Pro Neolib atau Wong Cilik?
Masih seru seputaran BBM (bahan bakar minyak) dengan isu kenaikannya. Satu kelompok, kebanyakan politisi PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dan Jokowi/JK, berharap pemerintahan Presiden SBY mau menaikkan harga BBM bersubsidi. Argumennya: subsidi akan membebani APBN. Alasan terselubung: agar pemerintahan Jokowi nantinya tak perlu menaikkan harga BBM, agar citra Jokowi tidak jatuh.
Demi terjaganya citra Jokowi, PDIP dinilai banyak pihak rela “bunuh diri.” Pasalnya, dulu mereka adalah partai yang paling getol menolak kenaikan harga BBM. Bahkan, mereka pernah membuat “buku putih” alternative solusi agar harga BBM tidak naik. Seraya menolak kenaikan harga BBM, PDIP menegaskan diri sebagai partainya “wong cilik.”
Kenyataan PDIP seperti itu membuat kebingungan banyak pihak, termasuk Presiden SBY. Lucu, kata beliau, PDIP yang dulu menolak kenaikan BBM kini meminta dirinya menaikkan harga BBM. PDIP yang mencanangkan diri sebagai partai wong cilik, kini bergaya neolib (neo liberal). Paham yang satu ini kurang lebih memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas.
Sepintas lalu saja paham neolib ini sangat bertolak belakang dengan keberpihakan terhadap wong cilik dalam konteks Indonesia. Orang-orang neolib menyebut subsidi adalah warisan orde baru memanjakan rakyat. Padahal di satu sisi, ada kelompok masyarakat perlu mendapat subsidi.
Jikapun argumen selanjutnya bahwa orang kaya yang mendapat subsidi, tetap saja tidak fair jika lalu solusinya mencabut subsidi. Ya, benahi saja proses pemberian subsidinya agar tepat sasaran. Jika tetap bersikeras dengan menaikkan harga BBM, itu sih gayanya neolib, ya supaya perusahan-perusahaan minyak asing bisa besar di Indonesia. Karena Petronas saja tidak kuat di Indonesia yang menerapkan subsidi.
Membawa kepentingan perusahaan-perusahaan asing ini kah para neolib itu?
Bisa jadi. Bahkan Presiden SBY menyebut kalangan yang tidak ingin adanya subsidi tersebut sebagai neolib. “Bagi negara yang anut sistem ekonomi yang sangat kapitalistik atau yang yang rakyat sebut neolib begitu, subsidi ini tidak disukai,” kata SBY dalam wawancara eksklusif yang diunggah di youtube.
SBY lebih lanjut menilai Indonesia masih membutuhkan subsidi walaupun persoalan subsidi ini. “Untuk Indonesia, mengingat masih banyak yang miskin dan daya beli rendah, kalau subsidi itu betul-betul untuk menolong rakyat, jumlah tidak berlebihan dan tepat sasaran, saya kira tidak keliru, ini yang kita jaga betul, subsidi yang pas,” papar SBY.
Meski demikian, SBY menilai ke depannya subsidi harus mulai dikurangi. Ia pun menyebut sudah beberapa kali mengurangi subsidi tersebut melalui langkah menaikan harga BBM bersubsidi.
Penilaian SBY tersebut seolah diamini oleh politisi PDIP, Rieke Dyah Pitaoloka. Rieke bisa dibilang satu-satunya politisi PDIP yang masih kukuh menolak kenaikan BBM. Rieke mengeluarkan kritik yang cukup pedas pada pihak-pihak yang ingin harga BBM dinaikkan dengan alasan subsidi tersebut hanya dinikmati orang kaya.
Bagi Rieke, ketika subsidi energi dikontradiksikan pada dikotomi kaya miskin, maka telah masuk pada perangkap pemikiran ekonomi mazhab pasar alias neolib. “Logika ekonomi neoIlib memang bertentangan dengan logika politik sosial karena tekanan pada efisiensi yang sering mengabaikan masalah keadilan, solidaritas,” kata Rieke.
Jadi neolib atau wong cilik, pak Jokowi?
Sumber : http://ift.tt/1tnoZxI
Demi terjaganya citra Jokowi, PDIP dinilai banyak pihak rela “bunuh diri.” Pasalnya, dulu mereka adalah partai yang paling getol menolak kenaikan harga BBM. Bahkan, mereka pernah membuat “buku putih” alternative solusi agar harga BBM tidak naik. Seraya menolak kenaikan harga BBM, PDIP menegaskan diri sebagai partainya “wong cilik.”
Kenyataan PDIP seperti itu membuat kebingungan banyak pihak, termasuk Presiden SBY. Lucu, kata beliau, PDIP yang dulu menolak kenaikan BBM kini meminta dirinya menaikkan harga BBM. PDIP yang mencanangkan diri sebagai partai wong cilik, kini bergaya neolib (neo liberal). Paham yang satu ini kurang lebih memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas.
Sepintas lalu saja paham neolib ini sangat bertolak belakang dengan keberpihakan terhadap wong cilik dalam konteks Indonesia. Orang-orang neolib menyebut subsidi adalah warisan orde baru memanjakan rakyat. Padahal di satu sisi, ada kelompok masyarakat perlu mendapat subsidi.
Jikapun argumen selanjutnya bahwa orang kaya yang mendapat subsidi, tetap saja tidak fair jika lalu solusinya mencabut subsidi. Ya, benahi saja proses pemberian subsidinya agar tepat sasaran. Jika tetap bersikeras dengan menaikkan harga BBM, itu sih gayanya neolib, ya supaya perusahan-perusahaan minyak asing bisa besar di Indonesia. Karena Petronas saja tidak kuat di Indonesia yang menerapkan subsidi.
Membawa kepentingan perusahaan-perusahaan asing ini kah para neolib itu?
Bisa jadi. Bahkan Presiden SBY menyebut kalangan yang tidak ingin adanya subsidi tersebut sebagai neolib. “Bagi negara yang anut sistem ekonomi yang sangat kapitalistik atau yang yang rakyat sebut neolib begitu, subsidi ini tidak disukai,” kata SBY dalam wawancara eksklusif yang diunggah di youtube.
SBY lebih lanjut menilai Indonesia masih membutuhkan subsidi walaupun persoalan subsidi ini. “Untuk Indonesia, mengingat masih banyak yang miskin dan daya beli rendah, kalau subsidi itu betul-betul untuk menolong rakyat, jumlah tidak berlebihan dan tepat sasaran, saya kira tidak keliru, ini yang kita jaga betul, subsidi yang pas,” papar SBY.
Meski demikian, SBY menilai ke depannya subsidi harus mulai dikurangi. Ia pun menyebut sudah beberapa kali mengurangi subsidi tersebut melalui langkah menaikan harga BBM bersubsidi.
Penilaian SBY tersebut seolah diamini oleh politisi PDIP, Rieke Dyah Pitaoloka. Rieke bisa dibilang satu-satunya politisi PDIP yang masih kukuh menolak kenaikan BBM. Rieke mengeluarkan kritik yang cukup pedas pada pihak-pihak yang ingin harga BBM dinaikkan dengan alasan subsidi tersebut hanya dinikmati orang kaya.
Bagi Rieke, ketika subsidi energi dikontradiksikan pada dikotomi kaya miskin, maka telah masuk pada perangkap pemikiran ekonomi mazhab pasar alias neolib. “Logika ekonomi neoIlib memang bertentangan dengan logika politik sosial karena tekanan pada efisiensi yang sering mengabaikan masalah keadilan, solidaritas,” kata Rieke.
Jadi neolib atau wong cilik, pak Jokowi?
Sumber : http://ift.tt/1tnoZxI