Suara Warga

50 Hari Lagi, SBY Tidak Mau Direcoki Masalah BBM

Artikel terkait : 50 Hari Lagi, SBY Tidak Mau Direcoki Masalah BBM

Presiden SBY akan mengakhiri jabatannya sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2014 mendatang. Terhitung mulai 1 September 2014 ini kesempatan memimpin Indonesia tinggal tersisa waktu 50 hari saja. Dalam waktu yang tidak banyak itu, tentu kesibukan untuk mempersiapkan masa akhir jabatannya merupakan prioritas utama. Harapannya, pada akhir jabatan tersebut dapat meninggalkan pesan dan kesan yang baik bagi seluruh rakyat Indonesia.

Diantara langkah-langkah yang diambil untuk mengakhiri jabatan Presiden RI agar tidak terjadi keresahan yang terjadi di masyarakat adalah tidak bersedianya Presiden SBY menaikkan tarif BBM. Dengan kenaikan tarif BBM yang sebelumnya telah berhasil menaikkan tarif listrik pada masa pemerintahannya, tentu efek samping kenaikan harga-harga yang lain. Keadaan seperti itu hanya akan membuat keresahan masyarakat di akhir jabatannya sebagai Presiden RI.

Siapa pun seorang pemimpin, tentu selalu berusaha untuk mengakhiri jabatannya dapat dilalui dengan baik. Berakhir dengan khusnul khatimah. Bukan rahasia lagi, banyak kebijakan-kebijakan masa akhir kepemimpinan Presiden RI yang tidak dilalui dengan ending yang baik menimbulkan keresahan, silang pendapat, respon-respon yang tidak baik, bahkan sampai hujatan pun kerap kali dialamatkan kepada simbol negara, sebagai Presiden RI. Lebih memprihatinkan lagi hingga berlanjut pada pelengseran paksa karena efek gonjang-ganjing perekonomian. Kenyataan itu telah menjadi pelajaran berharga bagi Presiden SBY, dan Beliau tidak akan mengulang lagi peristiwa semacam itu pada masa kepemimpinannya.

Bagi Presiden SBY, sebagai Presiden RI yang pernah memangku jabatannya sebanyak dua kali periode, ketelitian, kejernihan, dan antisipasi yang sedemikian itu sangat menjadi prioritas utamanya. Siapa yang bisa menjamin dengan kenaikan BBM pada saat sekarang ini, kemudian tidak menimbulkan keresahan yang berakhir dengan kondisi yang tidak terkendali? Jawabnya tentu tidak ada yang dapat menjamin kondisi semacam itu. Maka akan lebih tepat dan aman apabila pada akhir pemerintahan Presiden ke-6 RI itu memakai siasat, strategi jitunya tidak menaikkan tarif BBM sebagai langkah yang tepat.

Betapa pun banyak desakan dan tekanan yang dialamatkan kepada Presiden SBY agar menaikkan tarif BBM sebelum pemerintahan baru dimulai oleh penggantinya. Kebijakan Presiden SBY tetap final tidak ada kenaikan tarif BBM. Langkah-langkah seperti itu bukan berarti Presiden SBY sebagai presiden keras kepala dan hanya berkilah pencitraan diri, serta hanya akan meninggalkan beban penerusnya. Tafsir itu bisa saja terjadi, tetapi yang lebih utama adalah sesungguhnya penjagaan terhadap arti simbol kenegaraan lebih penting dari semuanya.

Secara teoritik mekanisme kerja memang tidak ada agenda mengarah ke situ. Apalagi sisa waktu kepemimpinan tinggal menghitung hari saja. Kebijakan-kebijakan yang tidak popular hanya akan meninggalkan sandungan dalam mengakhiri masa jabatannya. Biarlah, nanti dapat dibijaksanai oleh penerusnya sembari menyuguhkan ujian yang harus dikerjakan untuk membuktikan integritasnya mengurai problematika real sebuah bangsa. Siapa tau penggantinya dapat mengelurkan jurus kesaktiannya hingga akhirnya BBM malah tidak ada istilah BBM bersubsidi. Tetapi dengan tidak ada subsidi tersebut berarti kenaikan harganya itu dapat menguntungkan rakyat, dan akan menambah kesejahteraan rakyat, karena memang BBM merupakan hasil dari perut bumi persada kita sendiri. Mana lagi yang tidak mungkin hal itu terjadi? Imam Muhayat, Bali, 1 September 2014. Wallahu a’lam.




Sumber : http://ift.tt/1vZSd43

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz