RUU PILKADA: Berkaca Dari Referendum di Skotlandia
Dalam hitungan beberapa hari kedepan, RUU PILKADA akan di sahkan atau justru di batalkan di tingkat parlemen. Proses menuju pengesahan tersebut sangat berliku dan memunculkan suara-suara sumbang dan pro. Memang sudah menjadi budaya negeri ketika menyelesaikan sebuah isu selalu di isi oleh debat-debat kusir tanpa sebuah diskusi yang ilmiah dan independen. Terlihat jelas perumusan RUU PILKADA ini sarat akan kepentingan politik sehingga memunculkan banyak polemik.
Tepat sehari yang lalu sebuah negara nan jauh di sana telah berhasil melakukan sebuah referendum secara damai. Referendum yang ada telah menghasilkan Skotlandia akan tetap tergabung dalam kerajaan Inggris. Penetapan ini juga serta merta tetap memantapkan posisi kerajaan di kalangan Scottish. Secara harfiah referendum ini memang tidak bisa begitu saja di samakan dengan pemilihan daerah secara langsung di negeri ini, akan tetapi kita bisa sedikit mencontoh bagaimana proses yang berlangsung saja.
Referendum jika di ukur dalam skala tentu lebih tinggi levelnya dari PILKADA karena referendum berarti adalah pemisahan dari negara induk. Pemisahan tersebut akan membuat Skotlandia akan berpisah dari induknya yang sudah berlangsung selama 300 tahun lamanya. Sementara PILKADA adalah memilih pemimpin di setiap daerah sebagai asas dari desentralisasi. Tapi saya menyoroti bagaimana proses penetapan referendum di negara Eropa Barat tersebut.
Penetapan referendum Skotlandia sudah di mulai sejak tahun 2012. Dari tahun tersebut hingga tepat pada masa pemungutan suara di tahun 2014 hampir tidak ada berita kekerasan yang terjadi, riak kecil yang muncul bisa di selesaikan di meja diskusi secara arif. Jika di lihat dari demografinya, orang Skotlandia sebenarnya adalah orang keras dan kolot. Di abad ke 17, bangsa Skotlandia sering di sebut bangsa bar-bar oleh sejumlah kalangan anglo-saxon. di era modern bisa di ambil contoh dari kehidupan sepak bola mereka seperti pertemuan Glasgow Celtics dengan Glasgow Rangers dan di sebut old firm Derby yang selalu menyulut kekerasan secara fisik. Aneh ketika peristiwa referendum yang menentukan masa depan justru tidak ada kekerasaan yang terjadi namun hal ini sangat perlu di apresiasi sebagai bentuk kedewasaan politik.
Bagaiaman PILKADA langsung di Indonesia? Bagi saya masih cukup kacau, banyak sengketa yang berujung kekerasaan dan pemimpin yang di hasilkan tak melulu dekat dengan rakyat dan bebas korupsi. Sepintas memang saya kurang setuju dengan PILKADA langsung karena kedewasaan demokrasi yang tidak dimiliki bangsa kita. Saya rasa perlu ada sitem pendewasaan berpolitik untuk bangsa kita namun tidak dengan cara PILKADA langsung. Dalam beberapa aspek saya cukup setuju dengan PILKADA oleh DPRD karena meminimalisir sengketa hingga biaya. Akan tetapi bisa di jamin juga kah jika PILKADA oleh DPRD akan bebas dari politik transsaksional dan pemimpinya juga dapat berkualitas?
Saya bermimpi jika dalam penetapan PILKADA langsung atau tidak ini kita bisa meniru bagaiaman dengan proses referendum di Skotlandia. Tidak ada kekerasan yang sering terjadi dalam sengketa pemilukada, korupsi yang merebak saat terpilih dan ada bagi-bagi proyek saat menjabat. Mimpi saya membesar lagi dengan berharap adanya badan-badan riset independen yang di biayai oleh pemerintah untuk mendalami bagaiamana PILKADA langsung itu berjalan dalam lima tahun belakang. Penelitian yang ada akan menghasilkan data berapa sengketa PILKADA yang berujung kekerasan, korupsi oleh pejabat terpilih dan juga prestasi yang di hasilkan oleh pemimpin yang terpilih. Jika hal-hal tersebut dapat di wujudkan saya cukup yakin tidak ada debat kusir dan proses yang ada dalam pengesahan dapat damai dan lancar seperti di referendum Skotlandia.
