Suara Warga

RUU PILKADA bukan wewenang MK

Artikel terkait : RUU PILKADA bukan wewenang MK

RUU Pilkada memasuki tahap kedua yakni pengambilan keputusan ditingkatan komisi padan tanggal 23 September nanti, dan pengesahan pada tanggal 29 September 2014. Berdasarkan Panja RUU Pilkada semua sudah clear yakni pemilihan kepala daerah bakal dipilih oleh anggota DPR.

Nah kalau RUU pilkada ini mulus disahkan maka ada yang berpendapat akan menggugat ke MK. Sesungguhnya kalau kita lihat keputusan MK No.97/PUU-XI/2013 yang telah mengabulkan semua permohonan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) tentang kewenangan Mahkama Konstitusi sudah sangat jelas dan gamblang. Diperkuat lagi komentar anggota Hakim konstitusi Patrialis “RUU Pilkada sesungguhnya sudah sangat jelas di Putusan MK No.97 yakni MK tidak berhak menangani perkara Pilkada karena Pilkada bukan pemilihan UMUM seperti yang diamanatkan didalan UUD 1945.

Jika kita kembali melihat awal pembentukan Mahkamah Konstitusi, sangat jelas bahwa yang menjadi tugasutama Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dan kewenangan-kewenangan lainnya ialah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, seperti yang di atur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Berdasarkan amanat Konstitusi pada BAB VIIB tentang Pemilihan Umum, Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa: “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presidendan Dewan Perwakilan Daerah”,dalam hal ini penyelenggaraan Pemilu yangdiatur dalam konstitusi tidak menyebutkan untuk memilih kepala daerah. Sementara tentang pemilihan kepala daerah dalam UUD 1945, dituliskan pada BAB yang berbeda, yaitu BAB IV tentangPemerintahan Daerah, pada Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Artinya konstitusi sendiri tidak memasukkan Pemilihan KepalaDaerah kedalam bab yang mengatur tentang Pemilu.Dapat dikatakan pemilihan kepala daerah (Pemilukada) tidak tergolong dalam rezim Pemilu.Itu sebabnya dalam Pasal22E ayat (2) UUD 1945 tidak memasukan frasa kepala daerah dalam BAB Pemilihan Umum.Sehinggapada awal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) kewenangan untuk menangani sengketa Pemilukadadiserahkan kepada Mahkamah Agung, dan saat itu Mahkamah Konstitusi masih terus fokus pada kewenangannya dalam menguji UU terhadap UUD 1945. Baru kemudian, setelah munculnya UU Nomor22 Tahun 2007 sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah ke dalam rezim Pemilu yang terdapat pada Pasal1 ayat (4) Ketentuan Umum berbunyi: Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kemudian dilakukanlah perubahan hingga munculah UU Nomor12Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undangini penanganan sengketa pemilukada telah dialihkan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Peralihan kewenangan penyelesaian sengketa tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 236C yang menyatakan bahwa: Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Yang ditindaklanjuti dengan dibuatnya nota kesepahaman (MoU) pada tahun 2008 tentang pelimpahan kewenangan penanganan penyelesaian sengketa Pemilukadadari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi. Sementara dalam UU Mahkamah Konstitusi (UU Nomor24 Tahun 2003 dan perubahannya UU Nomor8 Tahun 2011), tidak ada frasa yang menambahkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili terhadap perkara sengketa pemilihan kepala daerah. Namun penambahan kewenangan itu diatur dalam Pasal29 ayat (1) huruf e UU Nomor48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dikatakan bahwa “kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang ”. Kemudian terdapat frasa tentang penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penjelasan dari Pasal29 ayat (1)

huruf e yang mengatakan bahwa kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ”,yang menjadi legal standingpara Pemohon perselisihan hasil kepala daerah. Implikasi dari pengalihan kewenangan itulah yang kemudian memaksa Mahkamah Konstitusi berbagi fokus antara wewenang yang diberikan UUD 1945, terutama pengujian Undang-Undang, dengan ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa Pemilukadayang diatur dalam UU Nomor24 Tahun 2003 pada Pasal78 huruf ayaitu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Mahkamah Konstitusi. Awalnya Mahkamah Konstitusi hanya cukup menangani sengketa Pemilu Presiden dan DPR, DPD dan DPPRD untuk 5 (lima) tahun sekali, semenjak dilimpahkannya kewenangan terhadap penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum tersebut, saat ini Mahkamah Konstitusi jadi disibukan oleh penanganan penyelesaian PHPU secara rutin terus menerus. Banyaknya gugatan yang masuk, akibat penyelenggaraan pemilihan kepala daerahyang tidak serentak yang membuat Mahkamah Konstitusi disibukan oleh perkara Pemilukadadan sempitnya waktu sidang 14 (empat belas) hari membuat Mahkamah Konstitusi tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa kasus sengketa Pemilukada, dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memainkan kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di Mahkamah Konstitusi, karena itu akan menjadi upayanya yang pertama dan yang terakhir dalam mencari keadilan. Uraian tentang kewenangan penyelesaian perselisihan tentang pemilihan kepala daerah yang kemudian masuk dalam ruang lingkup Mahkamah Konstitusi akandijelaskan secara rinci dalam alasan para Pemohon. Seperti yang telah dijelaskan di atas, maka para Pemohonmenganggap bahwa penambahan ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi terhadap penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah akibat munculnya Pasal 236C UU Nomor12Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 antara lain:

dalam ketentuan ini termasuk

Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” Pasal 22Eayat (2) yang berbunyi: Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan RakyatDaerah”. Pasal 24Cayat (1) yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Sehingga permohonan terhadap pengujian Pasal 236C UU Nomor12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman ditujukan terhadap Pasal 1 ayat (3) Pasal 22Eayat (2), Pasal 24Cayat(1) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hubungan itu maka Pemohon, memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mengabulkan permohonan para Pemohontersebut.

1.Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Keempat UUD 1945 menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalamingkunganperadilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. 2.Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Keempat UUD 1945 menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.

Oleha karena itu jika DPR mengesahkan maka RUU Pilkada Konstitusional.





Sumber : http://ift.tt/1xWzTNW

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz