Malpraktis Kesehatan Masyarakat
Malpraktis yang biasa kita dengar di berbagai media massa adalah malpraktis medis, yang menurut Wikipedia adalah “professional negligence by act or omission by a health care provider in which the treatment provided falls below the accepted standard of practice in the medical community and causes injury or death to the patient, with most cases involving medical error”. Tetapi sebenarnya malpraktis bisa dilakukan oleh semua profesi dan juga pejabat. Jadi definisi kedua dari malpraktis yang disediakan oleh Free Online Dictionary adalah “Improper or unethical conduct by the holder of a professional or official position”.
Saya ingin membahas Malpraktis Kesehatan Masyarakat, jenis malpraktis yang jarang kita dengar. Istilah ini dikemukakan pertama kali oleh prof. Agus Purwadianto, seorang ahli medikolegal. Menurut dia, kalangan ahli/ profesi kesehatan masyarakat dengan “membiarkan” upaya kesehatan masyarakat tidak berkembang, tidak dilaksanakan secara optimal, maka profesi kesehatan masyarakat telah melakukan tindakan malpraktis. Malpraktis Kesehatan Masyarakat.
Saya tentunya termasuk yang dituju oleh prof. Agus. Dengan sedih tuduhan itu benar. Setidaknya sebagian. Dalam arti profesi kesehatan masyarakat, meskipun mengembangkan berbagai ilmu dan teori kesehatan masyarakat, tetapi pelaksanaannya masih tertinggal beberapa dekade. Sebagian tuduhan lagi sebenarnya tertuju kepada prof. Agus sendiri, yang bersama koleganya bekerja di Kementrian Kesehatan. Mereka tahu “prevention is better than cure”, tetapi selama puluhan tahun tidak memberikan sumber daya yg cukup untuk menjalankan program kesehatan masyarakat secara memadai. Sedihnya lagi, lulusan berbagai fakultas kesehatan masyarakat di Indonesia, ketika masuk di institusi pelayanan kesehatan, juga melakukan hal yang sama. Jadi—seperti yang definisi kedua—profesi kesehatan masyarakat, dan pejabat kesehatan “bekerja sama” melakukan malpraktis kesehatan masyarakat. Wah.
Mungkin isyu yang lebih mendasar adalah: mengapa bertahun tahun kita melakukan itu? Kalau kita menganut teori berpikir sistem, maka pasti ada struktur yang menyebabkan siapapun orangnya, kalau diletakkan dalam sistem yang sama akan bertindak serupa. Menurut saya sedikitnya ada beberapa hambatan struktural. Cuma disini saya tidak membahas semua.
Satu hambatan yang penting adalah “mindset”. Coba dengar kalau pejabat ngomong tenaga kesehatan, baik kebutuhan, distribusi dan karir. Pasti yang dimaksud adalah dokter, perawat dan bidan. Tidak pernah bicara tenaga penyuluh kesehatan masyarakat atau tenaga kesehatan masyarakat lainnya. Kalau ngomong fasilitas kesehatan yang ingin dibangun, pasti rumah sakit. Dalam lebih dari 5 tahun terakhir kalau calon bupati/walikota berkampanye pasti kampanye kesehatannya adalah “berobat gratis”. Tidak pernah terpikirkan bagaimana berkampanye membuat “rakyat sehat, tidak perlu berobat”.
Yang berikutnya adalah, ala bisa karena biasa. Paling mudah menghabiskan anggaran adalah kalau untuk pelayanan medis, baik mulai membangun rumah sakit, dan membeli peralatan medis yang mahal. Terus terang kebanyakan pejabat kita adalah dokter, yang dididik dan biasa berpikir dalam pelayanan medis.
Memang karena jarang dikembangkan ranah praktis dari kesehatan masyarakat, melaksanakan kesehatan masyarakat jauh lebih sulit dari pada melaksanakan tindakan medis. Contoh yang sederhana: lebih mudah menyediakan oralit dan antibakterial/antibiotik untuk pengobatan penduduk yang terkena diare, dari pada menjamin tersediaanya air bersih, menyediakan pasar bahan makanan yang bersih, dan menjamin warung jajanan di sekolah maupun di pinggir jalan yang higienis.
Kedepan kita punya kesempatan, dengan mulai dijalankannya Jaminan Kesehatan Nasional di tahun 2014 ini. Calon bupati/walikota tidak bisa lagi menggunakannya sebagai gimmick kampanye, karena sudah dijamin gratis buat hampir 100 juta penduduk tidak mampu. Anggaran kuratif di berbagai dinas kesehatan pun bisa di alokasikan untuk upaya kesehatan masyarakat. Namun memang daya tarik JKN ini, yang dananya relatif besar di bandingkan dengan anggaran dinas kesehatan di berbagai kabupaten/kota, membuat orang tertarik untuk bekerja di sini, dan “melupakan lagi” upaya kesehatan masyarakat. Diberbagai tempat, puskesmas kehabisan waktu untuk melayani pasien yang datang berobat. Saya bahkan mendengar di kebupaten/kota dan padat penduduk, beberapa staf dinas kesehatan ingin pindah ke puskesmas, karena dana kapitasi yang jatuh ke puskesmas lumayan besarnya.
Lulusan fakultas kesehatan masyarakat pun banyak yang sudah berpikir untuk berkarir disana. Salah satu iklan yang ada di kampus saya, misalnya“ ayo capai masa depanmu di Jaminan Kesehatan Masyarakat”.