Sumber : http://ift.tt/1mkeyJj
Tepat sehari yang lalu sebuah negara nan jauh di sana telah berhasil melakukan sebuah referendum secara damai. Referendum yang ada telah menghasilkan Skotlandia akan tetap tergabung dalam kerajaan Inggris. Penetapan ini juga serta merta tetap memantapkan posisi kerajaan di kalangan Scottish. Secara harfiah referendum ini memang tidak bisa begitu saja di samakan dengan pemilihan daerah secara langsung di negeri ini, akan tetapi kita bisa sedikit mencontoh bagaimana proses yang berlangsung saja.
Referendum jika di ukur dalam skala tentu lebih tinggi levelnya dari PILKADA karena referendum berarti adalah pemisahan dari negara induk. Pemisahan tersebut akan membuat Skotlandia akan berpisah dari induknya yang sudah berlangsung selama 300 tahun lamanya. Sementara PILKADA adalah memilih pemimpin di setiap daerah sebagai asas dari desentralisasi. Tapi saya menyoroti bagaimana proses penetapan referendum di negara Eropa Barat tersebut.
Penetapan referendum Skotlandia sudah di mulai sejak tahun 2012. Dari tahun tersebut hingga tepat pada masa pemungutan suara di tahun 2014 hampir tidak ada berita kekerasan yang terjadi, riak kecil yang muncul bisa di selesaikan di meja diskusi secara arif. Jika di lihat dari demografinya, orang Skotlandia sebenarnya adalah orang keras dan kolot. Di abad ke 17, bangsa Skotlandia sering di sebut bangsa bar-bar oleh sejumlah kalangan anglo-saxon. di era modern bisa di ambil contoh dari kehidupan sepak bola mereka seperti pertemuan Glasgow Celtics dengan Glasgow Rangers dan di sebut old firm Derby yang selalu menyulut kekerasan secara fisik. Aneh ketika peristiwa referendum yang menentukan masa depan justru tidak ada kekerasaan yang terjadi namun hal ini sangat perlu di apresiasi sebagai bentuk kedewasaan politik.
Bagaiaman PILKADA langsung di Indonesia? Bagi saya masih cukup kacau, banyak sengketa yang berujung kekerasaan dan pemimpin yang di hasilkan tak melulu dekat dengan rakyat dan bebas korupsi. Sepintas memang saya kurang setuju dengan PILKADA langsung karena kedewasaan demokrasi yang tidak dimiliki bangsa kita. Saya rasa perlu ada sitem pendewasaan berpolitik untuk bangsa kita namun tidak dengan cara PILKADA langsung. Dalam beberapa aspek saya cukup setuju dengan PILKADA oleh DPRD karena meminimalisir sengketa hingga biaya. Akan tetapi bisa di jamin juga kah jika PILKADA oleh DPRD akan bebas dari politik transsaksional dan pemimpinya juga dapat berkualitas?
Saya bermimpi jika dalam penetapan PILKADA langsung atau tidak ini kita bisa meniru bagaiaman dengan proses referendum di Skotlandia. Tidak ada kekerasan yang sering terjadi dalam sengketa pemilukada, korupsi yang merebak saat terpilih dan ada bagi-bagi proyek saat menjabat. Mimpi saya membesar lagi dengan berharap adanya badan-badan riset independen yang di biayai oleh pemerintah untuk mendalami bagaiamana PILKADA langsung itu berjalan dalam lima tahun belakang. Penelitian yang ada akan menghasilkan data berapa sengketa PILKADA yang berujung kekerasan, korupsi oleh pejabat terpilih dan juga prestasi yang di hasilkan oleh pemimpin yang terpilih. Jika hal-hal tersebut dapat di wujudkan saya cukup yakin tidak ada debat kusir dan proses yang ada dalam pengesahan dapat damai dan lancar seperti di referendum Skotlandia.
Sumber : http://ift.tt/1mkeyJj