Reformasi Partai dan Kesejahteraan Rakyat
Di dalam negara yang tengah berada di alam demokrasi, eksistensi partai politik merupakan fondasi bagi berjalannya demokrasi agar sistem demokrasi tersebut mampu mengubah kehidupan rakyat sesuai dengan harapannya. Dengan kata lain, dalam alam demokrasi adanya partai politik berfungsi sebagai wadah dari harapan, keinginan, dan aspirasi rakyat terkait kehidupannya sehari-hari untuk di wujudkan menjadi kebijakan publik. Partai diharapkan mampu mengubah harapan dan aspirasi rakyat menjadi platform dan program politiknya serta menjalankannya saat ia memenangkan proses pemilihan dan menduduki pemerintahan. Disinilah esensi dari demokrasi dapat terwujud yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Tanpa adanya partai politik yang demikian, proses demokrasi hanya sekedar ritual tanpa arti berbentuk pemilihan umum rutin 5 tahun sekali. Di lain sisi, proses demokrasi yang berjalan tak berefek apapun bagi kehidupan publik dan masyarakat luas. Demokrasi di reduksi hanya kegiatan coblos-mencoblos secara nasional. Demokrasi yang demikian hanya mampu mencapai tingkat prosedural, namun tak substansial. Demokrasi yang hanya menghadirkan kesenangan sesaat, namun berbahaya dalam jangka panjang. Karena hanya akan menambah kemuakan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap aparatur negara yang tak mampu memberikan jaminan sosial dan penghidupan yang layak bagi warganya yang pada akhirnya dapat membawa bangsa ini pada kekacauan.
Untuk itu, adanya Partai Politik yang cakap dan cepat dalam menangkap harapan dan aspirasi rakyat merupakan syarat mutlak bagi masa depan demokrasi dan bagi kesejahteraan masyarakat kita. Namun sangat disayangkan, partai politik yang ada di negeri ini sekarang tak mampu menempatkan dirinya sebagai representasi rakyat. Partai hanya hadir di saat pemilihan umum hendak di mulai, selebihnya hanya menjadi ladang peternakan para “komprador” mengais ekonomi rente. Hal ini diakibatkan karena masih bercokolnya budaya feodalisme di dalam tubuh partai politik kita, yang sebenarnya tidak sesuai dengan alam demokrasi. Kepemimpinan partai hanya berpusat pada tokoh-tokoh tertentu, bergantung pada sosok segelintir elit ternama dan sanak famili serta kerabat di sekitarnya. Inilah yang membuat demokrasi kita berada di dalam “kemandulan”. Demokrasi yang setengah hati, yang masih dalam bayang-bayang kepemimpinan feodalisme.
Demokrasi yang demikian hanya mampu meningkatkan kesejahteraan segelintir orang. Partai politik seakan-akan terpisah dari masyarakat, seakan hanya milik segelintir orang yang mempunyai mobilitas modal terkuat serta orang yang mempunyai kedekatan dan kekerabatan dengan elit atau tokoh tertentu di dalam partai. Partai sebagai pilar demokrasi justru tidak mempraktekan sikap-sikap demokratis. Rekruitmen anggota partai hanya bersandar pada mobilitas modal dan kekerabatan. Bukan pada kompetensi dan integritas. Sehingga banyak orang-orang partai yang berkualitas rendah namun menduduki posisi-posisi penting dalam aparatur pemerintahan. Hal ini kemudian berefek pada rendahnya kualitas kebijakan publik yang di hasilkan oleh aparatur pemerintahan. Dan tak dapat dielakan, banyaknya aparatur negara yang tak mampu menjalankan perannya dengan baik hanyalah sebuah akibat dari partai politik yang tak mampu menjalankan perannya pula sebagai penyambung aspirasi rakyat.
Hal yang paling menyedihkan dari itu, lembaga penyelenggara negara justru hanya dijadikan “sapi perah” oleh sejumlah elit-elit partai. Program-program pembangunan pemerintah hanya menjadi “ladang proyek” bagi elit-elit partai untuk mengais rezeki demi kepentingan pribadinya dan untuk mempertahankan kekuasaannya di arena politik mendatang. Dan mau tak mau, kepentingan publik dan hajat hidup orang banyak di korbankan hanya demi kepentingan sempit para elit-elit partai ini. Partai politik hanya mewakili kepentingan segelintir elit dan orang-orang terdekatnya, tidak mengindahkan aspirasi rakyat. Aspirasi dan harapan masyarakat berhenti hanya sebatas “jargon” semata untuk meraih dukungan di proses pemilihan umum. Proses demokrasi yang demikian, justru merupakan proses “depolitisasi”, sama halnya dengan menjauhkan masyarakat dari proses politik yang sebenarnya. Semakin lama masyarakat akan enggan untuk ikut berpartisipasi dalam proses politik selanjutnya, masyarakat lama-kelamaan akan sadar bahwa dirinya sekedar diperalat untuk mendulang suara. Dan tak dapat di nafikan bahwa ketidakpedulian politis kini mulai menjadi gejala umum di berbagai kalangan masyarakat.
Reformasi partai menjadi hal yang sangat krusial di tengah kondisi yang demikian, sebelum bangsa ini mengalami kerusakan yang lebih parah. Harus dilakukannya reformasi dari partai yang berpusat pada segelintir elit menjadi partai yang berpusat pada mekanisme dan proses-proses demokratis. Yang sistem rekruitmen politiknya bersandar pada kompetensi dan integritas. Karena mau tak mau, peran politik sebagai seorang aparatur pemerintahan dan dewan perwakilan rakyat membutuhkan kemampuan atau kompetensi yang mumpuni agar ia bisa menjalankan dengan baik peran dan mandat yang diembannya. Dan juga memperhatikan aspek integritas yakni konsistensi seseorang dengan tujuan politiknya. Hal ini sangatlah penting, mengingat mereka inilah yang memastikan bahwa seluruh kerja pemerintahan mengacu pada kepentingan rakyat. Maka seorang aparatur pemerintah dan dewan perwakilan sebagai pengambil keputusan tertinggi yang menyangkut hajat hidup orang banyak haruslah mereka yang berkompeten dan berintegritas. Karena semua kebijakan di dalam masyarakat demokratis haruslah berpijak pada pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Penulis adalah Mahasiswa Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Sumber : http://ift.tt/1CUQMZe