan mencoba memperbaiki dengan membersihkan DPRD. (belakangan ada opsi ketiga yaitu menggugat ke MK).
Ya, kita bisa melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang di Iowa seperti contoh diatas. Ada kawan saya yang berpendapat, bahwa DPRD diisi oleh orang-orang buruk itu karena kesalahan rakyat juga. Kenapa memilih yang buruk. Waktu itu saya hanya menjawab, rakyat tidak salah. Selama ini informasi mengenai mana caleg yang baik dan mana yang buruk, seringkali tidah utuh kepada mereka. Mereka seakan mesti memilih kucing dalam karung. Dan ketika mereka menolak memilih, mereka dipaksa dengan ancaman ‘golput haram’, tidak nasionalis, dsb. Padahal jika dilihat trennya, tingkat golput memang semakin menanjak. Oleh karena itu, kita bisa memperbaiki melalui titik ini. Yaitu dengan semangat spartan, kita mesti fokus untuk melacak keberadaan orang-orang baik di penjuru negeri, memotivasi mereka untuk mau maju mewakili kita, lalu sekuat tenaga memperkenalkan ke masyarakat seluas-luasnya. Hal terakhir ini perlu dilakukan, mengingat kebanyakan orang-orang baik tidak memiliki wadah untuk sosialisasi. Media-media besar dimiliki oleh orang-orang kaya. Namun, belajar dari pilpres kemarin, ternyata kekuatan sosial media yang dimotori relawan tidak kalah hebat dibanding media yang sudah punya nama. Bahkan, umumnya sosial media memiliki jangkauan yang lebih luas dibanding media lainnya. Di Amerika, popularitas Obama terdongkrak oleh sosial media, baik melalui facebook, twitter, hingga youtube. Relawan benar-benar memanfaatkan fasilitas yang tersedia untuk memperkenalkan calonnya.
Namun, mendapatkan orang saja tidak cukup. Sebab untuk maju, seseorang butuh kendaraan politik. Untuk itu memang dibutuhkan ‘political will’ dari partai. Sebab, gerakan orang-orang baik diluar partai mesti conncet dan berkesinambungan dengan orang-orang baik diinternal partai. Tidak semua orang dalam partai itu kotor. Tuhan itu Maha adil.
Membersihkan DPRD dari Dalam
Disisi lain, kita masih mengaharap pembersihan dapat dilakukan oleh kawan-kawan di partai yang masih berfikir jernih. Dapat dikatakan, salah satu faktor yang mengakibatkan kotornya DPRD itu disebabkan oleh internal partai yang masih sering gagal menghasilkan kader yang memang bermanfaat bagi rakyat. Kader-kader partai yang baik mesti kritis baik kepada partainya sendiri. Bahkan, jika bisa lebih keras kritisnya kepada sejawat partainya dibanding partai lainnya. Bukanklah Rasulullah pernah memberi contoh, “Jika Fatimah mencuri, saya sendiri yang akan memotong tangannya”. Orang-orang partai juga mesti seperti itu. Jika perlu, partai mesti memiliki sanksi tegas kepada anggotanya yang melanggar hukum. Bukan hanya sekedar dikeluarkan. Untuk kampanye hitam dan money politics misalnya, selama ini, partai begitu semangatnya mengawasi kecurangan yang dilakukan lawan-lawannya. Padahal, jika ingin menjadi partai yang baik, berilah contoh kepada masyarakat. Sosialisasikan bagaimana mekanisme partai dalam mengawasi kecurangan kampanye anggotanya sendiri.
Ringkasnya, harapan untuk mendapatkan anggota dewan yang bermutu tidak akan pupus hanya karena UU Pilkada ini. Yang paling penting adalah apa aksi kita kedepan dalam mengantisipasi dampak dari keputusan ini. Toh, ketika kita memiliki banyak anggota dewan yang bermutu dan benar-benar bertanggung jawab, kita tidak akan lagi mempermasalahkan siapa pemimpin kita. Karena dengan pemimpin yang baik, perut sudah kenyang.
Catatan:
Penulis bukan pengamat politik, bukan pula simpatisan salah satu partai politik. Sama sekali bukan. Penulis hanya masyarakat Indonesia biasa yang sedang menempuh studi di Iowa State University jurusan Pertanian.
Sumber : http://ift.tt/YnQg5w