Jadi, profesi kesehatan masyarakat memang perlu bekerja lebih cerdas, kalau mau menghapus tindakan malpraktis ini
Sumber : http://ift.tt/1r2tNWR
Saya ingin membahas Malpraktis Kesehatan Masyarakat, jenis malpraktis yang jarang kita dengar. Istilah ini dikemukakan pertama kali oleh prof. Agus Purwadianto, seorang ahli medikolegal. Menurut dia, kalangan ahli/ profesi kesehatan masyarakat dengan “membiarkan” upaya kesehatan masyarakat tidak berkembang, tidak dilaksanakan secara optimal, maka profesi kesehatan masyarakat telah melakukan tindakan malpraktis. Malpraktis Kesehatan Masyarakat.
Saya tentunya termasuk yang dituju oleh prof. Agus. Dengan sedih tuduhan itu benar. Setidaknya sebagian. Dalam arti profesi kesehatan masyarakat, meskipun mengembangkan berbagai ilmu dan teori kesehatan masyarakat, tetapi pelaksanaannya masih tertinggal beberapa dekade. Sebagian tuduhan lagi sebenarnya tertuju kepada prof. Agus sendiri, yang bersama koleganya bekerja di Kementrian Kesehatan. Mereka tahu “prevention is better than cure”, tetapi selama puluhan tahun tidak memberikan sumber daya yg cukup untuk menjalankan program kesehatan masyarakat secara memadai. Sedihnya lagi, lulusan berbagai fakultas kesehatan masyarakat di Indonesia, ketika masuk di institusi pelayanan kesehatan, juga melakukan hal yang sama. Jadi—seperti yang definisi kedua—profesi kesehatan masyarakat, dan pejabat kesehatan “bekerja sama” melakukan malpraktis kesehatan masyarakat. Wah.
Mungkin isyu yang lebih mendasar adalah: mengapa bertahun tahun kita melakukan itu? Kalau kita menganut teori berpikir sistem, maka pasti ada struktur yang menyebabkan siapapun orangnya, kalau diletakkan dalam sistem yang sama akan bertindak serupa. Menurut saya sedikitnya ada beberapa hambatan struktural. Cuma disini saya tidak membahas semua.
Satu hambatan yang penting adalah “mindset”. Coba dengar kalau pejabat ngomong tenaga kesehatan, baik kebutuhan, distribusi dan karir. Pasti yang dimaksud adalah dokter, perawat dan bidan. Tidak pernah bicara tenaga penyuluh kesehatan masyarakat atau tenaga kesehatan masyarakat lainnya. Kalau ngomong fasilitas kesehatan yang ingin dibangun, pasti rumah sakit. Dalam lebih dari 5 tahun terakhir kalau calon bupati/walikota berkampanye pasti kampanye kesehatannya adalah “berobat gratis”. Tidak pernah terpikirkan bagaimana berkampanye membuat “rakyat sehat, tidak perlu berobat”.
Yang berikutnya adalah, ala bisa karena biasa. Paling mudah menghabiskan anggaran adalah kalau untuk pelayanan medis, baik mulai membangun rumah sakit, dan membeli peralatan medis yang mahal. Terus terang kebanyakan pejabat kita adalah dokter, yang dididik dan biasa berpikir dalam pelayanan medis.
Memang karena jarang dikembangkan ranah praktis dari kesehatan masyarakat, melaksanakan kesehatan masyarakat jauh lebih sulit dari pada melaksanakan tindakan medis. Contoh yang sederhana: lebih mudah menyediakan oralit dan antibakterial/antibiotik untuk pengobatan penduduk yang terkena diare, dari pada menjamin tersediaanya air bersih, menyediakan pasar bahan makanan yang bersih, dan menjamin warung jajanan di sekolah maupun di pinggir jalan yang higienis.
Kedepan kita punya kesempatan, dengan mulai dijalankannya Jaminan Kesehatan Nasional di tahun 2014 ini. Calon bupati/walikota tidak bisa lagi menggunakannya sebagai gimmick kampanye, karena sudah dijamin gratis buat hampir 100 juta penduduk tidak mampu. Anggaran kuratif di berbagai dinas kesehatan pun bisa di alokasikan untuk upaya kesehatan masyarakat. Namun memang daya tarik JKN ini, yang dananya relatif besar di bandingkan dengan anggaran dinas kesehatan di berbagai kabupaten/kota, membuat orang tertarik untuk bekerja di sini, dan “melupakan lagi” upaya kesehatan masyarakat. Diberbagai tempat, puskesmas kehabisan waktu untuk melayani pasien yang datang berobat. Saya bahkan mendengar di kebupaten/kota dan padat penduduk, beberapa staf dinas kesehatan ingin pindah ke puskesmas, karena dana kapitasi yang jatuh ke puskesmas lumayan besarnya.
Lulusan fakultas kesehatan masyarakat pun banyak yang sudah berpikir untuk berkarir disana. Salah satu iklan yang ada di kampus saya, misalnya“ ayo capai masa depanmu di Jaminan Kesehatan Masyarakat”.
Jadi, profesi kesehatan masyarakat memang perlu bekerja lebih cerdas, kalau mau menghapus tindakan malpraktis ini
Sumber : http://ift.tt/1r2tNWR