Suara Warga

Sangsi Sosial bagi Partai Pendukung RUU Pilkada via DPRD

Artikel terkait : Sangsi Sosial bagi Partai Pendukung RUU Pilkada via DPRD

Pasca Pilpres 2014 peta politik terbelah dua, semakin panas. Koalisi merah-putih terus melakukan serangan menggoyang koalisi partai pemenang Pilpres yang dipimpin PDI Perjuangan. Kini, RUU Pilkada langsung vs Pilkada melalui mekanisme DPRD sedang digodog dan terjadilah dua kubu yang menginginkan tetap dipilih secara langsung dan menginginkan dipilih melalui dewan perwakilan.

Urgensi dari RUU Pilkada ini apa? tentu kepentingan rakyat yang harus diutamakan, tapi benarkah kebijakan untuk memilih kepala daerah melalui mekanisme DPRD merupakan pertimbangan untuk kepentingan rakyat? Dengan alasan untuk menghemat anggaran negara dan mencegah terjadinya politik transaksional sehingga berakibat pada terjadinya banyak korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah terpilih. Selain itu disinyalir sangat rawan konflik horizontal dan hasil Pilkada banyak berakhir di Mahkamah Konstitusi.

Ada pepatah “memburu satu tikus di rumah malah dengan rumahnya dibakar” ini kira-kira gambaran kekeliruan yang sering dilakukan para pengambil kebijakan di negeri ini. Dan akibat dari kekeliruan pengambilan kebijakan itu yang dikorbankan adalah rakyat banyak, lalu apa korelasinya dengan persoalan yang lagi hot-hotnya saat ini, benarkah kebijakan koalisi merah-putih berdasarkan niat yang lurus untuk membenahi kondisi bangsa ini atau ada udang di balik RUU Pilkada tersebut.

Undang-undang Pilkada langsung telah melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas seperti Jokowi-Ahok untuk DKI Jakarta, Risma Walikota Surabaya, Ridwan Kamil Walikota Bandung, Bima Aria Walikota Bogor, Ganjar Gubernur Jawa Tengah dan banyak lagi produk dari Pilkada langsung melahirkan pemimpin progresif pilihan rakyat.

Sepuluh tahun atau dua periode UU Pilkada Langsung, tentu masih banyak yang harus diperbaiki, seperti yang disampaikan Presiden terpilih Joko Widodo yang menolak RUU Pilkada melalui mekanisme DPRD tidak melibatkan rakyat. Presiden menilai seharusnya yang diperbaiki itu bagaimana supaya hemat atau bagaimana supaya tidak terjadi korupsi dengan memperbaiki sistem yang ada, malah yang terjadi kemunduran demokrasi, “masa Presidennya dipilih langsung sementara Gubernur dan Bupati/Walikotanya dipilih DPRD” kira-kira seperti itu pernyataan Pak Presiden.

Ada banyak kepala daerah yang menolak RUU Pilkada melalui DPRD diantaranya Wali Kota Bandung Ridwan Kamil padahal beliau diusung oleh Partai Gerindra sebagai pemimpin koalisi merah-putih yang menginginkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, juga Basuki Tjacahaya Purnama yang juga kader Gerindra dan diusung Gerindra untuk menjadi Wakil Gubernur DKI berpasangan dengan Jokowi. Bahkan Ahok sapaan akrabnya menentang keras kebijakan partainya sendiri, yang berujung pada ancaman pengunduran dirinya dari Partai Gerindra menjadi perseteruan panas antara Ahok dengan para pemimpin partainya.

Pernyataan Ahok yang lugas menolak RUU tersebut disampaikan dengan gayanya yang keras, Ahok berpendapat kalau dipilih melalui DPRD tidak mungkin beliau terpilih dan 2017 tidak mungkin bisa mencalonkan lagi. Karena kalau dipilih oleh DPRD tidak usah kerja cukup dengan melakukan service para anggota DPRD yang harus dibiayai oleh eksekutif. Pernyataan yang mengejutkan, RUU ini dibuat dengan dalih untuk menghemat anggaran tapi pada dasarnya lebih parah lagi menjadi media transaksi politik bagi para elite anggota DPRD untuk menyandra calon kepala daerah sebelum dan sesduahnya.

Terlepas dari kepentingan apa dibelakangnya rakyat sudah cerdas dan tahu siapa sebenarnya yang benar-benar berdiri dibalik kepentingan rakyat dan siapa yang bersembunyi sebalik otoritas partai politik. Rakyat akan sangat gampang melakukan sangsi sosial bagi partai yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan tunggulah lima tahun ke depan partai-partai yang melukai rakyat akan ambruk dengan sendirinya.

Wallahu’alam.

Ch.A




Sumber : http://ift.tt/1xHsYrO

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz